Apa yang harus dilakukan jika wartawan mengetahui berita yang dihasilkan keliru?
Jika wartawan atau pers mengetahui adanya informasi atau karya jurnalistik yang mereka hasilkan ternyata keliru, maka tanpa ada permintaan dari pihak ketiga manapun pers wajib memberikan ralat terhadap kekeliruan tersebut. Dalam hal kekeliruannya bersifat serius, maka jika diperlukan diikuti dengan permintaan maaf. Seluruh inisiatif perbaikan datang sepenuhnya dari redaksi. Inilah yang dinamakan kewajiban koreksi. Perbedaannya dengan hak Jawab, inisiatif untuk melakukan perbaikan dalam Hak Jawab berasal dari pihak ketiga.
Apakah itikad buruk dalam jurnalistik dapat diketahui atau diukur?
Memang banyak yang meragukan, apakah itikad buruk dalam bidang pers dapat diketahui, apalagi sampai dapat diukur. Tetapi dengan mengacu kepada mekanisme pers dari sudut Kode Etik Jurnalistik, itikad buruk itu dapat diukur. Semua hasil karya jurnalistik lahir dari suatu proses, baik sebelum berita itu dibuat, ketika berita itu dibuat sampai setelah berita itu dibuat tidak terlepas dari nilai-nilai yang terkandung dalam Kode Etik Jurnalistik. Ada tidaknya niat buruk dalam pemberitaan dapat diketahui antara lain, tetapi tidak terbatas, dari:
a. Dari segi prosedural, apakah ada standar prosedural atau mekanisme yang dengan sengaja tidak dipenuhi? Kalau ada dapat dipertanyakan, kenapa hal tersebut diabaikan? Kalau ternyata tidak dipenuhinya sebuah prosedural atau mekanisme kerja terbukti karena adanya maksudmaksud yang tidak etis, maka hal tersebut sudah dapat dikatagorikan sebagai salah satu elemen kencenderungan adanya niat buruk.
b. Dari segi teknikal, apakah pembuatan berita tersebut sudah memperhatikan standar mutu teknikal? Kalau ada yang tidak dipenuhi, dapat dipertanyakan kenapa hal tersebut diabaikan? Kalau ternyata tidak dipenuhinya standar mutu teknikal terbukti karena adanya maksudmaksud yang tidak etis, maka hal tersebut juga sudah dapat dikatagorikan sebagai salah satu elemen kencenderungan adanya niat buruk.
c. Dari segi pasca penyiaran atau pembuatan berita, apakah pers yang bersangkutan menunjukkan tindakan yang sudah diatur oleh Kode Etik Jurnalistik? Misalnya apakah jika mengetahui adanya kekeliruan terhadap pemberitaannya, pers bersangkutan melakukan kewajiban koreksi, yakni meralat berita tersebut karena ada yang meminta ataupun tidak, kalau perlu disertai dengan permintaan maaf. Kalau pers yang bersangkutan ternyata tidak memenuhi kewajiban ini, maka pers tersebut sudah memperlihatkan kecenderungan adanya niat buruk tersebut.
Tentu saja masing-masing segi masih dapat lebih dirinci sampai kepada detail untuk sampai pada kesimpulan ada atau tidaknya niat buruk.
Berdasarkan proses pembentukannya, ketidakbolehan wartawan untuk beritikad buruk dalam Kode Etik Jurnalistik justru untuk melindungi para wartawan sendiri. Wartawan bisa saja kurang akurat dan kurang berimbang, tetapi kalau kejadian itu tidak dilandasi itikad buruk, dia dapat menjadi katagori teknis. Walaupun jelas ketidakakuratan dan ketidakseimbangan tetap melanggar Kode Etik Jurnalistik, namun hal tersebut bukanlah dibuat dengan kesengajaan. Di sinilah wartawan masih memperoleh “perlindungan” dalam penilaian. “Kesalahan” atau “keteledoran” itu masih dalam tataran etika, sehingga wartawan tersebut otomatis masih dapat “perlindungan” ke dalam payung etika dan dapat dinyatakan sebagai perbuatan etika dan minta tidak dikenakan tindakan hukum yang dapat mengganggu kemerdekaan pers. Sebaliknya jika berita yang tidak akurat dan tidak berimbang dibuat dengan kesengajaan, maka selain secara Kode Etik Jurnalistik merupakan perbuatan yang tercela juga dikatagorikan sebagai adanya indikasi pelanggaran hukum karena jelas-jelas maksud pembuatan beritanya dengan sengaja dan niat buruk agar ada pihak lain atau pihak tertentu yang dirugikan.
Adakah ketentuan mengenai perlakuan wartawan terhadap orang lemah, miskin, dan sakit?
Ya, Kode Etik Jurnalistik dengan tegas menyebut wartawan tidak boleh merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa dan jasmani.
Apa betul wartawan tidak boleh bersikap diskriminatif atau berprasangka?
Betul! Wartawan tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. Sedangkan diskriminasi berarti perbedaan perlakuan. Ketentuan ini untuk menegaskan pers bekerja dengan menghormati persamaan hak-hak asasi manusia, menghormati kemanusiaan dan kewajiban melakukan verifikasi fakta atau data. Penghinaan terhadap suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin dan bahasa merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik.
Apa yang dimaksud dengan informasi latar belakang atau background informasi?
Informasi latar belakang atau background informasi adalah segala informasi atau data dari narasumber yang diperuntukkan sebagai pengetahuan pers, yang keakuratan atau kebenarannya dikembalikan kepada pers. Apabila informasi atau data itu disiarkan harus tanpa menyebut narasumbernya melainkan berdasarkan pengetahuan dan keyakinan pers yang bersangkutan.
Apakah yang dimaksud wartawan tidak boleh beritikad buruk?
Dalam tafsir resmi Kode Etik Jurnalistik tidak beritikad buruk ditegaskan berarti tidak ada niat secara sengaja dan sematamata untuk menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Pers adalah lembaga kemasyarakatan yang memiliki dampak luas. Berita yang dibuat dengan itikad buruk akan memberikan dampak luar biasa buruknya. Seorang yang tidak korupsi diberitakan terindikasi korupsi, dampak berita akan sangat luar biasa terhadap pejabat itu. Menurut Kode Etik Jurnalistik perbuatan yang dilandasi niat buruk adalah sesuatu yang tercela dan harus dihindari. Oleh karena itu Kode Etik Jurnalistik dengan tegas menyebut wartawan tidak boleh beritikad buruk. Apalagi kemudian berita pers tersebut berdampak luar biasa buruk. Apapun bahan beritanya pers harus bekerja antara lain berdasarkan prinsip kejujuran, keadilan,keseimbangan, akurasi dan standar teknikal yang tinggi. Tidak ada tempat bagi itikad buruk.
Bagaimana jika wartawan menyiarkan juga berita yang dinyatakan off the record ?
Pada dasarnya off the record sama dengan tidak pernah ada berita tersebut. Sedangkan narasumber yang menyampaikan berita juga dianggap tidak pernah ada. Jika kemudian pers menyiarkan berita off the record, berarti seluruh isi berita tersebut harus dianggap tidak ada. Pers yang menyiarkan berita off the record dikatagorikan menyiarkan berita bohong atau fitnah. Dalam hal ini, dalam bidang jurnalistik, narasumber dibebaskan dari segala tuntutan dan kewajiban hukum dan etika. Sebaliknya pers yang menyiarkan berita tersebut menanggung seluruh beban etika dan hukum yang ada.
Apa pengertian fitnah dan kenapa wartawan tidak boleh melakukan fitnah?
Arti fitnah dekat dengan arti bohong, hanya dalam fitnah mengandung sejumlah tuduhan, langsung atau tidak langsung. Fitnah berati menyebarkan berita secara sengaja berisi tuduhan yang tidak mendasar, bahkan sudah diketahui tidak benar, dengan niat buruk. Contohnya pers dengan sengaja dan berniat buruk menuduh seorang pejabat korupsi, padahal sebenarnya pers itu sudah mengetahui pejabat yang bersangkutan tidak melakukan korupsi. Sama dengan bohong, fitnah merupakan salah satu “dosa terbesar” dalam kerja kewartawanan. Dalam fitnah sudah jelas terkandung niat buruk, sesuatu yang secara etika profesi merupakan tindakan yang tercela dan menginjak-injak kehormatan profesi.
Apakah wartawan boleh menghindari ketentuan off the record ?
Selama informasinya belum diberikan oleh narasumber, wartawan dapat menghindari ketentuan off the record. Misalnya, sebelum narasumber tersebut memberikan keterangan, wartawan bertanya, apakah keterangan yang diberikan off the record? Jika wartawan keberatan, maka wartawan boleh tidak menghadiri keterangan yang diberikan oleh narasumber dan dengan demikian dia tidak terikat dengan keterangan off the record tersebut. Tetapi apabila wartawan sudah menerima keterangan dari narasumber
dan narasumbernya menyatakan off the record, wartawan wajib menghormatinya.
Apakah ada syarat-syarat berlakunya off the record ?
Ya. Off the record dapat diminta jika setidaknya memenuhi tiga syarat:
a. Informasi yang dilarang bukan bersifat fakta dan bukan opini.
b. Fakta yang tidak boleh disiarkan bukanlah sesuatu yang sudah menjadi pengetahuan umum. Misalnya, pernyataan perempuan dan lelaki berbeda atau mobil beroda empat dan motor beroda dua serta yang sejenis itu, tidak dapat dinyatakan off the record.
c. Pernyataan off the record dinyatakan dengan jelas.