Apakah betul masih menjadi perdebatan, apakah iklan juga termasuk produk pers?

Iklan jelas bagian dari pers, tetapi apakah iklan merupakan produk pers atau bukan jadi perdebatan, karena iklan bukan karya jurnalistik. Kaedah-kaedah jurnalistik dan iklan sangat berbeda. Misalnya dalam jurnalistik harus berimbang dan taat kepada Kode Etik Jurnalistik. Sedangkan dalam iklan boleh tidak berimbang dan hanya memuji-muji produk atau jasa sendiri serta tunduk kepada Kode Etik Periklanan. Perdebatannya kalau ada iklan dalam pers yang melanggar pidana, siapa yang harus bertanggung jawab, apakah sistem pertanggungjawaban fiktif dan suksektif juga berlaku bagi iklan yang di pasang di pers hal ini sampai sekarang masih jadi perdebatan dikalangan pers dan hukum.

Kenapa disebut tidak jelas siapa yang harus melakukan law enforcement terhadap UU tentang Pers??

Dalam banyak ketentuan UU Pers, tidak menyebut siapa atau pihak mana yang harus melakukan law enforcement terhadap ketentuan dalam UU Pers. Contohnya dapat dilihat dari beberapa pasal sebagai berikut:
a. Pasal 9 ayat 2 berbunyi, “Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum.” Siapa yang harus memantau jika ada pers yang tidak berbadan hukum?
b. Pasal 10 berbunyi, ”Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.” Siapa atau instansi mana yang harus menentukan sebuah perusahan pers belum atau telah memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawannya? Kalau ada perusahaan pers yang tidak atau belum memberikan kesejahteraan yang dimaksud, bagaimana dampak hukumnya? Apa sanksinya? Bagaimana apabila departemen tenaga kerja melakukan intervensi soal ini ke dalam tubuh perusahaan pers, apakah juga dapat dianggap sebagai “campur tangan” yang membatasi kemerdekaan pers?
c. Pasal 12 berbunyi, “Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggungjawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan. ”Siapakah atau instansi manakah  yang berhak mengawasi dan menentukan cara telah atau belum dilaksanakannya pasal ini?

Kenapa pengaturan tentang pelanggaran terhadap penambahan modal asing tanpa lewat pasar modal disebut tidak jelas?

Sudah jelas pasal 11 mengharuskan bahwa penambahan modal asing di perusahaan pers harus melalui pasar modal. Menurut penjelasan pasal ini, penambahan modal asing pada perusahaan pers dibatasi agar tidak mencapai saham mayoritas dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini perundang-undangan yang berlaku adalah undang-undang tentang dan Perseroan Terbatas dan UndangUndang No. 25 Tahun 2007 tentang Penambahan Modal.

Menurut Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, perusahaan pers haruslah perusahaan berbadan hukum Indonesia. Badan hukum Perseroan Terbatas ada dua jenis: yang tertutup dan terbuka. Maksudnya, perusahaan yang tertutup adalah perusahaan badan hukum Indonesia yang belum masuk pasar modal atau belum go public. Sedangkan perusahaan yang terbuka adalah yang sudah masuk pasar modal. Jika pasal 11 ini mensyaratkan penambahan modal asing di perusahaan pers harus melalui pasar modal, berarti itu untuk perusahaan yang sudah terbuka. Bagaimana dengan perusahaan yang masih tertutup? Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal mengatur penambahan modal asing di perusahaan berbadan hukum Indonesia yang masih tertutup tidak harus melalui pasar modal.

Pengertian modal asing menurut pasal 1 ayat 8 Undangundang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman sebagai berikut: “Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing.”

Pengertian modal asing menurut pasal 1 ayat 8 Undangundang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman sebagai berikut: “Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing.”

Apakah semua orang yang mengaku wartawan
memperoleh perlindungan profesi wartawan dari
Peraturan Dewan Pers No. 08 tanggal 28 April 2008.

Tidak. Perlindungan yang diatur dalam peraturan Standar
Perlindungan Profesi Wartawan itu adalah perlindungan hukum
untuk wartawan yang menaati Kode Etik Jurnalistik dan
tunduk kepada Undang-undang Pers dalam melaksanakan tugas
jurnalistiknya memenuhi hak masyarakat memperoleh informasi.

Apa yang dimaksud dengan ketidakjelasan penanganan pelanggaran terhadap perusahaan pers yang tidak memberikan kesejahteraan secara layak?

Pasal 10 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers berisi, “Perusahan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.”

Dalam hal ini pertanyaannya adalah, bagaimana jika ternyata perusahaan pers tidak memberikan kesejahteraan kepada wartawan atau karyawan pers? Untuk sampai kepada kesimpulan itu harus lebih dahulu dipecahkan sebuah kesulitan, apa ukuran kesejahteraan yang harus diberikan perusahaan kepada wartawan atau karyawan pers? Penyebutan istilah “dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya” bukan mempermudah pelaksanaan isi pasal ini tetapi sebaliknya menambah kesulitan. Pemberian saham, misalnya, akan terkait dengan ketentuan mekanisme kepemilikan dan peralihan saham dalam sebuah perusahaan. Dalam Perseroan Terbatas (PT) saham menunjukan jumlah kepemilikan sekaligus tanggung jawab terhadap perusahaan. Seorang yang memiliki saham 40%, misalnya, dia memiliki dan sekaligus menguasai 40% perusahaan, sehingga dia juga punya suara 40%. Sebaliknya apabila ada kewajiban yang harus ditanggung perusahaan, dia juga menanggung beban 40% dari perusahaan.

Adapun persentase jumlah saham yang diperoleh berdasarkan persentase setoran dari pemegang saham. Saham mana yang harus diberikan kepada wartawan atau karyawan perusahaan pers? Tidak jelas. Kalau pun kemudian telah diberikan kepemilikan saham dan perusahaan rugi, berarti para wartawan atau karyawan perusahaan pers harus juga menangung kerugian perusahaan. Dari mana uangnya? Apakah dipotong dari gaji ? Kalau ini yang terjadi berarti bukannya meningkatkan peningkatan kesejahteraan melainkan justru membebani wartawan atau karyawan pers. 

Tetapi pertanyaan yang paling esensial disini, kalau perusahaan pers tidak mematuhi isi ketentuan ini, bisakah perusahaan pers tersebut dihukum? Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sama sekali tidak memberikan sanksi apa-apa terhadap perusahaan pers yang seperti ini. Dalam penjelasannya disebut pemberian kesejahteraan tersebut dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara manajemen perusahaan dengan wartawan dan karyawan pers. Bagaimana kalau kesepakatan itu tidak kunjung datang? Tidak kena sanksi hukum apa-apa. Jadi, dengan kata lain, dari segi hukum ketentuan pasal sama sekali tidak membawa akibat hukum apapun.

Apa yang menjadi landasan dikeluarkan Peraturan Dewan Pers No. 08 tanggal 28 April 2008 tentang perlindungan wartawan?

Dalam mukadimah Peraturan Dewan pers No. 08 tahun 2008 tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan dijelaskan,kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dihilangkan dan harus dihormati.Rakyat Indonesia telah memilih dan berketetapan hati melindungi kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat itu dalam Undang-undang Dasar 1945. Kemerdekaan pers adalah satu wujud kedaulatan rakyat dan bagian penting dari kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat.Bagian Kesebelas Perlindungan Wartawan Wartawan adalah pilar utama kemerdekaan pers. Oleh karena itu dalam menjalankan tugas profesinya wartawan mutlak mendapat perlindungan hukum dari negara, masyarakat dan perusahaan pers. Untuk itu Standar perlindungan profesi wartawan dibuat.

Apakah ada peraturan teknis perlindungan terhadap perlindungan profesi wartawan?

Ya, ada peraturan yang melindungi profesi wartawan, yaitu Peraturan Dewan Pers No. 05/Peraturan-DP/IV/2008 tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan tanggal 28 April 2008.

Apakah dengan adanya perlindungan terhadap wartawan pasal 8 Undang-undang Pers, terhadap pers masih dapat dikenakan ancaman dari ketentuan yang berada di luar Undang-undang tentang pers seperti pasal 310 KUHP dan pa

Pasal 310 ayat 3 KUHP menyebut, apabila pencemaran baik dilakukan untuk kepentingan umum, maka pelakunya tidak dapat dihukum. Dengan demikian apabila wartawan melakukan seluruh profesinya berdasarkan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, berarti wartawan tersebut dapat dianggap sudah melaksanakan kepentingan umum dan dengan demikian oleh karenanya wartawan tidak dapat lagi dituntut berdasarkan pasal 310 ayat 1 dan 2. Dalam pasal 27 ayat 3 UU ITE disebut, hanya mereka yang terkena ”tanpa hak” yang dikenakan pasal ini. Wartawan yang menjalankan tugasnya sesuai UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, berdasarkan pasal 8 UU Pers harus dilindungi dan karena itu dinilai sedang ”memiliki hak” dan ”tidak melawan hukum.” Tegasnya, dengan adanya pasal 8 UU Pers, ketentuan pasal 27 ayat 3 otomatis ITE tidak dapat dikenakan kepada pers atau wartawan. Begitu juga ancaman-ancaman dalam undang-undang lain tidak berlaku kepada pers karena pers juga menjalankan tugas Undang-undang.

Apa bedanya perlindungan terhadap wartawan yang diberikan oleh pasal 50 KUHP dan perlindungan pasal 8 Undang-undang tentang Pers?

Antara pasal 50 KUHP dan pasal 8 UU Pers memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua pasal ini Bagian Kesebelas Perlindungan Wartawan memberikan perlindungan hukum kepada mereka yang melaksanakan tugas sesuai dengan undang-undang. Kedua-duanya juga termasuk faktor penghapus adanya kesalahan mereka yang melakukan tindakan berdasarkan perintah atau amanah UU. Sedangkan bedanya, pasal 50 KUHP memberikan perlindungan hukum secara umum, sedangkan pasal 8 sudah memberikan perlindungan hukum secara khusus kepada profesi wartawan. Istilah yang dipakai dalam pasal 8 UU Pers pun sudah tegas menyebut ”wartawan.”

Kenapa dikatakan tindakan terhadap pelanggaran terhadap wartawan yang tidak memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik kurang jelas?

Pasal 7 ayat 2 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebut, “Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik” Dalam penjelasannya disebut, yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Ini artinya, sebenarnya undang-undang telah mensyaratkan, semua wartawan harus punya Kode Etik Jurnalistik dan wajib menaatinya. Namun lagi-lagi menjadi persoalan, bagaimana kalau ada wartawan yang tidak mau masuk organisasi wartawan sehingga tidak punya kode etik? Berdasarkan undang-undang wartawan demikian tidak dapat dijerat dengan sanksi apapun.

Jika pasal 7 ayat 1 tentang kebebasan memilih organisasi wartawan bermakna, seorang wartawan harus tetap masuk salah satu organisasi wartawan dan dengan demikian mempunyai kode etik, lantas dia melanggar kode etik itu, ancaman sanksi apa yang dapat diberikan oleh undang-undang ini? Ternyata juga tidak ada. Jika dalam kode etiknya sendiri ada sanksi, berarti sanksinya dikembalikan kepada sanksi etika itu sendiri dan bukan lagi berdasarkan undang-undang ini. Artinya, pelanggaran undangundang diganjar dengan ancaman sanksi etika. Itu pun dengan catatan pelanggarnya mau menerima sanksi yang diberikan. Kalau mereka menolak sanksi itu, undang-undang tidak mengatur lebih lanjut lagi.