Apa konsekuensi dari adanya pasal 8 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers?

Ketentuan pasal 8 memberikan perlindungan yang mendasar, menyeluruh dan profesional terhadap profesi wartawan. Sepanjang wartawan menjalankan tugasnya berdasarkan UU Pers, Kode Etik Jurnalistik dan peraturan-peraturan turunan, seperti Peraturan Dewan Pers, terhadap wartawan tidak dapat dikenakan pidana. Pemaknaan ini tidaklah berarti profesi wartawan imun terhadap hukum. Profesi wartawan tetap harus tunduk dan taat kepada hukum. Tetapi sesuai dengan ketentuan hukum sendiri, sebagaimana diatur dalam UU Pers, wartawan tidak dapat dipidana. Ada tidaknya kesalahan pers, pertama-tama harus diukur dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Jika pers memang melakukan kesalahan yang tidak diatur dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, barulah pers dapat dikenakan denda melalui gugatan. Namun perlu ditegaskan, apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak memenui syarat-syarat sebagai wartawan dan berada di luar wilayah pers, maka itu bukanlah tindakan jurnalistik dan karena itu tidak dilindungi oleh UU Pers. Kalau tindakan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat sebagai wartawan atau berada di luar ranah pers, tergolong tindakan yang dapat dikatagorikan sebagai pidana murni dan karena dapat dikenakan pasal-pasal dalam hukum pidana. Contohnya jika ada wartawan, baik wartawan yang sesungguhnya atau wartawan gadungan, melakukan pemerasan atau penipuan, dapat langsung dengan tuduhan-tuduhan pidana dan karena itu juga dapat langsung diproses sesuai dengan hukum pidana.

Perlindungan wartawan disebut ”sesuai dengan perundangan yang berlaku.” Apa yang dimaksud dengan sesuai dengan perundangan yang berlaku?”

Ketentuan ini haruslah dilakukan pertama-tama perlindungan terhadap wartawan harus didekati dengan peraturan tentang wartawan sendiri, yang tiada lain adalah UU Pers sendiri. Jika tidak ada perlindungan yang diberikan oleh UU Pers, barulah dicari di dalam berbagai peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Ketentuan ini juga mengisyaratkan dalam pelaksanaan teknisnya perlindungan terhadap wartawan juga harus mengikuti berbagai ketentuan yang berlaku. Kemudian sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, kalau pers sudah melaksanakan tugasnya berdasarkan Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers, wartawan tidak boleh dihukum.

Setiap warga negara secara otomatis mendapat perlindungan hukum. Lalu kenapa dalam pasal 8 perlu ditegaskan lagi dalam menjalankan tugasnya wartawan dilindungi hukum? Apa maksudnya?

Betul, setiap warga negara, sesuai dengan konstitusi Indonesia UUD 1945, mendapat perlindungan hukum karena negara Indonesia juga menganut rezim negara hukum. Penegasan dalam pasal 8 UU Pers bermakna, wartawan merupakan profesi khusus, sama dengan profesi-profesi khusus lainnya seperti dokter atau advokat, ketika menjalankan profesi mereka dilindungi secara khusus oleh perundang-undangan. Artinya selama wartawan menjalankan profesinya dengan benar maka terhadap wartawan tidak boleh dilakukan penghalangan, sensor, perampasan peralatan, penahanan, penangkapan, penyanderaan, penganiayaan apalagi sampai pembunuhan. Dengan kata lain manakala menjalankan tugas pofesinya yang sesuai dengan perundangan dan Kode Etik Jurnalistik keselamatan wartawan, baik fisik maupun psikologis, harus sepenuhnya dilindungi. Ketentuan ini merupakan ”payung” bagi wartawan dalam menjalankan tugas profesinya dengan rasa aman.
Bagian Kesebelas Perlindungan Wartawan Payung hukum ini memberikan beberapa makna terhadap profesi wartawan, antara lain:
 

a. Negara bukan hanya wajib menghormati kemerdekaan pers, tetapi negara juga wajib menyediakan pengamanan terhadap wartawan yang sedang melaksanakan tugasnya. Dengan kata lain, perlindungan terhadap wartawan bukan saja harus diberikan ketika diminta oleh wartawan, tetapi juga sudah menjadi perintah perundang-undangan, sehingga diminta atau tidak diminta oleh wartawan, para aktor keamanan negara wajib melindungi pekerjaan profesi wartawan sejak awal, sebagaimana para petugas tersebut melindungi mereka yang harus dilindungi karena jabatan dan atau pekerjaannya.
b. Pelaksanaan fungsi kemerdekaan pers oleh wartawan bukan saja ”sekedar” sebuah ”kewajiban” dari pers, tetapi merupakan ”perintah” atau ”amanah” dari undangundang. Dengan demikian ketika menjalankan profesinya, wartawan juga sedang melaksanakan ”perintah” atau ”amanah” dari undang-undang, maka: 

(1) Aktor-aktor penyelenggara keamanan otomatis wajib juga melindungi keselamatan para wartawan sebagaimana profesi lain yang melaksanakan undangundang yang harus dilindungi oleh para aktor penyelenggara keamanan negara.
(2) Dalam menjalankan tugasnya wartawan memperoleh perlindungan hukum, sehingga jika wartawan menjalankan tugasnya sesuai Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers, maka wartawan tidak boleh dihukum.
 

c. Adanya suatu pengakuan hukum yang tegas dan terang benderang bahwa ketika menjalankan tugasnya dengan benar sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan perundangundangan, wartawan juga mempunyai hak imunitas tidak boleh dirintangi, dituntut, ditangkap, disandera, ditahan, dianiaya, apalagi sampai dibunuh dalam kaitannya tugas kewartawanannya. Pengertian ”hak imunitas” disini seluruh ketentuan dan mekanisme yang ada di bidang pers yang dikerjakan wartawan harus dihormati dan tidak boleh dipaksa untuk dilanggar. Contohnya, jika wartawan tidak mau menyebut siapa narasumber yang memang identitasnya tidak disebut dalam berita, atau dinamakan hak tolak, tidak boleh ada yang memaksa mengungkapkannya. Contoh lain, jika wartawan berjanji dengan narasumber untuk tidak memberikan kesaksian mengenai beritanya, maka wartawan tidak boleh dipaksa memberikan kesaksian tentang itu.
d. Sebagai payung hukum, ketentuan dalam pasal 8 harus pula ditafsirkan bahwa perlidungan yang diberikan kepada wartawan harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang terkait dengan profesi wartawan. Dalam hal ini terhadap wartawan yang melaksanakan tugas, pertamatama harus diukur berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Disinilah UU Pers harus diberlakukan sebagai Lex Priimaat atau Priviill, yakni sepanjang mekanismenya sudah diatur dan ada ketentuan-ketentuannya dalam UU Pers maka UU Pers yang diharus didahulukan atau diutamakan. Begitu juga barometer yang harus dipakai dalam mengaji problem pers dalam pemberitaan harus mengacu kepada Kode Etik Jurnalistik. Pemahaman ini membawa kita kepada suatu kontruksi bahwa jika ada masalah dalam soal pemberitaan, dalam profesi wartawan pertama-tama harus dipakai lebih dahulu acuan di bidang pers sendiri, yakni UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, tidak dapat langsung dipertentangkan dengan aturanaturan yang filosofis pekerjaan kewartawanan.
e. Ketentuan ini sekaligus juga merupakan suatu ”benteng” terhadap kemungkinan ”pengebirian” terhadap kemerdekaan pers yang dijalankan wartawan melalui berbagai perundang-undangan lain. Adanya ketentuan ini memberikan perlindungan kepada wartawan agar profesinya tidak dapat ”dirusak” melalui pintu perundangundangan lainnya. Jadi sejak awal pembuat UU Pers sudah memagari efektifitas perlindungan wartawan dari kemungkinan perongrongan profesi wartawan dari pendekatan pembentukan perundang-undangan lain yang bertentangan dengan kemerdekaan pers. Dengan adanya ketentuan ini sekaligus pengakuan, sebagai perlindungan kepada wartawan apabila ada undang-undang lain yang Bagian Kesebelas Perlindungan Wartawan bertentangan dengan pekerjaan wartawan sebagaimana diatur dalam UU Pers, baik yang ada sebelum UU pers maupun sesudah UU Pers, ketentuan pers lah yang berlaku.

Apakah yang dimaksud dengan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara?

Menurut  penjelasan  pasal  4  ayat  1  Undang-undang  No.  40 Tahun  1999  tentang  Pers  yang  dimaksud  dengan  ”kemerdekaan pers  dijamin  sebagai  hak  asasi  warga  negara”  adalah  bahwa  pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.

Apa yang dimaksud dengan berita yang tepat dan akurat?

Undang-undang Pers tidak memberikan batasan apa yang dimaksud dengan tepat dan akurat. Tetapi Kode Etik Jurnalistik memberikan penafsiran mengenai hal ini. Menurut Kode Etik Jurnalistik, akurat bermakna ”dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa ini terjadi.” Artinya jika pers sudah menempuh semua prosedur untuk membuat berita, seperti melakukan cek and ricek, verifikasi data, berimbang dan seterusnya, maka berita yang disiarkan oleh pers sudah dapat dikatakan sebagai berita yang akurat. Bagaimana seandainya dikemudian hari ternyata berita tersebut terbukti tidak akurat lagi, apakah dengan demikian persnya dapat dinyatakan bersalah? Persoalan ini hampir sama dengan persoalan yang dihadapi para peneliti. Jika ada penelitian farmasi yang telah menempuh berbagai prosedur yang ditetapkan didunia farmasi dan kedokteran dan dengan teori-teori lengkap dia menemukan suatu pengetahuan untuk obat tertentu dan kemudian obat temuannya dipakai oleh masyarakat luas baik dengan resep dokter  maupun tidak. Tetapi sepuluh atau dua puluh tahun kemudian ternyata ada penelitian lain yang membuktikan cara pengobatan itu kurang tepat dan harus segera diganti dengan penemuan baru. Apakah penemuan si dokter sebelumnya pada saat itu dapat dinilai tidak akurat dan peneliti tersebut dapat dinyatakan
bersalah? Tentu tidak! Demikian pula dalam bidang pers, selama
seluruh prosedur dan materi yang diberitakan sudah diolah
berdasarkan prinsip-prisnip jurnalistik dan selaras dengan Kode
Etik Jurnalistik, maka berita tersebut sudah dapat dikatagorikan
sebagai berita yang akurat dan tepat pada saat itu.

Apa yang dimaksud terhadap pelanggaran pelaksanaan peranan pers nasional tidak ada yang mengawasi?

Pasal 6 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mencantumkan peranan dari pers nasional. Peranan pers yang diberikan oleh pasal ini sungguh hebat. Misalnya pers diberikan peranan untuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi yang berkaitan dengan kepentingan umum. Begitu juga pers diberikan peranan untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Tetapi apabila peranan ini tidak dilaksanakan atau diabaikan ternyata juga tanpa diiringi dengan sanksi hukum apapun.
Pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan;
c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Persoalannya apakah pers nasional harus melaksanakan kelima peranan itu secara sekaligus? Atau, bisakah peranan itu dijalankan salah satu peranan saja? Lalu bagaimana jika ternyata ada pers nasional yang tidak menjalankan sama sekali peranan yang sudah ditentukan oleh pasal 6? Begitu pula sebaliknya, bagaimana apabila ada pihak yang menyebabkan tidak dapatnya terselenggara salah satu dari kelima peranan pers ini? Ternyata apabila peranan pers ini tidak dapat dilaksanakan baik karena oleh persnya sendiri manapun oleh pihak lainnya tidak dapat dikenakan sanksi hukuman apa-apa. Dalam pasal 18 tentang ketentuan pidana juga soal ini sama sekali tidak disinggung. Dengan kata lain, isi pasal ini sama saja dengan tidak ada ketentuan apa-apa. Tegasnya delik dalam pasal ini sama dengan tidak ada delik. Artinya, ada atau tidak ada ketentuan pasal ini, tidak membawa dampak hukum apa-apa baik untuk pers maupun untuk pihak ketiga.

Fakta ini tentu saja membingungkan, sebab isi dan makna pasal ini sebenarnya sangat penting. Contohnya saja, pasal 6 ayat c yang menegaskan bahwa dalam mengembangkan pendapat umum pers harus berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. Ini hal yang sangat prinsip baik bagi pers sendiri, apalagi untuk umum. Isi ketentuan ini merupakan dasar bagi tegaknya kemerdekaan pers. Oleh karena itu pelanggaran terhadap penyiaran berita dengan sengaja tidak benar merupakan pelanggaran prinsipil terhadap kerja pers. Tetapi dalam hal ini tidak ada aturan ancaman sanksi  apapun. Akibatnya, ada tidak adanya pelanggaran terhadap ini tidak membawa akibat hukum apapun.

Begitu juga peranan yang diatur dalam pasal 6 ayat e yang menegaskan peranan pers adalah memperjuangkan keadilan dan kebenaran, luar biasa pentingnya bagi pers. Dengan adanya peranan ini pers memiliki mata pisau atau senjata yang sangat besar untuk menjalankan tugasnya. Adanya peranan ini membuka jalan bagi pers untuk ikut secara aktif memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Membongkar berbagai kekurangan dan kesesatan yang sebelumnya belum terkuak. Seharusnya pihak yang menghambat sampai tidak terlaksananya peranan ini, baik dari pihak pers maupun dari pihak masyarakat umum, harus diberikan sanksi yang memadai. Namun tiadanya sanksi terhadap pelanggaran memperjuangkan kebenaran dan keadilan ini menyebabkan alas hukum yang penting ini kehilangan relevansinya.

Apa yang dimaksud dengan peranan pers memperjuangkan keadilan dan kebenaran?

Pada umumnya perjuangan keadilan dan kebenaran diidentikkan dengan penegakkan hukum dan oleh karena itu hanya dapat dilakukan oleh penegak hukum seperti hakim, Bagian Kesembilan Perusahaan Pers polisi, jaksa dan pembela. Keempat penegak hukum ini memang melaksanakan tugasnya sesuai dengan prosedur-prosedur teknis di bidang hukum. Tetapi kebenaran dan keadilan tidak harus dimanifestasikan dalam bentuk prosedur-prosedur formal semacam itu. Berbagai teori hukum modern dengan jelas menerangkan, keadilan dan kebenaran dapat juga dilihat bagaimana normanorma hukum dijelmakan dalam kenyataannya. Seringkali citacita hukum yang begitu mulia, dalam prakteknya tidak terlihat atau kandas, bahkan dapat terjadi justru kenyataannya berbanding terbalik dengan tujuan hukum yang ingin dicapai. Disinilah tercipta ruang publik bagi pers untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Lewat pemberitaan, pengawasan, kritik, koreksi dan saran yang diberikan oleh pers terhadap permasalahan hukum mulai pada tataran normatif sampai pada tataran pelaksanaan juga membawa penegakkan kebenaran dan keadilan. Banyak sekali penyelewengan hukum dapat diluruskan kembali berkat pers. Ketentuan ini sekaligus merupakan pengakuan bahwa pers juga merupakan penegak keadilan dan kebenaran, walaupun dengan cara yang berbeda dengan keempat penegak hukum formal hakim, jaksa, polisi dan pengacara.

Apa yang dimaksud dengan peranan pers melakukanpengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum?

Kemerdekaan pers milik rakyat atau publik dan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat atau Bagian Kesembilan Perusahaan Pers publik. Pers mengabdi kepada rakyat. Pers mengabdi kepada publik. Salah satu bentuk pengertian pers mengabdi kepada rakyat atau publik adalah dengan senantiasa dapat melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap kepentingan umum. Rumusan ini adalah rumusan yang bersifat ”memerintahkan” sehingga ini bukan suatu pilihan atau alternatif bagi pers dalam melaksanakan pengawasan, kritik, saran dan koreksi terhadap kepentingan umum. Dengan kata lain pers tidak dapat bersifat pasif lagi jika melihat ada kepentingan umum yang terabaikan, tidak ditangani sesuatu dengan aturan apalagi kalau ada potensi penyalahgunaan. Di satu sisi ketentuan ini merupakan suatu ”senjata” dan pengakuan bagi pers dalam melaksanakan peranannya, tetapi di lain pihak ketentuan ini juga merupakan sebuah ”kewajiban” bagi pers. Pers yang tidak menjalankan peranan ini, bukan saja tidak melakukan fungsinya dengan baik tetapi juga berlawanan dengan ketentuan UU Pers sendiri. Ketentuan ini juga terkait dengan posisi pers sebagai pilar keempat. Dalam negara demokrasi kekuasaan atau kewenangan negara pada umumnya di bagi ke dalam tiga lembaga, masing masing eksekutif, legislatif dan yudikatif dengan berbagai variasinya. Dalam praktek, ketiga lembaga ini dapat saja tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Tidak hanya itu, jika tidak diawasi, justru ketiga kekuasaan ini dapat bersekongkol mengutamakan kepentingan golongannya dan mengabaikan kepentingan publik yang seharusnya mereka perjuangkan. Disinilah pers berperan sebagai ”pilar keempat” untuk mengawasi, memberikan koreksi, saran dan kritik terhadap ketiga pilar dan lainnya.
Ketentuan ini dengan tegas menyebut yang harus diawasi, dikritik, dikoreksi dan diberikan saran yang menyangkut kepentingan umum. Ketiga lembaga itu ditambah dengan semua lembaga penyelenggara kenegaraan merupakan lembaga publik dan karena itu otomatis menjadi bagian yang harus diawasi, dikritik, dikoreksi dan diberikan saran oleh pers. Dengan demikian menjadi jelas sekali pers yang tidak melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap pilar-pilar lainnya merupakan pers yang gagal membawa fungsinya. Sementara pers sendiri secara langsung diawasi, dikritik, dikoreksi dan diberi saran oleh masyarakat. Dari ketentuan ini juga dapat disimpulkan secara implisit bahwa UU pers sangat menghargai hak-hak pribadi masyarakat. Jika tidak ada unsur kepentingan umum, bukan lagi merupakan kewajiban pers melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran. Berbanding terbalik dengan itu, ketentuan ini juga tidak memberikan otoritas atau kewenangan pers untuk mengaduk-aduk hak-hak pribadi masyarakat. Dalam hal ini ketentuan ini menjadi batas yang tegas bahwa pers tidak boleh masuk ke dalam ranah hak-hak pribadi, kecuali memang ada kepentingan umum atau publik disana. Hanya jika ada kepentingan umum atau kepentingan publik disana, pers dapat menembus hak-hak pribadi.

Kenapa dalam pengaturan pelanggaran terhadap Hak Koreksi dan Kewajiban Koreksi dinilai memiliki kelemahan?

Pasal 5 ayat 3 dengan jelas menyebut, “Pers wajib melayani hak koreksi.” Sesuai dengan pasal 1 ayat 12 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, pengertian hak koreksi adalah, “hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.” Berbeda dengan hak jawab yang menyangkut diri sendiri, menurut hak koreksi setiap orang boleh memberikan koreksi bukan saja tentang dirinya sendiri tetapi juga mengenai orang lain, dan pers wajib melayaninya. Terlepas dari ketidakjelasan soal apa yang dimaksud dengan “kekeliruan informasi” yang diberitakan pers, seharusnya pers wajib melayani hak koreksi ini. Tetapi bagaimana kalau ternyata pers, dengan alasan apapun, tidak mau melayani hak koreksi ini? Ternyata tidak ada ancaman sanksi apapun terhadap pelanggaran melayani hak koreksi ini. Hal ini berbeda dengan pelanggaran terhadap hak jawab yang ada ancaman sanksinya, padahal baik hak jawab maupun hak koreksi sama-sama diatur dalam pasal 5. Hak jawab pada pasal 5 ayat 3 dan hak koreksi pasal 5 ayat 3.

Timbul pertanyaan, buat apa dicantumkannya kewajiban melayani hak koreksi apabila terhadap pelanggarannya tidak ada ancaman apapun? Sebenarnya hak koreksi ini disandingkan dengan kewajiban koreksi, yakni keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta opini atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan. Tetapi anehnya, walaupun pengertian koreksi ini diatur dalam pasal 1 ayat 13, tetapi jangan ancaman sanksi pelanggarannya, bagaimana penerapannya, ternyata sama sekali tidak diatur oleh Undangundang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Apa pula yang dimaksud pers melaksanakan peranan menghormati kebhinekaan?

Salah satu ciri utama pers adalah kewajibannya melakukan covered both side atau bahkan all sides. Dalam pemberitaan pers harus berimbang dan tidak boleh berat sebelah. Dengan demikian dalam memberikan suatu pemberitaan pers wajib menampung semua kepentingan yang terkait. Hal ini memungkinkan semua pihak dapat dipantau dan sekaligus terbuka untuk menyalurkan diri melalui pers. Sifat hakekat pers yang semacam ini akan menghindari ditindas atau dihilangkan kebhinekaan yang ada, bahkan sekaligus mampu menjaga kebhinekaan tersebut. Oleh sebab itu disebut pers melaksanakan dan menghormati kebhinekaan.