Ada berapa bentuk hati nurani menurut ilmu filsafat moral?

Soal ini, lagi-lagi, banyak teori atau mazhab, tetapi setidaknya paling sedikit dapat disimpulkan ada dua bentuk hati nurani, masing-masing:
a. Hati Nurani Retrospektif Pendekatan hati nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan yang telah lalu atau yang telah berlangsung pada masa lampau. Hati nurani retrospektif “mengadili” perbuatan pada masa lampau.
b. Hati Nurani Prospektif Berbanding terbalik dengan hati nurani restrospektif, dalam hati nurani prospektif menilai ke depan, ke masa depan. Alternatif dan kemungkinan perbuatan yang akan dilakukan diolah dalam hati nurani prospektif. Dengan begitu hati nurani prospektif menjadi rambu-rambu dan peringatan dini tentang yang akan kita lakukan.

 

 

Apa saja konsekuensi dari adanya Standar Kompetensi Wartawan bagi karier wartawan?

Setelah peraturan tentang Standar Kompetensi Wartawanberlaku sepenuhnya, narasumber dapat menolak diwawancaraioleh wartawan yang tidak memiliki kompetensi. Selain itu untuk jabatan pemimpin redaksi dan penanggung jawab hanya dapatdipegang oleh wartawan yang telah memiliki jenjang kompetensi wartawan utama.

Ada berapa pendekatan etika dalam filsafat moral?

Tentang hal ini juga banyak teori filsafat yang rumit dan sangat teknikal, tetapi secara umum setidaknya ada tiga macam pendekatan, yaitu:

a. Etika diskriptif Pendekatan etika diskriptif mendiskriptifkan atau melukiskan tingkah laku moral secara luas, termasuk memberikan gambaran tentang tindakan yang dibolehkan dan tidak dibolehkan. Etika diskriptif hanya sebatas bersifat melukiskan atau menguraikan dan tidak memberikan penilaian mengenai baik buruknya moral tersebut.

b. Etika normatif Berbeda dengan etika diskriptif, dalam etika normatif sudah masuk kepada analisis penilaian tentang baik dan buruk suatu moralitas. Etika normatif tidak lagi bersifat netral tetapi sudah memberikan penilaian berdasarkan suatu norma. Dengan begitu etika normatif memberikan argumentasi mengenai suatu moral benar atau salah.

c. Etika metaetika Etika metaetika mengkhususkan diri kepada pembahasan pemakaian bahasa sebagai refleksi moral. Bahasa atau ucapan dalam etika metaetika menjadi ukuran moral. 

Ada berapa sistem pertanggungjawaban pidana?

Secara sederhana terdapat setidaknya lima sistem pertanggung jawaban hukum, yakni:
a. Sistem pertanggungjawaban individual. Dalam sistem pertangungjawaban ini siapa yang berbuat dialah yang harus bertanggungjawab. Tanggung jawab ini tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Tanggung jawab yang dipikul oleh individu bersifat proporsional, arti individu hanya bertanggungjawab sebatas kepada perbuatan dirinya yang dapat dipertanggung jawabkan. Kalau individu ini melakukan tindakan pidana secara berkelompok, tanggung jawab individu ini dilihat bagaimana posisinya dalam tindakan pidana berkelompok itu. Apakah sebagai aktor atau pelaku utama, siapa orang yang turut melakukan atau orang yang ikut serta. Tanggung jawab individu proporsional kepada perbuatannya dan posisinya sebagai apa.
b. Sistem pertanggungjawaban korporasi. Dalam hal ini tanggung jawab diambil alih oleh korporasi sepenuhnya. Korporasi itu yang menanggung semua beban hukum.
c. Sistem pertanggungjawaban pengurus korporasi. Dalam suatu tindak pidana pelakunya dikonstruksikan dilakukan juga oleh korporasinya, tetapi yang bertanggung jawab adalah pengurus korporasi itu sebagai perwujudan dari korporasi.
d. Sistem pertanggungjawaban korporasi bersamaan dengan pengurus korporasinya sekaligus. Dalam hal ini jika ada suatu tindak pidana yang dapat dikonstruksi merupakan perpanjangan tangan dari korporasi, maka yang harus bertanggung jawab adalah korporasi itu sekaligus bersamasama pengurusnya sebagai perwujudan dari korporasi. Jadi dalam hal ini yang bertanggung jawab dua-duanya sekaligus baik korporasi maupun pengurusnya.
e. Sistem pertanggungjawaban air terjun individual. Artinya, secara hukum telah ditentukan sebuah kesalahan dapat dibebankan kepada individu tertentu karena jabatannya, tetapi dalam hal ini pertanggungjawaban hukum yang dipikul oleh individu tersebut dapat dilimpahkan atau dialihkan tanggung jawabnya kepada bawahannya, dan bawahannya ini dapat melimpahkan lagi kepada bawahannya, terus demikian sampai dengan pihak yang bawahan dianggap paling bersalah. Sistem pertanggungjawaban individu dengan sistem terjun inilah yang dianut oleh UU Pers lama, yaitu UU Pers No. 11 Tahun 1966 yang kemudian disebagaimana telah diubah dalam UU Pers No. 21 Tahun 1982. Dalam Pers lama ini tanggung jawab hukum dalam bidang pers dibebankan kepada pemimpin umum. Tetapi pemimpin umum dapat mengalihkan tanggung jawab itu kepada pemimpin perusahaan untuk bidang usaha dan kepada pemimpin redaksi untuk bidang redaksi. Dari pemimpin redaksi dapat dialihkan lagi kepada wakil pemimpin redaksi, lalu kepada redaktur pelaksana, redaktur, sampai kepada reporternya. Peralihan tangung jawab ke bawahan inilah yang disebut dengan sistem pertanggungjawaban air terjun.

Dalam Standar Kompetensi Wartawan terdapat kompetensi kunci. Apa yang dimaksud dengan kompetensi kunci dan terdiri dari apa aja?

Kompetensi kunci merupakan kemampuan yang harus dimiliki wartawan untuk mencapai kinerja yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan tugas unit kompetensi tertentu. Kompetensi kunci terdiri atas 11 katagori kemampuan, yaitu:
1. Memahami dan menaati etika jurnalistik;
2. Mengidentifikasi masalah terkait yang memiliki nilaiberita;
3. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi;
4. Menguasai bahasa;
5. Mengumpulkan dan menganalisis informasi (fakta dandata) dan informasi bahan berita;
6. Menyajikan berita;
7. Menyunting berita;
8. Merancang rubrik atau halaman pemberitaan dan atau slotprogram pemberitaan;
9. Manajemen redaksi;
10. Menentukan kebijakan dan arah pemberitaan;
11. Menggunakan peralatan teknologi pemberitaan.

Kenapa hati nurani sangat penting dalam etika?

Hati nurani berkaitan erat dengan kenyataan alamiah bahwa manusia memiliki kesadaran. Adanya kesadaran inilah menyebabkan manusia memiliki kesanggupan mengenal diri sendiri yang paling dalam. Dalam diri kita, hati nurani menjadi “instansi” pertama yang menilai dari segi moral apakah suatu niatan dan tindakan kita baik atau buruk. Hati nurani menjadi “saksi” yang inheren (tidak terpisahkan) dan mendarah daging yang tidak dapat diabaikan apalagi ditipu tentang perbuatan moral manusia. Hanya hati nurani masing-masing manusia saja yang paling mengetahui baik buruknya moralnya, sehingga hati nurani menjadi sangat penting.

Apa makna ”wartawan bebas memilih organisasi wartawan?”

Ada dua garis besar pendapat dalam menafsirkan makna ”wartawan bebas memilih organisasi wartawan.” Pendapat pertama mengatakan, ”wartawan bebas memilih organisasi wartawan” termasuk dapat ditafsirkan wartawan bebas tidak memilih masuk dalam organisasi wartawan manapun juga. Pendapat ini mendasarkan kepada tafsir ”bebas memilih” berarti juga ”bebas tidak memilih.” Pendapat kedua memaknai ketentuan ”wartawan bebas memilih organisasi wartawan” dalam kerangka yang lebih terbatas. Menurut pendapat ini, memang kepada wartawan diberikan kebebasan mutlak untuk memilih organisasi wartawan manapun yang disukai oleh wartawan bersangkutan. Tak hanya, itu, ketentuan ini juga berarti wartawan boleh membentuk atau melahirkan organisasi wartawan sendiri sesuai dengan visi dan misinya masingmasing. Tetapi kata kuncinya, apapun pilihan organisasinya, wartawan tetap harus memiliki organisasi wartawan. Dengan kata lain, menurut pendapat kedua ini, wartawan diwajibkan masuk ke dalam organisasi wartawan. Namun organisasi wartawan mana yang mereka pilih, itulah yang bebas. Bagian Keduabelas Organisasi Wartawan Pendapat kedua ini juga didasarkan kepada ketentuan lain dalam UU Pers, yakni wartawan harus memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik, sedangkan yang memiliki Kode etik Jurnalistik adalah organisasi wartawan. Begitu pula penjelasan pasal 7 UU Pers menyatakan yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik dalam UU Pers adalah Kode Etik Jurnalistik yang disepakati oleh organisasi-organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Jika seorang wartawan tidak masuk ke dalam organisasi wartawan, maka bagaimana dia dapat ikut ”menyepakati” Kode Etik Jurnalistik yang ingin ditetapkan oleh Dewan Pers.

Apakah yang dimaksud elemen kompetensi wartawan dalam Standar Kompetensi Wartawan dan terdiri dari apa saja?

Dalam Standar Kompetensi Wartawan, yang dimaksudelemen kompetensi adalah bagian kecil unit kompetensi yang
mengidentifikasikan aktivitas yang harus dikerjakan untukmencapai unit kompetensi tersebut. Kandungan elemen
kompetensi pada setiap unit kompetensi mencerminkan unsurpencarian, perolehan, pemilikan, penyimpanan, pengolahan danpenyampaian.
Elemen kompetensi wartawan terdiri atas:
a. Kompetensi umum, yakni kompetensi dasar yang
dibutuhkan oleh semua orang yang bekerja sebagai
wartawan;97
Bagian Ketiga Wartawan
b. Kompetensi inti, yakni kompetensi yang dibutuhkan
wartawan dalam melaksanakan tugas-tugas umum
jurnalistik;
c. Kompetensi khusus, yakni kompetensi yang dibutuhkan
wartawan dalam melaksanakan tugas-tugas khusus
jurnalistik.

Kenapa perlu ditegaskan bahwa wartawan bebas memilih organisasi wartawan?

Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers lagi-lagi tidak memberikan penjelasan mengapa perlu ditegaskan wartawan bebas memilih organisasi wartawan. Tetapi ditelusuri dari proses kelahiran Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 serta ”suasana kebatinan” kelahiran Undang-undang Pers tersebut terdapat beberapa alasan mengapa perlu ada penegasan wartawan bebas memilih organisasi wartawan:
a. Salah satu unsur utama pers adalah wartawan. Tanpa diberi kebebasan untuk memilih organisasi mana yang akan dipilih atau dibentuk seorang  wartawan, akan memudahkan terjadi kooptasi terhadap organisasi profesi Bagian Keduabelas Organisasi Wartawan wartawan, terutama oleh pihak penguasa, siapapun penguasanya. Jika organisasi profesi wartawan sudah terkooptasi, ruang lingkup organisasi wartawan untuk bersikap independen akan menjadi sangat sempit dan dikhawatirkan dapat dijadikan ”alat” oleh penguasa. Oleh sebab itu agar organisasi wartawan tidak terkena kooptasi oleh penguasa atau pengusaha kepada wartawan harus dibebaskan memilih organisasi wartawan.
b. Ada ”suasana kebatinan” yang memberi ktirik sangat keras kepada Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai wadah tunggal organisasi wartawan. Banyak kebijakan PWI waktu itu yang dinilai oleh sebagian wartawan, terlepas apakah penilaiannya benar atau tidak, justru tidak membela kepentingan wartawan. Kala itu PWI dinilai cenderung dapat ”dikendalikan” penguasa dan oleh karena itu juga dalam banyak hal penting, demikian menurut para pengkritiknya, malah membela penguasa. Penyebabnya, dalam pandangan mereka yang mengkritik atau tidak setuju kepada sikap PWI, tidak lain karena PWI cuma satu-satunya wadah tunggal. ”Suasana kebatinan” mendorong pemikiran perlunya organisasi wartawan alternatif. ”Suasana kebatinan” inilah yang kemudian ditampung dalam UU Pers, PWI sendiri kemudian dapat melakukan konsolidasi dan menyatakan diri sebagai organisasi wartawan profesional. ”Suasana kebatinan” ini melahirkan ketentuan tidak diperlukan lagi adanya wadah tunggal organisasi wartawan dan seiring dengan itu dirumuskan lah ketentuan ”wartawan bebas memilih organisasi wartawan.” PWI pun dengan lapang dada menyambut baik ketentuan ini.

Kenapa kode etik profesi harus dibuat oleh penyandang profesi itu sendiri?

Setidaknya ada dua alasannya mengapa etika profesinya harus dibuat oleh penyandang profesi itu sendiri: Para penyandang profesi itu sendirilah yang paling memahami, menghayati dan menguasai profesinya sehingga merekalah yang paling mengetahui pula bagaimana seharusnya profesi itu harus dilaksanakan termasuk menilai standar moral dan teknikal yang ada dalam profesi itu. Dengan demikian kode etik yang dibuat juga akan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan profesi itu. Dengan kata lain kode etik profesi merupakan swa regulasi (self regulation) dari profesi tertentu. Dengan dibuat dari, oleh dan untuk kalangan profesi itu sendiri, maka kode etik profesi akan dapat diterima dan dihayati oleh profesi yang bersangkutan sehingga daya lakunya menjadi efektif.