Dimana tanggungjawab profesi wartawan dijabarkan?

Tanggung jawab profesi wartawan diatur dalam Kode Etik Jurnalistik. Dalam penjelasan pasal 4 ayat 1 UU No. 40 Tahun 1999 yang antara lain megatakan, ”...dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani.” Sesuai dengan hati nurani, maksudnya sesuai dengan hati nurani insan pers.

Bagaimana hubungan sistem pertanggungjawaban ”penanggung jawab” menurut Undang-undang tentang Pers dengan pengurus perusahaan seperti direksi atau komisaris sebuah perusahaan pers?

Dalam sistem pertanggungjawaban pers kehadiran ”penanggung jawab” terkait dengan karya jurnalistik. Sepanjang menyangkut atau berkaitan dengan karya jurnalistik, maka beban tanggung jawab perusahaan pers berada di pundak penanggungjawab. Tetapi dalam kaitannya dengan urusan yang menyangkut keperusahaan di luar karya jurnalistik, seperti kontrak, perjanjian, bisnis dan lain-lain, tetap berlaku ketentuan-ketentuan mengenai badan hukum seperti perusahaan terbatas dan sebagainya. Begitu pula pertanggungjawaban direksi atau komisaris disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang menyangkut badan hukum perseoran terbatas. Alinea terakhir dalam penjelasan pasal 12 Undangundang Pers berbunyi, ”Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.” Apa artinya?
Pasal ini pada awalnya menimbulkan serangkaian perdebatan ikhwal apa artinya. Semula ada yang menilai, dengan adanya ketentuan ini membatalkan mekanisme pertanggungjawaban fiktif dan suksetif untuk kasus-kasus pidana dalam pers. Dengan kata lain, untuk kasus pidana yang berlaku adalah sesuai dengan peraturan pidana, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ini berarti terhadap pers pun dapat langsung dikenakan tuduhan sebagaimana asas-asas pidana lainnya. Penafsiran ini kurang tepat, sebab apabila penafsiran ini yang dipakai maka berarti dalam sebuah undang-undang dalam hal ini UU Pers ada sistem pertanggungjawaban yang satu dengan lainnya saling bertentangan. Lagi pula kalau tafsir ini yang diapakai berarti makna penjelasan sudah berbeda dengan makna batang tubuhnya. Padahal penjelasan tidak boleh bertentangan dengan norma yang ada dalam batang tubuh UU.
Rumusan ini muncul setelah terjadi adu argumentasi antara para anggota DPR yang waktu itu membahas UU Pers. Kala itu muncul berbagai pendapat mengenai bagaimana sebagainya UU Pers mengatur sistem pertanggungjawaban. Kalau dilihat dari latar belakangnya dan dikaitkan dengan pasal-pasal yang ada, perumusan ini tidak mengandung kontrakdiktif dengan perumusan dalam pasal-pasal lainnya. Bahkan dengan penjelasan ini memperteguh batang tubuh dalam UU Pers. Kenapa? Penjelasan ini dengan gamblang menegaskan, sepanjang menyangkut pidana berlaku perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan ketentuan ini harus ditafsirkan, bahwa sepanjang yang berkaitan dengan karya jurnalistik berlaku sistem pertanggungjawaban pidana fiktif dan suksektif dan oleh karena itu perusahaan pers wajib mencantumkan nama penanggung jawab dari perusahaan pers. Namun jika di luar persoalan karya jurnalistik ada wartawan atau anggota perusahaan pers yang melakukan perbuatan atau tindak pidana biasanya, yang berlaku adalah peraturan perundang-undangan pidana biasa pula. Misalnya jika ada wartawan yang melakukan penipuan dan pemerasan, maka yang berlaku adalah peraturan pidana yang pada umumnya. Sebaliknya jika menyangkut karya jurnalistik, termasuk mekanisme kerja jurnalistik, memakai sistem pertanggungjawaban fiktif dan suksektif. Oleh karena itu penjelasan pasal ini justru memperkuat sistem pertanggungjawaban yang di dalam UU Pers dan bukan menafikannya.

Apakah sifat etika statis atau dapat berubah?

Sebagai bagian dari suatu nilai-nilai, etika juga dipengaruhi oleh dinamika sosial kemasyarakatan. Sebuah nilai yang suatu waktu tertentu dipandang tidak pantas dapat saja kemudian, karena perubahan tatanan sosial kemasyarakatan, dipandang sebagai hal yang biasa saja. Contohnya berbicara melalui telepon. Pada masyarakat Indonesia sempat terdapat pandangan apabila ingin berbicara soal penting dengan atasan atau orang yang lebih tua, sebaiknya harus bertatap muka langsung dan tidak pantas kalau hanya melalui telepon. Tetapi dengan adanya perkembangan teknologi informasi, sedangkan untuk bertatap muka langsung membutuhkan waktu lama, komunikasi melalui jarak jauh menjadi hal yang biasa dan wajar. Berbicara hal penting melalui telepon pun menjadi tidak masalah. Dengan begitu sebetulnya etika juga dapat mengalami sebuah proses perubahan dan tidak selalu statis.

Apakah yang dimaksud dengan fakta dalam pers?

Baik dalam UU Pers maupun dalam KEJ tidak terdapat penjelasan resmi apa yang dimaksud dengan ”fakta.” ????????????? Oleh karena itu harus dibuat penafsiran sendiri. Menurut kamus istilah fakta merujuk kepada “suatu peristiwa atau sesuatu yang terjadi sungguhsungguh.” Dalam ini fakta” menurut pers berarti, informasi, peristiwa, kejadian, data dan atau kutipan yang benar-benar terjadi, ada, dan dibuat dengan akurat. Adapun pengertian akurat disini mengacu kepada KEJ, yakni. ”akurat berarti yang dipercaya saat itu benar.” Ini tidak berarti asal melalui proses verifikasi sehingga ada kepercayaan maka, berarti faktanya sudah akurat. Untuk sampai pada kesimpulan sebuah fakta dapat dipercaya secara objektif ketika itu benar, memiliki syarat-syarat tertentu, diantaranya:
a. Wartawan harus melakukan verifikasi atau pengujian lebih dahulu secara maksimal kepada pihak atau masalah terkait, apakah fakta tersebut memang saat itu benar-benar sudah benar dan tidak keliru;
b. Wartawan harus menguji fakta tersebut dengan akal sehat. Proses pembuatan berita sendiri harus dengan kecermatan, ketelitian dan ketepatan.
c. Wartawan harus menempatkan fakta tersebut secara kontekstual. Walaupun sama-sama faktanya benar, tetapi Bagian Ketujuh Fakta dan Opini Bagian Ketujuh Fakta dan Opini Kajian Tuntas
jika ditempatkan tidak pada konteks yang sebenarnya dapat menghasilkan pengertian atau makna yang bukan saja berbeda, tetapi bahkan bertolak belakang. Oleh karena itu fakta harus ditempatkan pada konteks yang tepat.

Apakah pelanggaran etika juga sekaligus berarti pelanggaran hukum atau sebaliknya?

Dalam hal ini ada beberapa alternatif. 

Pertama, memang ada perbuatan yang melanggar hukum sekaligus melanggar etika. Misal mencuri atau membunuh. Perbuatan ini melanggar hukum sekaligus juga melanggar etika.

Kedua, ada perbuatan yang melanggar hukum tetapi secara etika tidak melanggar. Misalnya, seorang wartawan yang dalam liputan investigasi terpaksa melakukan beberapa pelanggaran hukum dan sekaligus membuat laporan atau berita yang mungkin saja dianggap hukum sebagai subversif. Perbuatan ini melanggar hukum tetapi tidak melanggar etika. Contohnya laporan yang dibuat oleh wartawan Mochtar Lubis tentang kecurangan dan kebobrokan negara. Dari segi etika profesi, Mochtar Lubis tidak melakukan pelanggaran, tetapi menurut hukum Mocthar Lubis waktu itu sempat dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum dan dihukum penjara tujuh tahun.

Ketiga, ada perbuatan yang melanggar etika tetapi tidak melanggar hukum. Misalnya orang yang sombong, angkuh pelit, dan serakah. Menurut hukum hal ini tidak melanggar hukum tetapi dari sudut pandang etika perbuatan atau sifat itu tidak etis atau melanggar etika.

Apakah seorang wartawan yang bukan penanggungjawab
berhak menolak dipanggil sebagai tersangka atau saksi
dalam kasus pemberitaan pers?

Jika seorang wartawan yang bukan penanggung jawab
dipanggil oleh polisi atau penyidik dalam kasus pemberitaan pers,
harus dilihat lebih dahulu bagaimana duduk perkaranya. Kalau
wartawan yang bukan penanggung jawab ini sudah langsung
dinyatakan tersangka terkait dengan berita, pemanggilan penyidik
atau polisi ini dapat langsung ditolak. Alasannya dua: pertama, eror
in persona, yakni ada kesalahan penetapan orang sebagai tersangka.
Dalam kasus pemberitaan, kalaupun ada yang dapat dijadikan
tersangka, haruslah penanggung jawab, bukan wartawan yang bukan penangung jawab. Jadi ada kesalahan orang atau eror in
persona. Kedua, penetapan itu menyalahi sistem pertanggungjawaban
yang dipakai dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dengan dua alasan ini, wartawan yang bukan penanggung jawab
yang langsung ditetapkan sebagai tersangka jika dipanggil berhak
menolak.

Bagaimana jika wartawan yang bukan penanggung jawab
itu dipanggil sebagai saksi dalam kasus pemberitaan pers? Ada dua
kemungkinan yang sama-sama dapat dilakukan. Pertama, wartawan
yang bersangkutan untuk pertama kali boleh datang memenuhi
panggilan tersebut. Nanti di depan polisi atau penyidik dalam
pemeriksaannya menyatakan keberatan untuk diperiksa dengan
alasan tidak sesuai dengan mekanisme pertanggungjawaban pers.
Setelah itu jika dipanggil lagi dapat menolak pemanggilan itu.
Kedua, sejak awal langsung menolak pemanggilan itu dengan alasan
bukanlah kewenangan dari wartawan yang bukan penanggung jawab
untuk memberikan keterangan soal ini kepada penyidik atau polisi.

Apa beda antara etika dengan hukum?

Hukum adalah suatu peraturan negara yang dihasilkan dari hasil pergumulan kekuatan sosial politik tertentu pada suatu waktu tertentu berdasarkan peraturan-peraturan negara yang telah ditentukan yang berlaku untuk umum dan sanksinya dapat dipaksakan pula oleh organ-organ negara. 

Dilihat dari masing-masing pengertian, antara hukum dan etika sekurang-kurangnya terdapat lima perbedaan, yaitu:

a. Mekanisme Proses Pembuatannya.
Hukum dibuat berdasarkan peraturan-peraturan negara oleh lembaga-lembaga negara. Proses pembuatan hukum yang tidak sesuai dengan prosedur peraturan negara dapat dianggap cacat hukum sehingga secara hukum tidak berlaku. Begitu pula hukum yang dibuat oleh lembaga-lembaga yang tidak sesuai dengan yang telah ditentukan oleh negara juga menjadi cacat hukum. Sedangkan etika profesi dibuat dari, oleh dan untuk kalangan profesi itu sendiri. 

b. Ruang Lingkupnya.?
Hukum berlaku untuk seluruh warga masyarakat, bahkan terkadang berlaku lintas teritorial negara. Pada prinsipnya semua warga negara sama di depan hukum dan dianggap tahu hukum. Sedangkan etika profesi hanya berlaku terbatas kalangan profesi itu saja dan tidak dapat diterapkan orang atau organisasi di luar profesi itu. 

c. Sanksinya.
Sanksi hukum dapat bersifat apapun juga, mulai dari pengekangan kebebasan fisik dengan berbagai bentuknya, penjatuhan denda keuangan dan bahkan dalam kasuskasus tertentu di negara-negara tertentu dapat sampai sanksi pencabutan nyawa. Sanksi hukum bersifat konkrit dan dapat dipaksakan dengan bantuan pihak ketiga. Sedangkan sanksi etika terutama hanya terbatas pada moral dan kalau pun ada tambahan tetap dalam kaitannya untuk menjaga moral profesi.

d. Sifatnya
Hukum bersifat legalitas formal, sedangkan etika bersifat moralitas. Dalam hukum selama tidak memenuhi syarat legalitas formal, walaupun sebuah tindakan tercela, tidak dapat dihukum. Sebaliknya dalam etika, formalitas tidak menjadi penting. Selama sebuah tindakan dipandang tercela maka tidakan itu dianggap tetap tidak etis walaupun tidak ada aturan formal.

e. Filosofisnya
Hukum secara filosofis lebih bersifat badaniah, sedangkan moral menyangkut sikap batiniah. Hukum tidak begitu mempedulikan masalah-masalah batiniah dan oleh karenanya jika sudah memenuhi unsur-unsur perbuatan hukum suatu tindakan dapat dihukum, tidak peduli bagaimana sikap batiniah pelakunya. Sebaliknya etika sangat memperhatikan keadaan batiniah. Suatu tindakan dalam etika akan dilihat dulu apa motivasi dan niatannya sehingga baru dapat digolongkan apakah tindakan itu melanggar etika atau tidak. Pilihan melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dalam etika selalu berkaitan dengan apakah tindakan itu baik atau buruk dari segi moral.

Dimana asas praduga tidak bersalah dalam hukum pers diatur?

Asas praduga tidak bersalah sama sekali tidak mengurangi kemerdekaan pers untuk mengungkapkan kebenaran dan memberitakan/menyiarkan fakta secara akurat. Adanya asas praduga tidak bersalah justru menjaga kemerdekaan pers,sebab dengan adanya asas praduga tidak bersalah dapat dicegah penyalahgunaan pers untuk menyerang kehormatan seseorang secara melawan hukum. Dengan adanya asas praduga tidak bersalah juga sekaligus membuat pers sadar harus selalu menghormati proses hukum yang berlaku. Tetapi yang paling penting, dengan adanya asas praduga tidak bersalah membuktikan bahwa pers juga menghormati hak-hak asasi orang lain. Pengakuan pers terhadap asas praduga tidak bersalah membuat pers tidak boleh melanggar hak-hak asasi lainnya. Tanpa melanggar hak-hak asasi orang lain dan tanpa mengurangi hak orang untuk membela diri, pers tetap dapat membeberkan fakta atau informasi yang dimilikiya. Tegasnya asas praduga tidak bersalah tidak mengurangi kemerdekaan pers tetapi malah memperkuat kemerdekaan pers.

Apakah pemimpin redaksi menurut Undang-undang
tentang pers otomatis menjadi penanggung jawab?

Sampai sekarang masih ada pandangan bahwa pemimpin redaksi memang otomatis menjadi penanggung jawab. Faham ini didasarkan kepada dua hal: pertama, tradisi dalam pers selama ini
pemimpin redaksi adalah orang yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan mekanisme dan hasil kerja di bidang redaksi. Dengan kata lain sepanjang menyangkut reaksional selama ini memang
menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemimpin redaksi. Sejarah yang semacam ini membuat banyak pihak menilai sejarah
inilah yang masih juga berlaku sampai sekarang, termasuk setelah berlakunya UU Pers No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Kedua, dalam
UU Pers yang lama berlaku sistem waterfall atau sistem air terjun. Dalam UU Pers yang lama dikenal istilah Pemimpin Umum (PU),
Pemimpin Perusahaan (PP) dan Pemimpin Redaksi (Pemred). Pemimpin Umum merupakan pimpinan tertinggi dalam lembaga pers. Tetapi dia dapat melimpahkan urusan perusahaan kepada
pemimpin perusahaan dan urusan redaksi kepada pemimpin redaksi, termasuk tanggung jawabnya. Sampai kini peraturan tersebut sering dipandang masih berlaku. Padahal UU Pers No. 40
Tahun 1999 telah mengubah semua sistem tersebut. Dalam UU Pers tidak lagi dikenal Pemimpin umum, pemimpin perusahaan dan pemimpin redaksi, walaupun pemakaian terhadap ketiganya
juga sama sekali tidak dilarang. UU Pers hanya mensyaratkan bahwa siapa penanggung jawabnya harus dicantumkan secara nyata, terang dan terbuka. Dengan kata lain, menurut UU Pers,
pemimpin redaksi tidak otomatis menjadi penanggung jawab. Begitu juga pemimpin redaksi tidak otomatis dianggap sebagai penanggung jawab.

Dimana asas praduga tidak bersalah dalam hukum pers diatur?

Pasal 5 ayat 1 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur,
“Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tidak bersalah.”

Tetapi apa rumusan asas praduga tidak bersalah tidak dirumuskan oleh UU Pers. Penjelasan pasal 5 ayat 1 berbunyi:
“Pers nasional dalam menyiarkan informasi tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang terlebih lagi untuk kasuskasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.”
Dari penjelasan pasal 5 ayat 1 UU Pers ini dapat disimpulkan bahwa menurut UU Pers pelaksanaan asas praduga tidak bersalah antara lain:
a. Pers tidak boleh menghakimi Pengertian dalam penjelasan pasal 5 ayat 1 ini sama tepat dengan penafsiran yang terdapat Kode Etik Jurnalistik, yakni” asas praduga tidak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.”
b. Pers tidak boleh membuat kesimpulan kesalahan Bagian Keenam Asas Praduga Tidak bersalah Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik 132 seseorang terlebih untuk kasus yang masih dalam proses peradilan. Penjelasan ini sesungguhnya hanya mempertegaskan lagi apa yang dimaksud dengan “tidak menghakimi.” Dari sini pula kita mengetahui bahwa yang dimaksud dengan menghakimi adalah “tidak membuat kesimpulan kesalahan seseorang terlebih dahulu.” Dalam UU Pers “tidak membuat kesimpulan kesalahan seseorang lebih dahulu” lebih ditekankan lagi “terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan.” UU pers menginginkan selama proses peradilan, pers harus menghormati status hukum seseorang. Selama orang belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan, walaupun orang itu sudah ditahan penyidik dan didakwa serta dituntut jaksa, orang tersebut tidak boleh dinyatakan bersalah. Hanya pengadilan yang berhak menentukan status bersalah atau tidak bersalahnya seseorang dalam proses hukum. Hal ini terkait dengan prinsip hukum semua orang berhak dan bebas melakukan pembelaan terhadap tuduhan yang dilemparkan kepadanya. Hak dan kebebasan seseorang itu harus tercermin dari pemberian perlindungan kepada seseorang untuk dapat bebas atau leluasa melakukan pembelaan tanpa tekanan. Status hukum seseorang yang belum resmi bersalah membuat yang bersangkutan dapat melaksanakan hakhak pembelaan dirinya. Sebaliknya status hukum yang sudah bersalah dapat menghilangkan kesempatan untuk 133 membela diri lagi. Oleh sebab itu menghormati terhadap asas praduga tidak bersalah menjadi penting.
c. Harus mampu mengakomodasikan kepentingan semua pihak dalam pemberitaan. UU Pers menghendaki agar pers berlaku fair. Pemberitaan tentang suatu masalah (hukum) harus disajikan dengan memberikan kepada semua pihak untuk menerangkan kepentingan dan sutu pandangannya masing-masing. Kewajiban ini dalam resonasi yang lebih luas berarti, dalam pemberitaan pers harus membuat secara proporsional bagi masing-masing pihak dan tidak boleh berat sebelah, main tuduh dan tuding.