Apakah ada sinyal atau petunjuk Kode Etik Jurnalistik mana yang berlaku di Indonesia?

Penjelasan Pasal 7 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 mengatur, “yang dimaksud dengan ‘Kode Etik Jurnalistik’ adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.” Oleh karena itu Kode Etik Jurnalistik yang disepakati 29 organisasi pers pada tanggal 14 Maret 2006 dan kemudian dinyatakan sebagai Peraturan Dewan Pers No. 6/Peraturan-DP/ V/2008 adalah Kode Etik Jurnalistik yang memenuhi syarat baik secara filosofis, sosiologis, dan normatif. 

Apa yang dimaksud dengan Hak Tolak?

Hak tolak adalah hak wartawan karena profesi untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber yang dalam pemberitaan tidak disebut demi menjaga keamanan dan keselamatan narasumber itu maupun keluarganya.

Kenapa Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang sudah ada harus diganti dengan Kode Etik Jurnalistik yang berlaku sekarang?

Setidaknya ada dua alasan utama mengapa Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) diganti dengan Kode Etik Jurnalistik yang sekarang berlaku; 

a. Untuk menegakkan etika profesi wartawan, para wartawan menyadari Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) memerlukan sejumlah penyempurnaan. Kode Etik Jurnalistik yang sekarang berlaku merupakan penyempurnaan dari Kode Etik Wartawan Indonesia sebelumnya.

b. Kode Etik Jurnalistik dirancang sesuai dengan rujukanrujukan normatif, termasuk disesuaikan dengan UndangUndang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Misalnya soal penamaan. 

Apa yang sebenarnya dimaksud wartawan Indonesia tidak boleh menyalahgunakan profesinya?

Wartawan karena profesi dapat memiliki akses dan jaringan sumber informasi yang sangat luas, termasuk dapat memiliki informasi lebih awal dibandingkan dengan publik. Demikian pula wartawan dapat lebih dahulu memperoleh latar belakang informasi. Dalam banyak hal informasi ini berkaitan langsung dengan kebijakan publik. Sebagai pihak yang lebih dahulu memperoleh informasi wartawan tidak boleh menggunakan informasi itu untuk kepentingan dirinya. Penggunaan informasi untuk kepentingan pribadi dikhawatirkan akan menimbulkan konflik interest. Misalnya saja wartawan mungkin dapat mengetahui berapa harga perdana sebuah saham sebelum diumumkan dan kapan saham itu akan naik.

Dalam hal ini pengertian penyalahgunaan profesi sebagaimana dijelaskan dalam “tafsir resmi” Kode Etik Jurnalistik, adalah “segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasiyang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.” Namun, di samping pengertian itu, penyalahgunaan profesi juga menyangkut segala bentuk memanfaatkan profesi untuk memperoleh keistimewaan perlakuan dalam fasilitas publik. Misalnya naik bus umum atau kereta api tidak bayar dan
seterusnya.

Apakah hak jawab mengenal kadaluarsa?

Ya, hak jawab ada batas waktu atau kadaluarsanya, yaituhak jawab berlaku 2 (dua) bulan sejak berita yang merugikan dipublikasikan.

Apa dasar berlakunya Kode Etik Jurnalistik yang sekarang dipakai? 

Setidaknya ada tiga dasar berlakunya Kode Etik Jurnalistik yang saat ini dipakai oleh para wartawan Indonesia:

a. Kesepakatan 29 organisasi pers seluruh Indonesia di Jakarta tanggal 14 Maret 2006.

b. Peraturan Dewan Pers No. 6/Peraturan-DP/V/2008.

c. Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyebut, ”Wartawan Indonesia memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.”

Apakah wartawan boleh mewawancarai seorang anak yang orang tuanya terlibat masalah hukum tanpa izin orang tua atau tanpa didampingi orang tua?

Kode Etik Jurnalistik menerapkan prinsip perlindungan Bagian Ketiga Isi dan Tafsir Kode Etik Jurnalistik terhadap masa depan anak. Dalam masalah hukum yang dihadapi
orang tuanya, sang anak tidak boleh dilibatkan, apalagi diidentikkan dengan masalah hukum orang tuanya, termasuk dalam masalah perceraian orang tuanya. Maka dalam hal ini wawancara terhadap anak yang orang tuanya sedang mengalami masalah hukum harus memperoleh izin dari keluarga si anak atau bahkan anak harus didampingi salah satu orang tuanya.

Apa saja yang menjadi pengecualian hak jawab dapat ditolak atau tidak wajib dilayani oleh pers?

Ada empat hal yang menjadi dasar pers dapat menolak hak
jawab, yaitu:
a. Hak jawab yang diajukan bertentangan dengan kepentingan pihak ketiga yang harus dilindungi secara hukum;
b. Hak Jawab memuat fakta yang tidak terkait dengan pemberitaan atau karya jurnalistik yang dipersoalkan;
c. Hak Jawab yang diajukan dapat menimbulkan pelanggaran hukum;
d. Hak jawab yang diajukan panjang/durasi/jumlah karakternya melebihi pemberitaan atau karya jurnalistik yang dipersoalkan.

Bagaimana sejarah terbentuknya Kode Etik Jurnalistik Indonesia?

Ketika Indonsia merdeka tahun 1945, para wartawan Indonesia belum mempunyai Kode Etik Jurnalistik. Begitu pula ketika Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), organisasi wartawan Indonesia tertua yang lahir setelah Febuari 1946 belum ada Kode Etik Jurnalistik. Penulisan pojok (dengan berbagai nama) pada waktu itu yang cukup tajam dan kadang-kadang bernuansa satire, sinis dan atau penuh anekdot, menimbulkan sejumlah kontroversi, termasuk perdebatan apa yang boleh dan tidak boleh ditulis dalam bidang jurnalistik. Dari sanalah kemudian mulai muncul pemikiran perlu adanya kode etik di bidang jurnalistik di Indonesia. Pada tahun 1947 lahirlah Kode Etik Jurnalistik pertama melalui pembuatan Kode Etik Jurnalistik yang diketuai oleh Tasrif, seorang wartawan yang kemudian menjadi pengacara. Isi Kode Etik ini tidak lebih merupakan terjemahan dari Canon of Jurnalism, kode etik jurnalistik wartawan Amerika pada masa itu. Tidak heran isi dari Kode Etik Jurnalistik PWI pertama ini sama dengan Canon of Journalism, hanya penyebutannya disesuaikan dengan istilah Indonesia Setelah lahir Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Pokok-pokok Pers, Dewan Pers membentuk Panitia ad hoc yang terdiri dari 7 (tujuh) orang untuk merumuskan berbagai kode etik di bidang pers, termasuk Kode Etik Jurnalistik. Ketujuh orang itu masing-masing Mochtar Lubis, Nurhadi Kartaatmadja, H.G Rorimpandey, Soendoro, Wanohito, L.E. Manuhua, dan A. Azis. Hasil Panitia ad hoc diserahkan kepada Dewan Pers pada tanggal 30 September 1968. Kemudian Dewan Pers mengeluarkan keputusan No. 09/1968 yang ditandatangani oleh Boediardjo dan T. Sjahril yang menetapkan Kode Etik Jurnalistik hasil rumusan “Panitia tujuh” sebagai Kode Etik Jurnalistik.

Sesudah adanya Kode Etik Jurnalistik ini,  PWI tidak pernah mencabut Kode Etik Jurnalistik yang pernah mereka keluarkan sebelumnya sehingga ada dua Kode Etik Jurnalistik. Untuk wartawan anggota PWI berlaku Kode Etik Jurnalistik PWI dan yang bukan anggota PWI berlaku Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan oleh Dewan Pers. Setahun kemudian, tahun 1969, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 02/Pers/MENPEN/1969 yang menegaskan seluruh wartawan wajib menjadi anggota organisasi wartawan Indonesia yang telah disahkan oleh pemerintah. Tetapi kala itu belum ada satupun organisasi wartawan yang disahkan. Baru pada tanggal 20 Mei 1975 pemerintah mengukuhkan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan Indonesia sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 47/ Kep/MENPEN/1975 yang ditandatangani Menteri Penerangan Mashuri. Oleh karena PWI merupakan organisasi wartawan satusatunya yang diakui oleh pemerintah, otomatis sejak saat itu hanya PWI yang diakui sebagai organisasi wartawan yang sah. Hal ini juga berarti otomatis Kode Etik Jurnalistik PWI yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia kala itu. Apalagi bersamaan dengan itu pemerintah membuat keputusan melalui Keputusan Menteri Penerangan No. 48/Kep/MENPEN/1975 yang menegaskan bahwa yang berlaku untuk seluruh wartawan Indonesia adalah Kode Etik Jurnalistik PWI. Sedangkan Kode Etik Jurnalistik PWI sendiri dalam perjalanan mengalami beberapa kali perubahan. Setelah lahirnya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, wartawan diberi kebebasan memilih organisasi wartawan. Ini berarti PWI otomatis tidak lagi menjadi satu-satu organisasi wartawan, dan Kode Etik Jurnalistik PWI tentu saja tidak dapat diterapkan lagi untuk wartawan yang tidak tergabung di PWI. Maka tanggal 6 Agustus 1999 sebanyak 25 organisasi wartawan sepakat menelorkan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Kemudian 29 Juni 2000 Kode Etik Wartawan Indonesia ini disahkan oleh Dewan Pers. Terakhir tanggal 14 Maret 2006 difasilitasi oleh Dewan Pers, sebanyak 29 organisasi pers (gabungan 27 organisasi wartawan dan dua organisasi perusahaan pers) kembali sepakat melahirkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). KEWI diganti karena KEWI bukanlah produk Kode Etik Jurnalistik sebagaimana diamanatkan oleh UU Pers. PWI termasuk salah satu organisasi yang ikut menyetujui berlakunya Kode Etik Jurnalistik ini sehingga anggota PWI juga menundukkan diri kedalam Kode Etik Jurnalistik ini. Oleh karena itu kemudian Kode Etik Jurnalistik ini diberlakukan oleh Dewan Pers melalui Surat Keputusan Dewan Pers No. 03/SKDP/III/2006 dan diperkuat dengan Peraturan Dewan Pers No. 6/Peraturan-DP/V/2008. Dengan pengertian KEJ berlaku untuk semua wartawan.

Apakah ada pengecualian dari kewajiban pers melayani ahak jawab berlaku mutlak?

Ya, ada! Walaupun pada prinsipnya hak jawab wajib dilayanioleh pers, tetapi dalam hal-hal tertentu ada pengecualian yang memungkinkan pers dapat menolak hak jawab. Pengecualian terhadap kewajiban melayani hak jawab bersifat limitatif, artinya hanya hal-hal yang disebut secara jelas dalam pengecualian saja yang menjadi faktor bagi pers untuk dapat menolak hak jawab atau menjadikan menghindari kewajiban melayani hak jawab.

Hanya faktor-faktor yang secara jelas disebut dalam pengecualian Bagian Kedelapan Hak Jawab saja yang menjadi dasar penghapus kewajiban pers melayani hak jawab. Jika ada salah satu dari faktor-faktor penghapus itu, maka sudah cukup alasan bagi pers untuk dapat menolak melayani hak jawab. Sebaliknya di luar hal-hal yang secara jelas disebut dalam pengecualian hak jawab, pers tetap wajib melayani hak jawab tersebut