Apakah dimungkinkan adanya pengecualian dalam berlakunya Kode Etik Jurnalistik?

Dalam pekerjaan kewartawanan seringkali untuk memperoleh informasi yang akurat tidak mudah. Kasus-kasus yang rumit dan menyangkut jaringan yang luas dan berbahaya, informasi tidak dapat diperoleh dengan cara-cara yang konvensional. Selain berliku-liku terkadang juga penuh risiko dan bahaya. Untuk itu dibutuhkan suatu cara sebagai terobosan. Harus dilakukan suatu investigasi. Dalam bidang kewartawanan cara ini dinamakan investigative reporting. Nah, karena investigative reporting bersifat khusus dan memerlukan cara-cara khusus, dalam mencari, memperoleh, menyimpan dan memiliki informasi yang diperlukan boleh ada pengecualian dari Kode Etik Jurnalistik. Dengan kata lain, dalam kasus-kasus seperti itu ada penyimpangan dari Kode Etik Jurnalistik. Artinya. Kode Etik Jurnalistik dapat dikesampingkan untuk sementara. Tetapi karena sifatnya khusus, wartawan yang bersangkutan juga harus siap menghadapi kemungkinan risiko atau bahaya yang menimpanya.

Apa konsekuensi dari penggunaan Hak Tolak?

Prinsip Hak Tolak adalah melindungi narasumber dengan
tidak menyebut identitas dan keberadaannya. Dengan pemberian
perlindungan itu maka semua yang diberitakan berdasarkan
keterangan dari narasumber yang dilindungi dianggap berasal dari
redaksi (pers) sendiri. Ini artinya seluruh tanggung jawab terhadap
isi dan kebenaran isi dari sumber diambil alih oleh redaksi.
Konsekuensinya, seluruh tanggung jawab etika dan hukum terhadap
berita yang berasal dari narasumber yang tidak diungkapkan
identitas dirinya beralih dari si narasumber ke redaksi. Tegasnya,
seluruh berita yang tidak diungkapkan jati diri narasumbernya
beban tanggung jawab etika dan hukumnya berada di pihak
redaksi (pers). Bersamaan dengan itu si narasumber, baik secara
etika maupun secara hukum, dibebaskan dari beban tanggung
jawab apapun. Jika kemudian pers yang bersangkutan ingkar janji
dengan mengungkapkan jati diri atau identitas narasumber itu,
narasumber tersebut berhak menolak kebenaran dirinya sebagai
narasumber. Di sinilah pentingnya narasumber yang dipilih harus
kredible dan kompeten, karena semuanya pada akhirnya menjadi
tanggung jawab redaksi.

Bagaimana memberikan pemaknaan jika ada istilah atau pengertian yang tidak jelas dalam Kode Etik Jurnalistik?

Apabila, walaupun sudah ada penafsirannya tetap ada pengertian yang tidak jelas atau menimbulkan perdebatan mengenai suatu ketentuan dalam Kode Etik Jurnalistik, maka dalam hal ini Dewan Pers yang menetapkan apa makna istilah atau pengertian itu.

Apakah dalam Kode Etik Jurnalistik yang berlaku sekarang diberi penafsirannya?

Tidak! Kode Etik Jurnalistik yang berlaku saat ini sudah dirancang dengan memperhatikan kemungkinan daya lakunya di berbagai media. Kode Etik Jurnalistik mengandung nilai-nilai dasar di bidang jurnalistik yang dapat dipakai di semua media. Dengan demikian Kode Etik Jurnalistik ini juga berlaku untuk media cetak, radio, televisi dan sebagainya.

Jika setelah dua bulan sejak berita yang dianggap merugikan kemudian baru diajukan bagaimana?

Pada prinsipnya hak mengajukan hak jawab tersebut menjadi gugur. Artinya pihak yang merasa dirugikan sudah tidak memiliki hak jawab lagi dan pers juga sudah tidak berkewajiban lagi melayani hak jawab itu. Kendati demikian dalam hal-hal tertentu, jika karena pertimbangan dalam dirinya sendiri, pers bersedia melayani hak tersebut, hak jawab dimungkinkan untuk dilayani kembali. Jadi dalam hal ini sepenuhnya menjadi kewenangan pers untuk tetap menerima atau menolak pengajuan hak jawab yang telah melewati batas kadaluarsa dua bulan.
 

Apakah pemakaian Hak Tolak ada syarat-syaratnya?

Tidak semua narasumber atau sumber berita boleh tidak  diungkapkan identitas dan keberadaannya. Dengan kata lain, pemakaian Hak Tolak memang harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni antara lain:

  1. Adanya kepentingan umum yang lebih besar daripada kepentingan pribadi atau kelompok.
  2. Banyak narasumber yang ingin mengungkapkan sesuatu kepada wartawan yang menurut mereka penting tetapi meminta identitas dan keberadaan dirahasiakan. Dalam hal ini wartawan harus berhati-hati dengan meneliti lebih dahulu, apakah informasi yang ingin disampaikan benarbenar mengandung kepentingan umum ataukah cuma untuk kepentingan si pemberi informasi saja. Jika ternyata Bagian Ketiga Isi dan Tafsir Kode Etik Jurnalistik informasi itu semata-mata hanya untuk kepentingan si pemberi informasi saja, harus ditolak wartawan dengan tiga alasan. Pertama, wartawan cuma diperalat saja. Kedua, narasumber tidak berniat baik. Dan ketiga, yang terpenting, tidak ada manfaat bagi kepentingan umum. Contohnya, biasanya pihak yang kalah tender sering mengungkapkan kepada wartawan adanya ketidakberesan dalam proses tender itu. Dalam kasus ini harus dilihat dulu, apakah pengungkapan informasi itu hanya bertujuan “balas dendam” saja ataukah memang ada kepentingan yang lebih luas bagi publik. Jika hanya sekadar untuk membalas dendam saja dan masalahnya tidak ada kaitannya dengan kepentingan umum, perlu ditolak. Tapi jika memang ada masalah penyimpangan yang sangat berat lewat penyalahgunaan wewenang sehingga menyebabkan kerugian negara, dapat dipertimbangkan tidak menyebut identitas dan keberadaan narasumber tersebut.
  3. Adanya kemungkinan ancaman yang sangat serius terhadap keselamatan narasumber dan keluarganya.
  4. Harus ada keseimbangan antara kemungkinan ancaman yang timbul dengan perlindungan yang diberikan kepada narasumber. Jika ancamannya kemungkinan tidak berat, tidak perlu mempergunakan Hak Tolak. Sebaliknya apabila kemungkinan ancaman berat apalagi bahaya, perlu dipertimbangkan pemakaian Hak Tolak.
  5. Narasumbernya harus kredibel.
  6. Informasi yang diberikan oleh narasumber kepada wartawan adalah informasi yang valid. Artinya, akurat dan kebenarannya tidak diragukan lagi. Jika informasi tidak valid, wartawan wajib menolak “pemberian” informasi tersebut. Di sinilah sumber informasi harus kredibel. Artinya sumber informasi dalam hal ini adalah orang atau pihak yang sangat dapat dipercaya. Sumber yang pembohong dan penipu tidak dapat dipakai sebagai sumber yang dapat dipercaya.
  7. Narasumbernya harus kompeten.
  8. Narasumber yang tidak diungkapkan identitas dan keberadaannya juga harus narasumber yang kompeten dalam bidang informasi yang diberikan. Narasumber ini bisa memang pakar yang mengetahui masalah itu tetapi dapat juga orang yang terlibat atau mengalami langsung masalahnya.
  9. Harus bersifat faktual.
  10. Informasi yang diberikan narasumber haruslah faktual.Artinya bukan fiktif dan bukan opini. Sebab kalau untuk opini narasumber dapat mengemukakan secara terbuka dan itu dilindungi sehingga menyembunyikan identitas dan keberadaan informasi yang bersifat opini hanya berarti “lempar batu sembunyi tangan.” Tegas, informasi harus bersifat faktual.

Apa beda jika dalam Kode Etik Jurnalistik dipakai istilah “penafsiran” dan istilah “penjelasan” untuk menguraikan makna dalam Kode Etik Jurnalistik?

Dalam menguraikan makna pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik memang sengaja dipakai istilah “penafsiran” dan bukan istilah “penjelasan.” Hal ini didasarkan kepada pemikiran bahwa “penafsiran” Kode Etik Jurnalistik bukanlah bagian yang tetap dari Kode Etik Jurnalistik itu. Penafsiran itu merupakan hasil suatu penafsiran yang disepakati pada waktu tertentu. Bisa saja karena perkembangan zaman dan tuntutan profesi, penafsiran ini berubah tanpa harus mengubah Kode Etik Jurnalistiknya sendiri. Hal ini berbeda jika yang dipakai istilah “penjelasan.” Pemakaian istilah “penjelasan” menunjukkan bahwa penjelasan itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan induknya.

Dengan demikian tidak mungkin ada penjelasan yang boleh diubah tanpa mengubah induknya. Dalam hal ini seandainya dipakai istilah “penjelasan” dalam Kode Etik Jurnalistik, maka tidak boleh mengubah penjelasan itu tanpa mengubah Kode Etik Jurnalistiknya sendiri.

Apakah Kode Etik Jurnalistik yang berlaku sekarang memakai “mukadimah?”

Di luar batang tubuhnya, Kode Etik Jurnalistik yang berlaku sekarang memang memiliki “mukadimah,” “pembukaan,” atau “pendahuluan” tetapi tanpa penyebutan secara eksplisit namanya. Bagian itu berisi landasan nilai-nilai yang dipakai dalam Kode Etik Jurnalistik sekaligus filosofi mengapa Kode Etik Jurnalistik ini diperlukan. 

Bagaimana dampak juga diaturnya kode etik dalam Undang-Undang Pers? Bukankah etika profesi hanya diatur oleh dari dan untuk penyandang etika profesi itu sendiri?

a. Pendapat pertama menilai, pengaturan soal Kode Etik Jurnalistik dalam undang-undang hanya bersifat deklaratif saja, tetapi mengenai mekanisme bagaimana Kode Etik Jurnalistik itu dibuat, sifat-sifatnya, ruang lingkup, dan sanksinya pada akhirnya tetap diserahkan kepada mekanisme Kode Etik Jurnalistik itu sendiri. Dengan demikian, menurut pendapat, tidak begitu menimbulkan persoalan.

b. Pendapat kedua menilai, diaturnya Kode Etik Jurnalistik dalam undang-undang memang telah mencampuradukkan sifat-sifat etika menjadi sifat yuridis. Dengan demikian ruang lingkup etika sudah diperluas menjadi ruang lingkup hukum. Kesalahan etika pun menjadi sama dengan kesalahan hukum. Akibatnya Kode Etik Jurnalistik kehilangan sifat etikanya dan telah berubah menjadi sifat hukum atau yuridis.

c. Pendapat ketiga menilai, masalahnya harus dilihat kasus per kasus. Artinya, walaupun polanya sama tetapi kesimpulannya setiap kasus bisa tetap berbeda. Dalam hal ini Kode Etik Jurnalistik sudah disepakati oleh 29 organisasi pers yang ada dan itu sudah sesuai dengan sifat etika profesi, dari oleh dan untuk kalangan etika profesi itu sendiri. Dengan demikian Kode Etik Jurnalistik ini memenuhi syarat untuk diberlakukan. Bahwa kemudian oleh undang-undang diperkuat, hal itu merupakan dua persoalan yang berlainan. Kode Etik Jurnalistik dapat berlaku berdasarkan nilai-nilai etika itu sendiri. Jika kemudian ada yang ingin memperlakukan Kode Etik jurnalistik itu berdasarkan norma-norma hukum, tidak menjadi persoalan sepanjang pelaksanaan itu tidak bertentangan dengan yang telah diatur dalam Kode Etik Jurnalistik sendiri. Tetapi apabila pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik dengan mengatasnamakan norma-norma yang bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik itu, termasuk dengan memakai nilai-nilai hukum, tidak dapat dibenarkan dan menyimpang dari sifat hakekat Kode Etik Jurnalistik itu sendiri. 

Apakah betul berlakunya Kode Etik Jurnalistik juga diatur dalam Undang-Undang Pers?

Betul! Kode Etik Jurnalistik saat ini selain merupakan kesepakatan para wartawan yang tergabung dalam berbagai organisasi wartawan juga diatur dalam Pasal 7 ayat 2 UndangUndang No. 40 Tahun 1999 yang menegaskan, “wartawan Indonesia memiliki dan menaati Kode Etik jurnalistik.”