Jika Undang-undang Pers dirancang hanya berisi ”pokok - pokok” saja kenapa secara resmi Undang-undang Pers tidak dinamakan ”Undang-undang Pokok?” 

Paling sedikit ada tiga alasan. Alasan pertama, jika secara resmi dipakai istilah ”UU Pokok” maka berarti membuka peluang harus ada peraturan pelaksana yang mengatur penjabaran dari undangundang itu, yaitu berupa Peraturan Pemerintah (PP) ataupun Peraturan Menteri (Permen) dan seterusnya peraturan-peraturan ke bawah lainnya. Ini membuka kesempatan lagi bagi penguasa untuk turut campur dalam urusan pers, termasuk kemungkinan melakukan kooptasi kepada pers. Padahal secara terencana pembentuk undang-undang memang tidak menghendaki adanya peraturan pelaksana dari pihak pemerintah. Pengalaman telah mengajarkan kepada pembentuk undang-undang, dalam sejarah pers Indonesia, adanya peraturan pelaksana dari pihak pemerintah dikhawatirkan akan membuka kemungkinan munculnya peraturan yang bertentangan dengan jiwa dari UU Pers sendiri, termasuk lahirnya perundang-undangan yang mengekang kemerdekaan pers yang sebenarnya sudah dijamin dalam UU Pers. Maka itu pembentuk undang-undang tidak menghendaki adanya peraturan pelaksana dari pihak pemeritah dan untuk menghindari hal itu UU Pers walaupun cuma berisi ”pokok-pokok” saja tetapi tidak dinamakan ”UU Pokok.”

Alasan kedua, UU Pers menganut asas swa regulasi atau self regulation, yaitu asas yang memberikan kebebasan kepada masyarakat pers untuk mengatur dirinya sendiri, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum. Untuk itulah pembentuk undangundang dengan sengaja menutup kemungkinan adanya peraturan pelaksana dari pemerintah terhadap UU Pers. Sebagai gantinya pembentuk undang-undang memberikan kesempatan kepada masyarakat pers untuk mengatur diri sendiri. Dalam hal ini pembuatan peratuan di bidang pers berada dalam koordinasi Dewan Pers. Salah satu dari fungsi Dewan Pers sebagai cerminan dari pengaturan terhadap diri sendiri atau swa regulasi itu tertuang dalam pasal 15 ayat 2 huruf f yang menegaskan Dewan Pers, ”Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturanperaturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.” Paham swa regulasi yang dianut di dalam UU Pers ini jelas tidak menghendaki adanya pembuatan peraturan pelaksana oleh pemerintah, sehingga pembuat undang-undang memang menutup kemungkinan pemerintah untuk membuat peraturan pelaksana dari Undang-undang Pers. Penamaan secara resmi UU Pers dengan sebutan ”UU Pokok” bertentangan dengan kehendak pembuatan undang-undang karena ”UU Pokok” justru mewajibkan pemerintah membuat peraturan pelaksana dari undang-undang itu. Dengan alasan itu sejak awal pembuatan UU Pers secara sengaja tidak menamakan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan nama ”UU Pokok.”

Alasan ketiga, pengalaman berbangsa dan bernegara sejak proklamasi kemerdekaan sampai lahirnya undang-undang ini membuktikan, pada taraf awal setiap pemerintah mencoba merangkul pers, sehingga terjadilah bulan madu antara pers dan pemerintah. Tetapi jika pers masih terus kritis, pemerintah sedikit demi sedikit akan menunjukan pandangan yang tidak suka terhadap pers seperti itu. Dalam keadaan demikian lama kelamaan posisi pemerintah terhadap pers berlawanan diametral dengan posisi pers. Pemerintah, langsung atau tidak langsung nantinya akan mulai mengancam pers, termasuk melalui berbagai peraturan. Setelah suatu pemerintahan berganti, proses semacam itu selalu berulang kembali. Hal ini menciptakan semacam keyakinan, sebagian orang menyebut traumatik, di kalangan pers, kalau pemerintah diberikan peluang mengatur pers, maka pemerintah cenderung akan mengekang kemerdekaan pers. Jika UU tentang Pers dijadikan UU Pokok yang memungkinkan pemerintah membuat peraturan tentang pers dinilai kalangan pers sama saja dengan semacam memberikan cek kosong kepada penguasa. Si penerima cek dengan begitu dapat mengisi berapa saja sekehendak hatinya. Artinya, kalau UU Pers memberikan peluang kepada pemerintah untuk membuat peraturan pelaksana pers, sama saja dengan pers memberikan kemerdekaan pers untuk dipasung oleh pemerintah. Oleh karena itu kalangan pers keberatan jika UU Pers masih memberikan peluang kepada pemerintah untuk membuat peraturan pelaksana sebagai penjabaran UU Pers. Itulah sebabnya Undang-undang Pers sampai sakarang tidak lagi dinamakan ”UU Pokok Pers.” 

Kenapa dalam Undang-undang tentang Pers dipakai istilah ”kemerdekaan pers” dan bukan ”kebebasan pers?”

Dilihat dari proses pembuatan Undang-undang tentang Pers, pilihan memakai istilah ”kemerdekaan pers” karena istilah ”kemerdekaan” juga yang dipakai dalam konstitusi atau UUD 1945. Selain itu istilah ”kemerdekaan” dinilai pembuat undangundang lebih hakiki karena menyangkut langsung asasi dibanding dengan istilah ”kebebasan.”

Kenapa baik korban maupun pelaku kejahatan anakanak identitasnya tidak boleh disiarkan?

Setelah melalui berbagai perdebatan dalam proses perumusan tentang anak (memperhatikan aspek perkembangan zaman, yuridis, sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan), akhirnya dalam Kode Etik Jurnalistik ditetapkan yang dimaksud anak adalah seorang yang berusia di bawah 16 tahun. Tentu saja anak masih mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Masa depan mereka masih panjang. Agar mereka dapat mencapai masa depan yang baik, maka harus diciptakan suasana yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan kejiwaan mereka. Masa depan inilah yang ingin dilindungi oleh Kode Etik Jurnalistik dengan mengatur identitas anak, baik sebagai korban maupun pelaku, tidak boleh disiarkan.

Pers mempunyai pengaruh yang sangat luas. Pengaruh pemberitaan dapat menghasilkan semacam dominan efek yang dapat mempengaruhi dan merugikan pertumbuhan dan perkembangan kejiwaan anak-anak. Jika identitas anak-anak, baik sebagai pelaku maupun sebagai korban, diberitakan dengan jelas, dikhawatirkan pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak-anak itu akan sangat terganggu sehingga masa depannya juga mengalami gangguan. 

Kenapa identitas korban kejahatan kesusilaan tidak boleh disiarkan?

Kode Etik Jurnalistik memandang kesusilaan langsung berkaitan dengan norma, rasa malu yang sangat tinggi, bukan hanya bagi korbannya tetapi juga keluarga korban. Begitu juga kesusilaan langsung berkaitan dengan nilai “kesucian” hidup. Mereka yang menjadi korban kesusilaan akan mengalami luka batin yang amat mendalam dan menanggung beban sosial yang luar biasa. Sebagai bagian dari penghormatan terhadap nilai-nilai yang hidup di masyarakat, Kode Etik Jurnalistik melarang identitas korban kejahatan kesusilaan disiarkan. Pengertian identitas tidak hanya nama dan foto diri tetapi juga semua hal yang memudahkan publik mengidentifikasi korban tersebut.

Kenapa dalam membuat atau menyiarkan berita wartawan wajib mencantumkan atau menjelaskan waktu pengambilan gambar suara dan keterangan lainnya?

Kode Etik Jurnalistik mewajibkan agar dalam membuat atau menyiarkan berita disebut waktu pengambilan gambar atau bahan (wawancara dan sebagainya) agar publik memiliki gambaran yang sesungguhnya kapan sesuatu diucapkan atau diambil sehingga dengan demikian publik sejauh mungkin terhindar dari kesan yang keliru. Sebuah peristiwa atau pernyataan akan terkait dengan situasi ketika hal tersebut terjadi dan akan memiliki makna yang berbeda ketika situasinya juga berbeda. Pencantuman waktu pengambilan gambar dan atau sebuah pernyataan akan membuat publik mengetahui dalam konteks apa gambar dan pernyataan itu terjadi.

Selain itu, pencantuman waktu pengambilan gambar atau pernyataan, akan menghindari pers memanipulasi gambar dan pernyataan yang ada untuk pemaksaan kesimpulan dari pers yang bersangkutan.

Pencantuman ini memiliki nilai untuk juga memenuhi unsur akurat. Kapan, dimana dan bagaimana gambar atau sebuah pernyataan diambil harus dikemukakan sesuai dengan faktanya. Dengan begitu berita menjadi tetap akurat.

Kenapa wartawan dilarang membuat berita sadis dan cabul, padahal begitu banyak peristiwa sadis dan cabul terjadi di tengah masyarakat?

Kode Etik Jurnalistik sama sekali tidak melarang pers untuk memberitakan kejadian sadis atau cabul, sebab memang peristiwa sadis dan cabul banyak terjadi. Pemberitaan sadis dan cabul merupakan refleksi apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat. Adapun yang tidak dibolehkan oleh Kode Etik Jurnalistik bukan memberitakan peristiwa sadis atau cabul, melainkan melakukan pemberitaan dengan cara sadis dan cabul. Jadi, yang tidak boleh adalah membuat berita dengan cara yang cabul atau sadis. 

Misal kalau ada perkosaan, peristiwa tersebut tetap boleh diberitakan. Sedangkan yang tidak boleh apabila cara pemberitaan menjadi cabul. Umpamanya dengan melukiskan secara detail, apalagi berlebihan, bagaimana perkosaan itu terjadi sehingga yang muncul justru pelukisan yang cabul. Jadi, tak ada larangan memberitakan tentang kasus-kasus cabul dan sadis, yang dilarang ialah justru berita yang dibuat dengan cara cabul dan sadis.

Apakah yang dimaksud dengan sadis dan cabul dalam Kode Etik Jurnalistik?

Penafsiran resmi Kode Etik Jurnalistik merumuskan, ”sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.” Sedangkan “cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis dan atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.” Jadi sadis adalah prilaku melewati batas kemanusiaan. Sedangkan cabul tujuan utamanya hanya menimbulkan birahi tanpa tujuan edukasi, seni atau pun ilmiah.

Bagaimana sikap wartawan dalam pemberitaan jika pihak resmi, seperti polisi atau jaksa, cuma menyebut inisial atau singkatan nama seorang sebagai tersangka atau sedang terlibat dalam hukum?

Pihak resmi itu mungkin bekerja berdasarkan aturan internal mereka atau yang dianggap mereka sesuai dengan aturan mereka sehingga merasa perlu menyingkat nama atau cuma memberikan inisial saja. Tugas wartawan berbeda. Pers harus memberikan berita yang akurat. Jadi kalau ada pihak resmi cuma memberikan inisial atau nama singkatan, menjadi tugas wartawan untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang dimaksud dengan nama singkatan atau inisial itu. Penyebutan nama lengkap itu bukan hanya tidak melanggar Kode Etik Jurnalistik tetapi justru sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik. 

Bagaimana contoh beda antara fakta dan penghakiman yang lebih konkrit?

Jika ada wartawan menyaksikan langsung seseorang melakukan penembakan, penusukan atau pemukulan yang menyebabkan korbannya langsung meninggal, maka orang tersebut sebagai pembunuh merupakan sebuah fakta. Wartawan boleh mengatakan orang itulah pembunuhnya. Kendati demikian wartawan tidak boleh mengatakan orang yang membunuh tersebut bersalah. Manakala wartawan tersebut mengemukakan bahwa orang tersebut melakukan pembunuhan, itu fakta dan karenanya tidak melanggar asas praduga tidak bersalah. Tetapi ketika dia berlanjut menyebut orang tersebut bersalah melakukan pembunuhan, ini sudah melewati batas dan masuk ke dalam wilayah pelanggaran asas praduga tidak bersalah.

Apa pengertian asas praduga tidak bersalah dalam jurnalistik?

Banyak yang keliru mengartikan pengertian asas praduga tidak bersalah dalam jurnalistik seakan-akan asas praduga tidak bersalah adalah menyingkat nama seseorang yang diduga terlibat hal negatif atau dalam proses hukum. Padahal asas praduga tidak bersalah dalam jurnalistik tidak ada kaitannya dengan penyingkatan nama. Asas praduga tidak bersalah dalam jurnalistik berhubungan dengan pernyataan yang menghakimi dari pers, pada keadaan apapun, tidak hanya terbatas pada proses hukum saja. Penyebutan nama lengkap dalam proses hukum tingkat manapun sepanjang hal itu merupakan fakta dan tidak ditentukan lain oleh undangundang dan kode etik, diperbolehkan dan tidak melanggar asas praduga tidak bersalah. Contohnya jika ada seorang selebritis ditangkap polisi, maka pers bebas menyebut nama dan identitasnya. Begitu pula jika ada seorang pejabat yang sedang diadili, jika pengadilan itu bersifat terbuka untuk umum, maka pers bebas memberitakan identitas pejabat sebagai tersangka. Hakim saja sudah menyatakan sidang terbuka untuk umum yang berarti siapa saja dapat datang dan mengetahui apa yang terjadi dalam sidang, termasuk siapa terdakwanya, mengapa wartawan melakukan pembiasan. Sebaliknya walaupun seseorang sedang tidak ditangkap atau tidak diadili atau tidak menjalankan proses hukum apapun, tetapi wartawan memberitakan dengan memberikan penghakiman, hal ini sudah termasuk melanggar asas praduga tidak bersalah. Misalnya saja kalimat, “pejabat itu memang biang kerok korupsi,” jelas bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah dalam jurnalistik. Begitu juga kata-kata atau kalimat yang superlatif dapat diartikan sebagai pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah. Contohnya kata-kata “serakah,” “kartu mati,” atau “brengsek.” Semua pemberian katagori “bersalah” pada narasumber tanpa merujuk kepada keputusan pengadilan juga merupakan pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah. Bagaimana jika memang orang tersebut angkuh, misalnya? Secara jurnalistik, diskripsikan saja hal itu. Pada televisi lebih mudah lagi, ambil saja sudut-sudut pandang (angle) itu dan biarlah penonton yang mengambil kesimpulan.