Apakah asas praduga tidak bersalah mengekang kemerdekaan pers?

Asas praduga tidak bersalah sama sekali tidak mengurangi kemerdekaan pers untuk mengungkapkan kebenaran dan memberitakan/menyiarkan fakta secara akurat. Adanya asas praduga tidak bersalah justru menjaga kemerdekaan pers, sebab dengan adanya asas praduga tidak bersalah dapat dicegah penyalahgunaan pers untuk menyerang kehormatan seseorang secara melawan hukum. Dengan adanya asas praduga tidak bersalah juga sekaligus membuat pers sadar harus selalu menghormati proses hukum yang berlaku. Tetapi yang paling penting, dengan adanya asas praduga tidak bersalah membuktikan bahwa pers juga menghormati hak-hak asasi orang lain. Pengakuan pers terhadap asas praduga tidak bersalah membuat pers tidak boleh melanggar hak-hak asasi lainnya. Tanpa melanggar hak-hak asasi orang lain dan tanpa mengurangi hak orang untuk membela diri, pers tetap dapat membeberkan fakta atau informasi yang dimilikiya. Tegasnya asas praduga tidak bersalah tidak mengurangi kemerdekaan pers tetapi malah memperkuat kemerdekaan pers. 

Bagaimana mekanisme pemilihan anggota Dewan Pers?

Mekanisme atau tata cara pemilihan anggota Dewan Pers diatur dalam Statuta Dewan Pers. Pertama-tama dibentuk panitia pemilihan oleh Dewan Pers yang biasanya dinamakan Badan Pekerja. Kemudian Badan Pekerja menampung dan memeriksa usulan bakal calon anggota Dewan Pers dari manapun datangnya. Dari bakal calon itu kemudian unsur wartawan dipilih oleh organisasi wartawan dan unsur pimpinan perusahaan pers dipilih oleh organisasi perusahaan pers, sedangkan unsur tokoh masyarakat dipilih bersama oleh organisasi wartawan dan organiasi perusahaan pers. Untuk setiap unsur dipilih sebanyak tiga kali lipat dari jumlah anggota Dewan Pers, atau ada 27 calon anggota Dewan Pers. Dari jumlah inilah kemudian dipilih oleh Badan Pekerja menjadi sembilan anggota Dewan Pers.Setelah anggota Dewan Pers terpilih maka kemudian anggota Dewan Pers baru akan memilih sendiri ketua dan wakil ketua Dewan Pers. Keanggotaan Dewan Pers ditetapkan oleh Surat Keputusan Presiden sebagai Kepala Negara untuk jangka waktu tiga tahun setiap periodenya dan setelah itu hanya dapat dipilih kembali sekali untuk satu periode berikutnya.

Bagaimana agar pers tidak melanggar asas praduga tidak bersalah dalam pers?

Seringkali kasus pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah terjadi karena pers tidak atau kurang memahami teknis jurnalistik dalam kaitannya dengan penerapan asas praduga tidak bersalah. Kalaupun persnya sudah memahami hal tersebut, seringkali dalam prakteknya pers agak lalai atau ceroboh. Untuk itu ada beberapa cara yang harus dilakukan oleh pers agar terhindari dari pelanggaran asas praduga tidak bersalah;

a. Kejelasan Narasumber Banyak sekali persoalan asas praduga tidak bersalah muncul akibat ketidakjelasan dari siapakah sebuah pernyataan berasal, atau narasumber merasa pernyataannya tidaklah sebagaimana yang diberitakan oleh pers. Untuk menghindari hal ini, para wartawan harus benar-benar menguasai aturan-aturan peliputan universal. Kesalahan terhadap penerapan istilahistilah peliputan, apalagi ketidak mengertian, dapat bermuara kepada adanya tuduhan asas praduga tidak bersalah. Dalam berita pers, harus tegas, daripada pernyataan yang diberitakan. Apakah itu merupakan pendapat narasumber, ataukah diambil dari sumber lain, atau juga apakah itu pendapat atau analisis dari persnya sendiri. Kalau ada kutipan-kutipan dari narasumber, harus jelas darimana kutipan-kitupan itu. Ketidakjelasan soal ini dapat menimbulkan tuduhan kepada pers bahwa pers yang bersangkutan telah sengaja menyalah artikan pendapat atau kutipan demi kepentingan pers, dan dalam kaitannya dengan seseorang atau sekelompok orang dapat menyebabkan pers dituduh memanfaatkan pernyataan atau kutipan tersebut untuk memojokan orang atau sekelompok orang yang dimaksud. Disinilah dapat muncul tuduhan pelanggaran asas praduga tak bersalah oleh pers yang memberitakannya.
Untuk menghindari hal itu pers secara ekplisit menyebut mana kutipan yang dari narasumber dan mana yang bukan dari narasumber. Ada baiknya juga kalau narasumber yang dipakai pers memiliki konflik interest dengan bahan-bahan yang disebarkan pers, perlu disebut mengenai posisi narasumber yang memiliki konflik interest ini. Dengan begitu walaupun penyebarannya tanggung jawab pers, tetapi publik faham posisi atau profil narasumber yang dipakai. Ini akan menghasilkan berita yang fair dan menghindari kemungkinan adanya tuduhan pers telah melakukan pelanggaran asas praduga tidak bersalah.

b. Kejelasan Kutipan Bagi wartawan kutipan narasumber sering kali menimbulkan masalah yang dapat berbuntut pada tuduhan pelanggaran asas praduga tidak bersalah. Hal ini terjadi karena banyak sebab, misalnya, ketidak akurat kutipan. Begitu juga terkadang kutipan diletakan pada konteks yang tidak tepat atau bahkan diluar konteks. Keinginan untuk memperindah kutipan pun, pada akhirnya terkadang justru menjebak wartawan memberikan berita yang multi tafsir. Untuk menghindari kesalahan dalam penyajian kutipan dari sumber sebaiknya diperhatikan, antara lain sebagai berikut. Kutipan jangan diperbagus. Biasanya demi keindahan dan “rasa” banyak wartawan memperindah kutipan dari kutipan yang sebenarnya. Perbaikan kutipan jika tidak hati-hati justru menghilangkan makna kutipan itu sendiri dan dapat memberikan artinya yang melenceng dari maksud keterangan narasumber sehingga dalam hal-hal tertentu akhirnya dapat mengandung penghakiman. Nah, penghakiman inilah yang dapat menghantarkan pers menghadapi tuduhan pelanggaran asas praduga tidak bersalah. Kutiplah sesuai dengan konteks percakapan. Kutipan yang tidak sesuai percakapan membahayakan pers dan narasumber sekaligus. Sebagai contoh, seorang pemimpin yang sudah tidak lama kembali ke kampung halamannya, suatu saat kembali pulang ke kampung halamannya. Ketika turun dari pesawat, seorang wartawan bertanya kepadanya, “Pak tidak ke panti pijat dulu?” Menghadapi pertanyaan seperti itu, si pemimpin agak terkejut dan setengah bergurau balik bertanya, “Memang disini sudah ada panti pijat?” Dalam berita, wartawan kemudian menang mengutip pernyataan sang pemimpin dengan tepat, tetapi di luar konteks sebagai berikut, “Begitu menginjakan kakinya di kampung halamannya kembali pemimpin kita tanpa ada malu langsung bertanya,“ Memang disini sudah ada panti pijat?” Isi kutipan semuanya sama tepat, tetapi konteksnya sangat berlainan, akibatnya memberikan makna dan asosiasi yang sangat berlainan pula. Hal ini dapat membawa pers berhadapan dengan tuduhan pelanggaran asas praduga tidak bersalah. Disini pemuatan kutipan harus dilakukan dengan fair. Kutipan harus selalu ditempatkan pada konteksnya. Jika seorang jurubicara Pak Budiman mengatakan dia berbicara untuk dan atas nama Pak Budiman, pers harus menghubungkan pernyataannya dengan Pak Budiman. “Amir, juru bicara Budiman, mengatakan...” dan seterusnya.

c. Kejelasan Perimbangan Salah satu masalah mendasar yang harus diperhatikan pers ialah keharusan adanya perimbangan. Pemberitaan yang berimbang harus dilakukan benar-benar sama proporsionalnya. Kejelasan perimbangan pertama-tama ditunjukan dengan adanya konfirmasi atau keterangan langsung dari pihak narasumber yang bersangkutan, dalam hal ini termasuk pihak yang dapat dinilai mewakili kepentingan narasumber tersebut. Untuk itu pers perlu mengingat hal elementer lagi: kalau seorang narasumber atau pihak yang mewakilinya tidak dapat dihubungi, pers harus mengusahakan meninggalkan pesan kepada pihak terkait narasumber yang dihubungi. Hal ini bukan saja untuk menghindari pers dari tuduhan pelanggaran asas praduga tidak bersalah tetapi juga untuk membuktikan betapa seriusnya pers telah berupaya menghubungi pihak narasumber yang diperlukan dan telah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya.
Jika berita pers sangat negatif tentang narasumber tersebut, pers sebaiknya berupaya menahan berita tersebut dalam waktu yang relatif cukup untuk memberikan kesempatan kepada narasumber guna memberikan keterangannya sampai mendekati kelayakan deadline untuk pers yang bersangkutan (setiap pers mempunyai rentang waktu deadline yang berlainan). Jika pada saat itu tidak diperoleh juga keterangan dari narasumber, pers dapat mengambil kutipan yang bernada pembelaan dari sumber lainnya. Upaya serius dari pers ini akan mencengah pers dari kesalahan tuduhan melakukan sengaja melakukan pelanggaran asas praduga tidak bersalah. Untuk perimbangan berita ini, jangan lupa pula pers sewajarnya memberikan kesempatan kepada semua pihak terkait. Kalau pers mempersiapkan menurunkan berita profil seseorang, sebut saja Ali Widjaya, dan dalam wawancara itu Ali Widjaya mengatakan dia dulu satu kamar dengan Doyano dan pernah ditangkap karena mengisap ganja. Pers harus segera meminta konfirmasi dari Doyano terhadap keterangan ini. Begitu pula manakala Ali Wijdaya mengatakan ”bisnis sekarang ini sudah sedemikian ketat dan keras, sehingga saya pun pada akhirnya harus memecat Doyano teman sekamar saya untuk memperkuat bisnis saya,” pers berkewajiban mencari keseimbangan dari Doyano apakah memang benar demikian. Pers sebaiknya menghindari mengutamakan kecepatan tanpa memperhatikan keseimbangan dalam berita.

d.Kejalasan Meliput Dalam melakukan peliputan, pers harus jelas menempatkan dirinya sebagai wartawan. Wartawan wajib menyebut identitasnya dan statusnya jika ingin membuat berita kepada narasumber yang memerlukan kejelasan. Memang dalam investigasi dimungkinkan adanya beberapa terobosan untuk tidak menyebutkan identitas wartawan. Misal masih dapat ditolerir jika untuk mengetahui bagaimana permainan bengkel mobil, wartawan mendatangi delapan sampai sepuluh bengkel mobil dan menanyakan kerusakan yang sama kepada semua bengkel tersebut guna mengetahui apa saja yang dilakukan oleh bengkel. Begitu juga masih ditolerir kita berlaku sebagai pengunjung untuk mengetahui pelayanan restoran atau rumah sakit. Kendati demikian, pers tidak boleh memberikan tipuan yang menyesatkan dengan niat buruk. Kalaupun pers melakukan penyiasatan dalam peliputan, dalam penyajiannya pers harus tetap mengemukakan bagaimana data atau keterangan yang diperoleh pers itu secara terbuka. Dengan demikian masyarakat mengetahui dan dapat menilai kredibilitas dan konteks berita yang disajikan. Ketidakjelasan proses peliputan ini memungkinkan pers terkena tuduhan melakukan pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah. Maka bagaimana sebuah peliputan berlangsung juga harus dibuka kepada publik pers yang bersangkutan.

e. Kejelasan Perbaikan Pers bukanlah lembaga kemalaikatan yang tanpa kesalahan. Betapapun sudah berupaya sekuat tenaga, kemungkinan untuk terjadinya kekeliruan yang dibuat pers tetap besar. Oleh sebab itu, pers yang baik bukanlah pers yang tidak pernah melakukan kesalahan, tetapi pers yang baik adalah pers yang ketika membuat kesalahan pemberitaan langsung menyadari dan memperbaikinya bahkan bila perlu dengan permintaan maaf. Kejelasan mengakui adanya kesalahan dapat menghindari pers dari tuduhan melakukan pelanggaran asas praduga tidak bersalah. Pengakuan terhadap kesalahan tidak boleh dilakukan dengan setengah hati. Demikian pula perbaikan atas kesalahan haruslah mencerminkan kehendak utuk memperbaiki setulusnya. Sepenuh hati. Pada prinsipnya, perbaikan kesalahan harus dilakukan sama menonjolnya dengan berita yang salah, kecuali para pihak menyetujui bentuk lainnya. Kejelasan terhadap adanya kesalahan dan kemudian diikuti dengan perbaikan atau permintaan maaf dapat membuat pers terhindar dari tuduhan melakukan asas praduga tidak bersalah. Sebaliknya “arogansi” pers yang tidak mau mengakui adanya kesalahan secara gamblang atau memberikan pengakuan setengah hati terhadap kesalahan yang dibuatnya serta diikuti dengan perbaikan yang tidak jujur, ( dapat dengan menggunakan eufinismisme), dapat menjerumuskan pers dituduh melakukan pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah.

Apakah asas praduga tidak bersalah dalam jurnalistik berarti selama orang belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan harus disingkat namanya?

Memang banyak yang keliru mengartikan makna asas praduga tidak bersalah dalam menyingkat nama seseorang yang diduga terlibat hal negatif atau dalam proses hukum. Padahal asas praduga tidak bersalah dalam jurnalistik tidak ada kaitannya dengan penyingkatan nama. Asas praduga tidak bersalah dalam jurnalistik berhubungan dengan pernyataan yang menghakimi dari pers, pada keadaan apapun, tidak hanya terbatas pada proses hukum saja. Penyebutan nama lengkap dalam proses hukum, pada tingkat manapun, sepanjang hal itu merupakan fakta dan tidak ditentukan lain oleh undang-undang atau Kode Etik Jurnalistik, diperbolehkan dan tidak melanggar asas praduga tidak bersalah.

Contohnya jika ada seorang selebritis ditangkap polisi, maka pers bebas menyebut nama dan identitas selebritis itu. Begitu pula jika ada seorang pejabat yang sedang diadili, jika pengadilan itu bersifat terbuka untuk umum, maka pers bebas memberitakan identitas pejabat sebagai tersangka. Hakim saja sudah menyatakan sidang terbuka untuk umum yang berarti siapa saja dapat datang dan mengetahui apa yang terjadi dalam sidang, termasuk siapa terdakwanya, mengapa wartawan harus melakukan pembiasan dengan tidak menyebut nama identitas yang jelas

Sebaliknya, walaupun seseorang sedang tidak ditangkap atau tidak diadili atau tidak menjalankan proses hukum apapun, tetapi wartawan memberitakan dengan memberikan penghakiman, hal ini sudah termasuk melanggar asas praduga tidak bersalah. Misalnya saja kalimat dalam pers yang berbunyi, “pejabat itu memang biang kerok korupsi,” jelas bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah dalam jurnalistik. 

Begitu juga kata-kata atau kalimat yang superlatif dapat diartikan sebagai pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah. Contohnya kata-kata “serakah,” “kartu mati,” atau “brengsek.” Semua pemberian katagori “bersalah” pada narasumber tanpa merujuk kepada keputusan pengadilan juga merupakan pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah. 

Bagaimana jika memang orang tersebut angkuh, misalnya? Secara jurnalistik, hal itu sebaiknya didiskripsikan saja, tetapi pers sepantasnya tidak mengambil kesimpulan subjektif dengan mengatakan orang tersebut angkuh. Angkuh menurut ukuran siapa dan kepada siapa serta untuk apa? Seandainya dia merasa untuk kepentingan pembelaan statusnya dia tidak layak menjawab suatu pertanyaan wartawan pers, apakah lantas hal tersebut dapat langsung dikatagorikan angkuh? Oleh sebab itu sebaiknya “keangkuhannya“ didiskripsikan atau dilukiskan saja sehingga pembaca dapat menilainya dengan jelas. Pada televisi lebih mudah lagi, ambil saja sudut-sudut pandang (angle) itu dan biarlah penonton yang mengambil kesimpulan. 

Bagaimana sebenarnya latar belakang munculnya asas praduga tidak bersalah dalam bidang hukum dan pers?

Asas praduga tidak bersalah dalam bidang pers, penerapannya memiliki sedikit perbedaan dengan bidang hukum. Pada bidang hukum adanya asas praduga tidak bersalah berkaitan dengan posisi atau kedudukan seorang untuk melakukan pembelaan diri. Dalam hukum asas praduga tidak bersalah, berarti seseorang harus dinyatakan masih bebas selama belum ada keputusan pengadilan yang bersifat tetap yang menyatakan dirinya bersalah.

Pada intinya, penerapan asas praduga tidak bersalah dalam pers, sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik atau (KEJ), bermakna, pers dalam pemberitaannya tidak boleh menghakimi. Larangan untuk membuat pemberitaan yang menghakimi dalam pers tidak hanya terbatas pada pemberitaan yang sudah menyangkut proses pelaksanaan atau penegakan hukum belaka, tetapi mencakup pada semua pemberitaan. Dengan demikian dalam pers, penerapan asas praduga tidak bersalah harus dilakukan pada semua pemberitaan. Pada berita apapun, pers harus tetap menghormati asas praduga tidak bersalah. Dalam kaitan inilah dalam bidang pers, arti asas praduga tidak bersalah telah bergeser dari sekedar menyatakan seseorang bersalah atau tidak bersalah dalam suatu proses pelaksanaan atau penegakan hukum, menjadi suatu kaedah larangan terhadap penghakiman semua pemberitaan yang kebenarannya belum terbukti, baik menurut prosedur hukum maupun dari hasil pengecekan pers sendiri.

Makna asas praduga tidak bersalah dalam pers yang tidak boleh menghakimi dalam semua kasus pemberitaan, membawa konsekuensi, pers yang menyatakan seseorang bersalah sebelum ada keputusan pengadian yang tetap, dari sudut pers sendiri sudah jelas merupakan suatu pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah. Tidak hanya itu saja. Walaupun pengadilan sudah menyatakan seseorang bersalah secara hukum, pers tetap tidak diberi hak untuk menyatakan orang itu bersalah atau tidak bersalah. Kewenangan pers dalam hal ini hanyalah terbatas pada penyampaian fakta atau kenyataan bahwa “menurut pengadilan” orang tersebut bersalah, namun stempel kesalahannya sendiri bukanlah dari pers. Dalam kaitan inilah makna asas praduga tidak bersalah harus difahami di bidang pers.

Pers tidaklah memiliki kewenangan untuk menyatakan seseorang bersalah atau tidak bersalah. Pers juga tidak memiliki kewenangan untuk memberikan cap, stigma, label dan stempel yang belum terbukti secara hukum kepada siapapun dan dalam berita apapun. Pemakaian kata-kata superlatif yang menunjukan stikma, cap, stempel atau label keburukan orang, dalam pers dapat menjadikan pers dapat dituduh melakukan pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah. Penyebutan seseorang “tolol, gila, tukang tilep, Sang pembohong, pembual, berhati srigala, bejad” dan sebagainya merupakan pemakaian kata-kata yang dapat dituduh menjadi penyebab pers melakukan pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah. Pelanggaran semacam ini tidak perlu dikaitkan apakah terjadi sebelum atau sesudah ada proses hukum.

Kendati demikian, dalam pers penerapan asas praduga tidak bersalah sama sekali tidak mengurangi pers untuk mengemukakan fakta. Selama ada faktanya, pada prinsipnya pers tetap boleh mengemukakan fakta, kecuali yang jelas-jelas dinyatakan dilarang dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Apakah fakta yang terjadi masih dalam proses hukum atau tidak, hal tersebut tidak menjadi bahan pembeda bagi pers dalam menerapkan asas praduga tidak bersalah. Kalau pengadilan bersifat terbuka untuk umum, artinya siapapun boleh mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam proses peradilan itu: bagaimana majelis hakim memimpin sidang, bagaimana sikap jaksa dan pembela, termasuk siapa terdakwanya, rakyat atau publik boleh mengetahuinya. Dalam hal ini, pers merupakan “mata dan telinga” masyarakat yang tidak sempat datang ke pengadilan. Dengan demikian, pers bebas mewartakan siapa terdakwanya lengkap dengan identitasnya, termasuk fotonya. 

Sepanjang tidak ditentukan lain, tiada larangan bagi pers untuk mengemukakan identitas terdakwa yang diadili. Pemberitaan yang mencantumkan identitas lengkap seorang yang sedang diadili dalam pengadilan yang bersifat terbuka untuk umum sama sekali tidak melanggar asas praduga tidak bersalah. Begitu pula kalau orang yang menjadi tersangka masih diproses di kepolisian atau kejaksaan, pers boleh memberitakan dengan menyebut identitas mereka, termasuk menyebut nama dan fotonya sekalipun. Adapun yang tidak diperbolehkan, jika pers selain mengemukakan fakta juga memberikan penghakiman terhadap tersangka yang diberitakan bersalah atau tidak bersalah.

Apakah hak tolak masih berlaku untuk kasus-kasus yang menyangkut terorisme?

Terhadap pertanyaan ini terdapat tiga ”aliran” atau pandangan: 

Aliran pertama menyebut, dalam jurnalistik pemakaian hak tolak tidak membeda-bedakan kasus yang dihadapi. Sepanjang syarat-syarat untuk pemakaian hak tolak sudah dipenuhi, maka dari sudut jurnalistik atau pers, hak tolak boleh dipakai, tidak peduli apakah hal itu menyangkut soal korupsi, kejahatan terorganisasi, kriminalisasi politik termasuk dalam soal terorisme. Dengan kata lain tidak ada pengecualian. 

Aliran kedua kedua berbanding terbalik, hak tolak tidak berlaku dalam kasus terorisme. Pendapat ini mendasari pada argumentasi, bahwa pemakaian hak tolak karena menyangkut  kepentingan umum. Pers harus mengungkapkan suatu data atau peristiwa yang diungkapkan oleh narasumber yang identitas dan keberadaan yang tidak diungkapkan oleh pers, dengan maksud agar hal tersebut diketahui oleh publik. Pengungkapkan hal tersebut kepada publik dimaksud dengan adanya pengetahuan ini publik dapat berpartisipasi atau terlibat menanggapi soal ini dengan berbagai bentuknya. Partisipasi atau keterlibatan publik penting agar kepentingan publik dikembalikan kepada publik dengan tujuan akhir kepentingan publik akhirnya dapat terjamin dan terlindungi. Jadi, tujuan akhir dari pemakaian hak tolak adalah untuk perlindungan atau kepentingan publik.

Sedangkan tujuan terorisme justru bertentangan dengan tujuan pemakaian hak tolak. Dalam mencapai tujuannya, teroris menghalalkan segala cara. Cara apapun akan mereka pakai, termasuk cara-cara yang melampaui batas nilai-nilai kemanusiaan. Mulai dari menciptakan ketakutan yang luar biasa sampai pembunuhan merupakan hal yang lumrah buat teroris. Tindakan ini jelas bukan untuk kepentingan masyarakat bahkan sebaliknya justru sudah terang benderang bertentangan dengan tujuan perlindungan kepentingan publik atau kepentingan masyarakat, termasuk tujuan diadakannya hak tolak. Oleh karena itu hak tolak tidak berlaku lagi jika sudah menyangkut terorisme.

Aliran ketiga berada di tengah-tengah kedua aliran tersebut. Menurut aliran ketiga ini, hak tolak masih berlaku dalam kasus terorisme, sepanjang terorisme hanya bersifat ”menakut-nakuti” saja, tanpa diikuti dengan tindakan untuk melakukan brutalisme atau pembunuhan. Tetapi jika terorisme sudah merencanakan aksi brutal dan pembunuhan, hak tolak tidak berlaku. Tegasnya, hak tolak untuk terorisme masih berlaku dengan syarat tertentu.

Bagaimana jika penyidik dalam kasus pemberitaan pers Bagaimana jika penyidik dalam kasus pemberitaan pers memanggil wartawannya sebagai saksi? 

Dalam kaitannya dengan pemberitaan, tugas utama seorang wartawan adalah dalam pembuatan berita. Di luar itu bukan lagi menjadi tanggung jawabnya. Jika seorang wartawan dipanggil dalam kaitannya sebagai saksi untuk sebuah berita.

Kepentingan atau keselamatan negara bagaimana yang dapat membatalkan hak tolak?

Baik dari sudut hukum pers maupun dari sudut ilmu hukum lainnya, tidak ada suatu ketentuan yang limitatif apa yang dimaksud dengan rumusan ”keselamatan negara” atau ”ketertiban umum.” Oleh sebab itu hakim memiliki keleluasaan yang begitu luas untuk menafsirkan makna dari ”keselamatan negara” dan ”ketertiban umum.” Namun begitu secara universal yang dimaksud dengan ”keselamatan negara” apabila kedaulatan negara sudah terancam dan negara terancam tidak dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pencapaian tujuan negara yang ditetapkan oleh konstitusi.

 Apakah adanya hak tolak ini berarti juga hak pers untuk menolak dipanggil penyidik dalam kasus pemberitaan pers?

Pers bukanlah lembaga yang imun terhadap hukum.Pers menghormati supremasi hukum. Pada prinsipnya jika ada panggilan dari polisi, wartawan harus datang. Tetapi sebelum itu perlu juga lebih dahulu dilihat bagaimana surat panggilannya. Kalau surat itu ditujukan kepada pribadi seorang wartawan dalam kaitannya dengan pemberitaan, dalam hal ini wartawan boleh menolak panggilan polisi tersebut. Ini tidak berarti bahwa wartawan melanggar hukum, tetapi karena surat panggilan itu error in persona alias salah orangnya. Menurut hukum, dalam hal ini UU Pers, dalam sistem pers Indonesia sekarang yang dianggap harus bertanggung jawab terhadap suatu berita adalah orang yang ditetapkan sebagai penanggung jawab dalam setiap perusahaan pers. Oleh karena itu panggilan polisi harus ditujukan kepada penanggung jawab dan bukan kepada pribadi masing-masing. Maka penolakan terhadap pemanggilan pribadi wartawan dalam kasus pemberitaan pers, justru bermakna penghormatan pers terhadap hukum yang berlaku. Itulah sebabnya jika sebaliknya pemanggilan oleh penyidik ditujukan kepada penangung jawab, berarti benar dan penanggung jawab harus memenuhi panggilan itu. Barulah setelah memenuhi panggilan dan kemudian diminta oleh penyidik atau polisi untuk mengungkapkan siapa jati diri narasumber yang identitasnya tidak diungkapkan dalam pemberitaan, berlakulah hak tolak. Wartawan berhak menolak permintaan penyidik atau polisi. Kalau kemudian polisi berdalih bahwa mereka ingin mencari suatu informasi mengenai suatu kasus kejahatan sebagaimana diberita dalam pers, maka tanggung jawab wartawan atau pers adalah sebatas yang sudah ada di berita itu saja. Selebihnya bukan lagi tanggung jawab pers atau wartawannya.

Apakah yang sebaiknya dilakukan setelah ada majelis hakim yang memutuskan hak tolak dibatalkan?

Ada dua pilihan yang dapat dilakukan oleh wartawan atau pers yang menghadapi kenyataan bahwa hak tolak yang dipakainya dibatalkan oleh pengadilan. Pertama, meminta khusus untuk pengungkapan narasumber itu sidang dinyatakan tertutup untuk umum. Alasannya, pers menghormati keputusan tentang pembatalan hak tolak itu sehingga menjalankannya, tetapi di lain pihak wartawan atau pers juga wajib menghormati kepentingan narasumber yang dilindunginya. Oleh karena itu siapa narasumber yang sebenarnya dapat diungkap kepada majelis hakim, tetapi dalam suatu sidang yang tertutup sehingga demi proses hukum hakim dapat mengetahui siapa pihak yang dimaksud, tetapi masyarakat umum tetap tidak mengetahuinya. Dengan demikian di satu sisi proses peradilan tetap berjalan lancar tetapi pada sisi lain narasumber yang identitasnya dilindungi itu tetap terlindungi dari pihak masyarakat umum.

Pilihan kedua, wartawan atau pers tetap menolak mengungkapkan identitas narasumber yang dilindunginya dengan konsekuensi wartawan atau pers yang bersangkutan akan menerima sanksi hukum. Dari kedua pilihan ini, ada keyakinan di kalangan pers atau wartawan, sebaiknya diambil pilihan kedua. Alasannya, secara moral lebih baik kita merugikan diri kita sendiri daripada kita merugikan orang lain yang sudah memberikan ”bantuan” kepada kita dengan memberikan data atau fakta tentang suatu hal. Pers yakin, sangat tidak etis memuat pihak yang sudah membantu pers dihukum. Selain itu filosofinya adalah: jika narasumber yang sudah membantu pers kemudian sampai dihukum pada akhirnya pers tidak akan dipercaya lagi oleh para narasumber dan hal itu jelas merugikan kepentingan pers karena pers akan kesulitan mengungkap kasus-kasus yang masih misteri.