Bagaimana sejarah lahirnya Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers?

Pembahasan kelahiran Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sangat cepat, bahkan super cepat sehingga tercatat sebagai salah satu pembahasan sebuah undang-undang tercepat di Indonesia, yaitu hanya dua minggu. Mulai dibahas pertama kali 20 Agustus 1999, undang-undang selesai dibahas dan disetujui 13 September 1999. Kemudian tanggal 23 September 1999 disahkan sebagai undang-undang dan pada hari itu juga sudah diundang pada Lembaran Negara Tahun 1999 No. 1666. Bahkan menurut Muhammad Yunus Yosfiah, yang kala itu menjadi menteri penerangan dan memimpin pembahasan proses pembuatan undang-undang ini dari pihak pemerintah, sebenarnya waktu yang efektif untuk pembahasan RUU cuma sepuluh hari! Undang-undang ini merupakan hasil dari usul pemerintah. Semula Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers hanyalah salah satu dari materi muatan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Media Massa, yaitu materi muatan tentang penyiaran, perfilman dan pers. Tetapi karena penggabungan itu dinilai tidak tepat, akhirnya ketiga materi muatan dalam RUU tentang Media Massa dipisahkan satu persatu dan diajukan ke DPR secara terpisah menjadi tiga Rancangan Undang-Undang (RUU), yaitu RUU tentang Pers, RUU tentang Penyiaran dan RUU tentang Perfilman. Ketiga RUU itu sekarang sudah menjadi undang-undang, tetapi RUU tentang Pers yang paling dulu diajukan dan disahkan sebagai undang-undang.

Apa pertimbangan lahirnya Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers 

Dari sudut hukum formal, pertimbangan lahirnya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dapat dilihat dari unsur “menimbang“ dan penjelasan umum undang-undang tersebut. Dari dua hal itu, setidaknya ada lima pertimbangan lahirnya UU tentang Pers.
Pertama, karena kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin.  Pasal 28 UUD 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pers, yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut.  Agar pers berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan pasal 28 UUD 1945 maka perlu dibentuk UU tentang Pers. Fungsi maksimal itu diperlukan karena kemerdekaan pers adalah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Dalam kehidupan yang demokratis itu pertanggungjawaban kepada rakyat terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang transparan berfungsi, serta keadilan dan kebenaran terwujud.
Kedua, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. XVIII/ MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berkomunikasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Manusia pasal 19 yang berbunyi, ”Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah.
Ketiga, pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun. Pers juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat. Kontrol masyarakat dimaksud antara lain, oleh setiap orang dengan dijaminnya hak jawab dan hak koreksi, oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media (media watch) dan oleh Dewan Pers dengan berbagai cara dan bentuk.
Keempat, pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kelima, UU Pers No. 21 Tahun 1982 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

Pasal 16 Undang-undang tentang Pers menegaskan, peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Perundangan yang mana yang dimaksud?

Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak memberikan definisi atau penjelasan apa yang dimaksud dengan ”ketentuan perundang-undangan yang berlaku.” Tetapi hal ini dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan ”ketentuan perundang-undangan yang berlaku” adalah ketentuan perundangundangan yang berlaku di Indonesia dalam bidangnya masing - masing. Misalnya soal pendirian perusahaan asing diatur dalam ruang lingkup penanaman modal asing, soal pajak asal dalam peraturan perpajakan, dan soal tenaga kerja berlaku Undangundang ketenagakerjaan dan seterusnya. Selain itu ”ketentuan perundang-undangan yang berlaku” juga harus ditafsirkan termasuk berlakunya pasal 15 ayat 2 huruf f Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sendiri, yang menegaskan Dewan Pers memfasilitasi organisasi pers dalam membuat peraturan-peraturan di bidang pers. Dengan demikian, sebenarnya ketentuan ini mengembalikan soal peraturan kantor berita kepada masyarakat pers sendiri dengan difasilitasi oleh Dewan Pers.

Alinea terakhir dalam penjelasan pasal 12 Undangundang Pers berbunyi, ”Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.” Apa artinya??

Pasal ini pada awalnya menimbulkan serangkaian perdebatan ikhwal apa artinya. Semula ada yang menilai, dengan adanya ketentuan ini membatalkan mekanisme pertanggungjawaban fiktif dan suksetif untuk kasus-kasus pidana dalam pers. Dengan kata lain, untuk kasus pidana yang berlaku adalah sesuai dengan peraturan pidana, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ini berarti terhadap pers pun dapat langsung dikenakan tuduhan sebagaimana asas-asas pidana lainnya. Penafsiran ini kurang tepat, sebab apabila penafsiran ini yang dipakai maka berarti dalam sebuah undang-undang dalam hal ini UU Pers ada sistem pertanggungjawaban yang satu dengan lainnya saling bertentangan. Lagi pula kalau tafsir ini yang diapakai berarti makna penjelasan sudah berbeda dengan makna batang tubuhnya. Padahal penjelasan tidak boleh bertentangan dengan norma yang ada dalam batang tubuh UU.
Rumusan ini muncul setelah terjadi adu argumentasi antara para anggota DPR yang waktu itu membahas UU Pers. Kala itu muncul berbagai pendapat mengenai bagaimana sebagainya UU Pers mengatur sistem pertanggungjawaban. Kalau dilihat dari latar belakangnya dan dikaitkan dengan pasal-pasal yang ada, perumusan ini tidak mengandung kontrakdiktif dengan perumusan dalam pasal-pasal lainnya. Bahkan dengan penjelasan ini memperteguh batang tubuh dalam UU Pers. Kenapa? Penjelasan ini dengan gamblang menegaskan, sepanjang menyangkut pidana berlaku perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan ketentuan ini harus ditafsirkan, bahwa sepanjang yang berkaitan dengan karya jurnalistik berlaku sistem pertanggungjawaban pidana fiktif dan suksektif dan oleh karena itu perusahaan pers wajib mencantumkan nama penanggung jawab dari perusahaan pers. Namun jika di luar persoalan karya jurnalistik ada wartawan atau anggota perusahaan pers yang melakukan perbuatan atau tindak pidana biasanya, yang berlaku adalah peraturan perundang-undangan pidana biasa pula. Misalnya jika ada wartawan yang melakukan penipuan dan pemerasan, maka yang berlaku adalah peraturan pidana yang pada umumnya. Sebaliknya jika menyangkut karya jurnalistik, termasuk mekanisme kerja jurnalistik, memakai sistem pertanggungjawaban fiktif dan suksektif. Oleh karena itu penjelasan pasal ini justru memperkuat sistem pertanggungjawaban yang di dalam UU Pers dan bukan menafikannya.

Kenapa harus ada hak jawab?

Kemerdekaan pers bukan milik ekslusif pers. Kemerdekaan pers adalah milik seluruh masyarakat. Oleh karena itu kemerdekaan pers harus pula dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan umum, bukan semata-mata untuk kepentingan sempit pers saja. Setelah pers diberikan amanah untuk menjalankan kemerdekaan pers, untuk mencegah agar tidak terjadi penyimpangan dalam menjalankan kemerdekaan pers, maka perlu ada pengawasan sekaligus mekanisme memperbaiki kemungkinan kekeliruan dari karya jurnalistik. Hak jawab memungkinkan masyarakat segera memperbaiki kekeliruan pemberitaan sehingga selain pihak yang dirugikan dapat membetulkan kesalahan yang ada, masyarakat juga memperoleh informasi yang benar dan akurat.

Apakah yang dimaksud dengan pers berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini menghormati norma norma agama ?

Dalam pasal 5 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers diatur, ”Pers nasional berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.” Dalam penjelasan pasal ini tidak dijelaskan apa yang dimaksud ”menghormati norma-norma agama.” Indonesia adalah negara majemuk termasuk memiliki banyak kepercayaan dan agama. ”Menghormati norma-norma agama” berarti pers tidak boleh menghujat atau merendahkan norma-norma agama. Tetapi ini tidak berarti pers tidak boleh memberitakan penafsiran suatu kelompok masyarakat minoritas yang berbeda dengan penafsiran kelompok masyarakat yang mayoritas dalam suatu agama tertentu. Begitu juga bukan berarti pers tidak boleh membahas persoalan tafsir atau pelaksanaan dalam suatu agama. Adapun yang tidak diperbolehkan adalah dalam pemberitaan atau pembahasan itu, pers menghujat atau merendahkan normaa-norma agama. 

Apa yang telah dihasilkan Dewan Pers dalam memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan?

Dari proses penyusunan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers diketahui, semula Dewan Pers ingin ditempatkan pada posisi sebagai lembaga yang sepenuhnya berwenang membuat peraturan-peratuan di bidang pers. Tetapi, trauma dari masa lalu menimbulkan ketakutan jika Dewan Pers diberikan kewenangan seperti itu akan dapat berubah menjadi lembaga yang otoriter. Bahkan, bukan tidak mungkin, suatu saat juga kembali menjadi seperti Dewan Pers yang lama yang tidak demokratis. Oleh karena itu
kewenangan membuat peraturan perundang-undangan tidak hanya diberikan kepada Dewan Pers begitu saja melainkan melibatkan pula organisasi-organisasi pers untuk ikut menyusun peraturanperaturan di bidang pers. Itulah sebabnya dalam rumusan Pasal 15 ayat 2 huruf f akhirnya dipakai istilah “memfasilitasi organisasiorganisasi pers”, bukan dengan menggunakan kata “membuat”. Dalam “memfasilitasi” organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan pers, Dewan Pers pada tahap awal
memfasilitasi peraturan-peraturan yang dapat melengkapi Undang - Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sehingga mekanisme dalam Undang-Undang tentang Pers dapat berjalan baik.
Adapun yang telah dihasilkan oleh Dewan Pers dalam memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers, antara lain:
a. Peraturan Dewan Pers tentang Standar Ogranisasi Wartawan.
b. Peraturan Dewan Pers tentang Standar Organisasi Perusahaan Pers.
c. Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers.
d. Peraturan Dewan Pers tentang Perlindungan Wartawan.
e. Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Hak Jawab.
f. Peraturan Dewan Pers tentang Pedoman Penyebaran Media Cetak Khusus Dewasa.
g. Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan dan lain-lain.

Kenapa dalam pers antara fakta dan opini harus dibedakan?

Dalam pers, ”fakta” dinilai ”suci,” Maksudnya terhadap ”fakta” wartawan tidak boleh mengubah. Putih harus dinyatakan putih, hitam harus dinyatakan hitam. Fakta juga tidak boleh dimanipulasi. Suka atau tidak suka fakta harus diterima apa adanya. Fakta seakan-akan ”suci” sehingga terhadap fakta tidak boleh diadakan perubahan oleh pers. Makanya dalam pers, disebut fakta suci. Sebaliknya dengan opini. Pada prinsipnya pers bebas untuk beropini apapun dan oleh karena itu terhadap isi opini tidak boleh ada sensor atau pelarangan. Apakah terhadap opini itu kita setuju atau tidak setuju, itu lain persoalan. Kalau pembuat opininya kredibel dan ulasannya dibuat dengan argumentasi yang jelas dan kuat, kemungkinan besar opini itu dihormati orang. Sebaliknya kalau opininya dibuat oleh pihak yang tidak kredibel dan dengan argumentasi yang kabur dan tidak kuat, opini tersebut tidaklah akan dihormati publik dan akan dianggap angin lalu. Namun prinsipnya apapun opininya kebebasan untuk melakukan opini harus dihormati. 

 Apakah yang dimaksud dengan opini? 

Opini adalah pendapat pribadi atau pendapat redaksi pers yang bersangkutan.

Apakah dengan pengertian pers bahwa asas praduga tidak bersalah bermakna pers tidak boleh menghakimi, berarti pers bebas menyebut identitas semua orang tanpa pengecualian, termasuk anak-anak? 

Walaupun asas praduga tidak bersalah dalam pers berarti pers tidak boleh membuat berita yang menghakimi, tetapi ini tidak otomatis pers boleh mencantumkan identitas lengkap semua orang dalam berita pers.

Baik hukum maupun Kode Etik Jurnalistik memberikan pembatasan kepada pers dalam mengungkapkan identitas orang, yakni :
a. Pers dilarang menyebut identitas anak-anak secara jelas, identitas anak-anak secara jelas, baik nama anak-anak tersebut sebagai pelaku, atau diduga sebagai pelaku       kejahatan.
b. Pers dilarang menyebut identitas anak-anak dalam kasuskasus yang menyangkut kesusilaan,
c. Pers dilarang menyebut identitas korban kesusilaan baik anak-anak maupun bukan anak-anak.

Dalam ketiga katagori tersebut semua identitas haruslah dikaburkan dengan berbagai cara. Pengaburan identitas harus sedemikian rupa sehingga sulit untuk ditelusuri siapa sebenarnya yang dimaksud. Perlindungan identitas anak-anak karena untuk melindungi masa depan mereka. Penyebutan nama anak yang melakukan kejahatan, korban kejahatan atau terlibat dalam kesusilaan dikhawatirkan dapat merusak masa depan mereka disamping dikhawatirkan juga menimbulkan traumatik yang luar biasa besar yang dapat mengganggu pertumbuhan kejiwaannya. Sedangkan pelarangan penyebutan identitas yang bukan anakanak dalam korban kesusilaan, karena kesusilaan bagi masyarakat timur masih merupakan nilai-nilai yang peka dan korban kesusilaan dapat dinilai menjadi orang yang mengalami kehinaan luar biasa yang seringkali justru memperoleh perlakuan yang kurang menguntungkan dari masyarakat. Dalam keadaan demikian seringkali pula korban mengalami trauma yang luar biasa besar yang jika namanya diumumkan atau disiarkan akan menambah parah luka traumatik tersebut. Oleh sebab itu semua korban kesusilaan tidak boleh disebut dengan jelas identitasnya. Adanya pengecualian dalam mengungkapkan identitas dalam asas praduga tidak bersalah yang pada prinsipnya tidak melarang menyebut identitas nama orang, membuktikan bahwa dalam melaksanakan tugasnya pers tetap memiliki aspek moralitas.