Catatan Dewan Pers atas RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi

Catatan Dewan Pers atas RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi
18 Juli 2015 | Administrator

Disampaikan kepada Pansus RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi DPR RI Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum, Rabu, 16 November 2005

Catatan pertama
Salam kemerdekaan pers. DEWAN PERS sepakat bahwa pornografi dan pornoaksi harus diperangi bersama. Pengaturan pornografi dan pornoaksi dalam undang-undang tersendiri harus dikaji secara hati-hati dan terukur, dengan tetap memberikan pertanyaan kritis tentang “apa masalah yang kita hadapi bersama” dan “apa tujuan yang hendak dicapai” dengan tetap berpegang teguh pada spirit Pasal 28F UUD 1945 sebagai hak asasi paling dasar manusia untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan diri dan lingkungan sosialnya dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Sikap dasar ini menjadi penting untuk memberikan catatan atas RUU APP.  Sesungguhnya menurut DEWAN PERS problematika kita hari ini bukanlah problem undang-undang, tetapi problem penegakan undang-undang.

Catatan kedua
DEWAN PERS mencatat bahwa RUU APP mengatur dua hal sekaligus yakni (i) anti pornografi dan (ii) anti pornoaksi. Kedua pokok permasalahan ini dikupas dan disajikan secara tuntas meski tetap saja masih mendelegasikannya kepada bentuk hukum lain, yakni Peraturan Pemerintah, bahkan harus membentuk sebuah BADAN ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI NASIONAL.

DEWAN PERS mencatat bahwa terdapat 11 Bab dan 93 pasal materi yang mengupas masalah anti pornografi dan anti pornoaksi dalam RUU APP. Jika dibaca dan dipetakan secara sederhana, maka sesungguhnya RUU APP memfokuskan pengaturan pada dua hal utama, yaitu :

(i) larangan pornografi sebanyak 29 pasal dengan 36 materi larangan dan 3 materi pengecualian. Dari 36 materi larangan itu, terdapat 31 materi yang menggunakan kata kunci “eksploitasi”; dan

(ii) larangan pornoaksi sebanyak 8 pasal dengan 26 materi larangan dengan 4 materi pengecualian.

Catatan ketiga
DEWAN PERS mencatat ada 5 alasan mengapa RUU APP ini lahir sebagaimana tampak pada konsideran MENIMBANGnya.  Jika dirumuskan secara sederhana, alasannya cuma dua, yaitu:

(i) karena meningkatnya perbuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dan perbuatan serta penyelenggaraan pornoaksi dalam masyarakat saat ini yang sangat memprihatinkan dan dapat mengancam kelestarian tatanan kehidupan masyarakat yang dilandasi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa; dan

(ii) tidak tegasnya peraturan perundang-undangan yang ada saat ini mengatur ”defenisi dan sanksi serta hal-hal lain yang berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi sebagai pedoman dalam upaya penegakan hukum untuk tujuan melestarikan tatanan kehidupan masyarakat.

Itu berarti RUU APP bermaksud memperjelas defenisi dan sanksi yang berkenaan dengan pornografi dan pornoaksi agar perbuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi dan perbuatan serta penyelenggaraa pornoaksi tidak meningkat.

Catatan keempat
DEWAN PERS mencatat bahwa salah satu dasar hukum yang digunakan RUU APP ini adalah Pasal 28F UUD 1945. Ini adalah ketentuan yang penting dan azasi bagi penyusunan materi pengaturan RUU APP selanjutnya. Seluruh materi RUU APP ini tidak boleh bertentangan dengan amanah Pasal 28F UUD 1945, bahkan harus menjadi pedoman. Bila, materi pengaturan RUU APP bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945, maka berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan UU APP ini sangat berpotensi menjadi pesakitan dalam acara judicial review di Mahkamah Konstitusi.

RUU APP ini sama sekali tidak mengacu kepada peraturan perundang-undangan terkait lainnya, seperti Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan KUHP. Padahal keempat undang-undang ini adalah undang-undang yang bersentuhan langsung dengan substansi yang diatur dalam RUU APP ini.

Catatan kelima
DEWAN PERS mencatat bahwa sesuai dengan namanya, RUU APP ini berjudul “ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI”. Jadi, RUU APP hendak mengatur “ANTI PORNOGRAFI” dan “ANTI PORNOAKSI”. ANTI berarti tidak setuju atau menolak. Padahal di dalam materi batang tubuhnya yang diatur adalah “LARANGAN PORNOGRAFI” dan “LARANGAN PORNOAKSI”. Oleh karena itu, kalaupun harus ada undang-undang ini, sebaiknya judulnya diubah menjadi RUU tentang LARANGAN PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI.

DEWAN PERS mencatat bahwa yang dimaksud dengan pornografi dan pornoaksi dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 RUU APP sebagai berikut: “PORNOGRAFI” adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika. Sedangkan Pasal 1 angka 2 mengatur bahwa yang dimaksud dengan ‘PORNOAKSI” adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum. Dengan demikian bila rumusan ini dibaca bersamaan dengan judul RUU APP, maka akan menjadi RUU tentang ANTI substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika dan ANTI perbuatan mengekspoitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum. Ada sesuatu yang tidak nyambung dalam rumusan ini, terutama pemahaman tentang pornografi.

DEWAN PERS mencatat bahwa rumusan ini menjadi sulit dipahami ketika diajukan pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan “MEDIA”. RUU APP sama sekali tidak menjawab apa yang dimaksud dengan “MEDIA”, tetapi mengatur tentang dua jenis media massa, yaitu (i) MEDIA MASSA CETAK dan (ii) MEDIA MASSA ELEKTRONIK. Pasal 1 angka 3 merumuskan bahwa yang dimaksud dengan MEDIA MASSA CETAK adalah alat atau sarana penyampaian informasi dan pesan secara visual kepada masyarakat luas berupa barang-barang cetakan massal antara lain buku, suratkabar, majalah dan tabloid.  Pasal 1 angka 4 merumuskan bahwa yang dimaksud dengan MEDIA MASSA ELEKTRONIK adalah alat atau sarana penyampaian informasi dan pesan-pesan secara audio dan/atau visual kepada masyarakat luas antara lain berupa radio, televisi, film, dan yang dipersamakan dengan film.

Rumusan ini, khususnya rumusan MEDIA MASSA jika dihubungkan dengan judul RUU APP ini akan menimbulkan kerumitan pemahaman, terutama karena rumusan ini sama sekali tidak menyelaraskan pemahaman kepada UU Pers dan UU Penyiaran. Sesungguhnya, khususnya untuk MEDIA MASSA CETAK, ada perbedaan yang jelas dalam rangka pemahaman antara buku di satu sisi dengan suratkabar, majalah dan tabloid di sisi lain. Untuk yang disebutkan terakhir berlaku suatu kerja jurnalistik yang sarat dengan etika dan profesi jurnalistik yang harus dihormati.  Tentang hal ini semua sudah terang dan jelas diatur dalam UU Pers dan Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI).  Demikian halnya dengan MEDIA MASSA ELEKTRONIK juga sudah terang dan jelas diatur dalam UU Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (PPP/SPS). Yang belum tuntas adalah penegakan hukumnya. Persoalan kita bukan persoalan undang-undang, tetapi persoalan penegakan undang-undang.

Catatan keenam
RUU APP menempatkan kata ”EKSPLOITASI” sebagai kata kunci. Pasal 1 angka 14 merumuskan bahwa yang dimaksud dengan ”EKSPLOITASI” adalah kegiatan memanfaatkan perbuatan pornoaksi untuk tujuan mendapatkan keuntungan materi atau non materi bagi diri sendiri dan/atau orang lain. Dengan demikian kata ’EKSPLOITASI” digunakan untuk ”ANTI PORNOAKSI”, itu berarti tidak termasuk digunakan untuk ”ANTI PORNOGRAFI”. Padahal, dalam RUU APP setidaknya terdapat 31 buah ketentuan yang mengatur tentang LARANGAN PORNOGRAFI dengan menggunakan rumusan kata kunci ”EKSPLOITASI” (Pasal 4 sampai dengan Pasal 21).  Kerancuan ini mengakibatkan kerancuan seluruh semangat pengaturan larangan pornografi. Kerancuan ini terjadi mulai dari memberikan pemaknaan judul, pengertian sampai ke pengaturannya, sehingga jika rumusan seperti ini disahkan maka potensial kegagalan pada penegakan hukumnya menjadi sangat dominan.

Catatan ketujuh
DEWAN PERS mencatat bahwa Pasal 2 RUU APP secara tegas merumuskan ultimate goal RUU APP ini adalah pelarangan terhadap perbuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi serta perbuatan dan penyelenggaraan pornoaksi.  Sedangkan di bagian judul RUU APP disebutkan ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI. Sesuai dengan catatan sebelumnya, sebaiknya judul RUU APP diubah menjadi RUU LARANGAN PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI.  Dengan deemikian rumusan Pasal 3 RUU APP juga harus diubah dari “Anti pornografi dan pornoaksi bertujuan” menjadi “Larangan pornografi dan pornoaksi bertujuan:”.

Catatan kedelapan
DEWAN PERS mencatat bahwa RUU APP belum menjawab secara tegas apa sesungguhnya yang diatur dalam RUU APP terutama tentang jawaban atas prinsip dasar pembuatan suatu undang-undang tentang apa, siapa, bagaimana, dimana, kapan, dan bagaimana pengaturan tentang anti pornografi dan pornoaksi, sebagaiamana kalangan jurnalis selalu bertanya dalam menjalankan kerja jurnalistiknya.
Prinsip dasar tentang alur berpikir materi muatan suatu undang-undang haruslah jelas dan logis serta dapat ditegakkan. Seharusnya RUU APP dimaksudkan untuk melindungi orang yang belum dewasa atau anak-anaklah yang perlu dilindungi atas pornografi yang bernilai negatif dan pornoaksi yang tidak pantas. Akan tetapi DEWAN PERS mencatat bahwa Pasal 3 butir b RUU APP merumuskannya sangat luas bahkan sulit dipahami; ”memberikan perlindungan, pembinaan, dan pendidikan moral dan akhlak masyarakat”.

Catatan kesembilan
Dalam PERNYATAAN DEWAN PERS Nomor 13/PDP/X/2001 tanggal 11 Oktober 2001, telah disampaikan kepada masyarakat dan juga anggota DPR yang terhormat tentang bagaimana pandangan DEWAN PERS tentang PORNOGRAFI DALAM PERS.  (lihat Lampiran).

DEWAN PERS mencatat dan berpendapat bahwa pornografi dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu;
(i) hardcore pornography atau pornografi berkategori obscene yakni berhubungan dengan seks atau melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks (1) dengan pasangan sejenis, (2) dengan anak-anak (pedophilia), (3) dengan kekerasan, (4) dengan orang-orang yang telah mati, dan (5) dengan hewan.

(ii) softcore pornography yakni aktivitas pornografi di luar hal-hal yang disebut di atas.
Jenis pornografi yang pertama adalah kriminal dan harus dapat diancam pidana penjara dengan hukuman berat dan denda besar. Dengan konsep pemikiran dasar seperti ini, maka:

(i) semua pihak harus dilindungi dari hardcore pornography;

(ii) anak-anak harus dilindungi dari softcore pornography;

(iii) segmen masyarakat dewasa dan orang tua, khususnya kelompok “perjuangan hidup; berjuang baru hidup”, memerlukan softcore pornography.

Dengan pokok pikiran yang demikian, DEWAN PERS mencatat bahwa harus dibedakan secara tegas jenis pornografi itu. Dalam pengaturan pengecualian dengan mekanisme perizianan dalam RUU APP yang dirumuskan dalam Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39,  konsep pemikiran di atas dapat diatur dan dirumuskan secara tegas. Artinya, untuk kategori (iii) yakni segmen masyarakat dewasa dan orang tua, khususnya kelompok “perjuangan hidup; berjuang baru hidup”, ketentuan RUU APP ini dikecualikan juga.

Catatan kesepuluh
DEWAN PERS mencatat dan berpendapat bahwa, pornografi sama sekali tidak termasuk dalam kategori pers. Sebab, Pasal 1 angka 1 UU Pers sudah secara tegas mengatur tentang apa yang  dimaksud dengan PERS, yakni lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Bila dielaborasi lebih rinci, maka rumusan Pers yang dimaksudkan UU Pers memiliki karakter sebagai berikut:

1. ia merupakan lembaga sosial dan komunikasi massa;

2. yang hanya melaksanakan kegiatan jurnalistik, yang meliputi
2.1. mencari;
2.2. memperoleh;
2.3. memiliki;
2.4. menyimpan;
2.5. mengolah; dan
2.6. menyampaikan informasi;
2.6.1. baik dalam bentuk tulisan;
2.6.2. dalam bentuk suara;
2.6.3. dalam bentuk gambar;
2.6.4. dalam bentuk suara dan gambar;
2.6.5. dalam bentuk data dan grafik;
2.6.6. maupun dalam bentuk lainnya

3. dengan menggunakan media cetak;

4. dengan menggunakan  media elektronik; dan

5. dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Dengan demikian, cukup terang dan jelas, bahwa yang dimaksudkan dengan Pers dalam UU Pers hanyalah terbatas dan sangat khusus, yaitu pada “pelaksanaan kegiatan jurnalistik”. Di luar “pelaksanaan kegiatan jurnalistik” sama sekali memang tidak diatur. Artinya, UU Pers hanya menetapkan dan mengatur tentang salah satu dari begitu banyak aspek tentang Pers, yakni “pelaksanaan kegiatan jurnalistik”.

Oleh karena itu, rumusan Pasal 1 angka 1 RUU APP yang serta merta mengkategorikan makna ”PORNOGRAFI” sebagai substansi dalam MEDIA atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan dan/atau erotika sangat berlebihan dan bertentangan dengan spirit UU Pers. Apalagi kemudian Pasal 1 angka 3 RUU APP serta merta pula merumuskan bahwa suratkabar, majalah dan tabloid adalah media massa. Jika kedua rumusan ini dibaca berbarengan, maka RUU APP ini dapat menabrak spirit UU Pers.  Haruslah dibedakan secara tegas bahwa persoalan produk pers sebagaimana diatur dalam UU Pers adalah produk jurnalistik. Manakala produk jurnalistik itu melanggar prinsip-prinsip jurnalistik telah tersedia UU Pers. Bilamana produk pers itu tidak dapat dikategorikan sebagai produk jurnalistik, maka UU Pers tidak dapat dikenakan.

Pers memberitakan dan menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan wilayah kepentingan publik; suatu yang bermakna bagi perikehidupan umat manusia. Sedangkan pornografi dan kecabulan terkait dengan wilayah privat (personal).  Oleh karena itu, permasalahan pornografi adalah permasalahan distribusi; (i) distribusi kepada yang tidak berhak dan tidak pantas, dan (ii) distribusi di tempat yang tidak pantas dan tidak layak.  Untuk mengatasi permasalahan ini bukanlah pada pengaturan dan pelarangan di tingkat HULU karena akan berpotensi melanggar Pasal 28F UUD 1945, tetapi diperlukan pengaturan di tingkat HILIR, yakni pengaturan DISTRIBUSI.

Dengan konsep yang demikian, maka konsep pengecualian dengan mekanisme perizinan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 38 dan Pasal 39  RUU APP menjadi relevan.

Catatan kesebelas
DEWAN PERS menyampaikan dan menginformasikan bahwa sejak 23 September 1999 dengan lahirnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, mekanisme penyelesaian permasalahan pemberitaan yang berkenaan dengan kecabulan sudah tersedia, yakni batir keempat KEWI, sebagai berikut: Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebut identitas korban kejahatan susila. Penafsirannya, Wartawan Indonesia tidak melaporkan dan menyiarkan informasi yang tidak jelas sumber dan kebenarannya, rumor atau tuduhan tanpa dasaar yang bersifat sepihak. Informasi yang secara gamblang memperlihatkan aurat yang bisa menimbulkan nafsu birahi atau mengundang kontroversi publik. Untuk kasus tindak perkosaan/pelecehan seksual, tidak menyebutkan identitas korban, untuk menjaga dan melindungi kehormatan korban.

Catatan keduabelas
Demikian catatan DEWAN PERS atas RUU APP dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Pansus RUU APP. Semoga memberikan manfaat bagi upaya menyempurnakan RUU APP menuju hasil terbaik, tanpa harus bertabrakan dengan UU Pers, UU Penyiaran dan bahkan tidak keluar dari amanah Pasal 28F UUD 1945 sebagai hak asasi manusia paling hakiki yang berbunyi Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Jakarta, 16 November 2005
DEWAN PERS