Siaran Pers: Ancam Kemerdekaan Pers, UU ITE Perlu Direvisi

Siaran Pers: Ancam Kemerdekaan Pers, UU ITE Perlu Direvisi
18 Juli 2015 | Administrator

Dewan Pers menilai UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat. Kekhawatiran tersebut mengemuka dalam diskusi menyangkut UU ITE yang diselenggarakan Dewan Pers di Jakarta pada 7 April 2008.

Ancaman tersebut termuat pada Pasal 27 ayat (3) mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Ancaman lainnya datang dari Pasal 28 ayat (2), jika sengaja menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Setiap orang yang melanggar pasal-pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp.1 miliar.

Pasal-pasal yang mengatur soal penyebaran kebencian dan penghinaan tersebut mengingatkan pada haatzai artikelen di KUHP, pasal-pasal karet produk kolonial, yang sebenarnya sudah tidak boleh diberlakukan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi.

Menurut Atmakusumah Astraatmadja, perancang UU ITE tidak mengikuti perkembangan hukum internasional. Sedikitnya 50 negara sudah mengalihkan masalah kabar bohong, penghinaan, pencemaran, dari hukum pidana menjadi hukum perdata. ”Beberapa negara bahkan menghapus sama sekali ketentuan hukum penyebaran kebencian dan penghinaan karena dianggap sulit dibuktikan atau sangat subyektif.”

Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE berpotensi mengebiri pers karena berita pers dalam wujud informasi elektronika (di internet), terkait dengan kasus-kasus korupsi, manipulasi dan sengketa, dapat dinilai sebagai penyebaran pencemaran atau kebencian. Dengan ancaman hukuman penjara lebih dari enam tahun, aparat polisi dapat menahan setiap orang selama 120 hari, termasuk wartawan, yang dianggap melakukan penyebaran berita bohong seperti diatur dalam UU ITE.

Edmon Makarim, staff ahli bidang hukum Menteri Komunikasi dan Informatika, menilai ketentuan pidana dalam UU ITE tidak dapat dikenakan untuk pers, ”UU ITE sama sekali tidak menyinggung atau menyebutkan pers, selain itu  pers telah dilindungi UU Pers”, ujar Edmon yang terlibat dalam proses perumusan UU ITE. Namun, pernyataan tersebut disangsikan, mengingat aparat hukum cenderung mengabaikan UU Pers.

Dalam diskusi tersebut dicapai kesimpulan, komunitas pers perlu mengajukan judicial review UU ITE ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, muncul desakan agar Dewan Pers meminta pemerintah untuk secara eksplisit memasukkan pemberitaan pers sebagai pengecualian terhadap UU ITE dalam Peraturan Pemerintah, serta perlu sosialisasi di kalangan penegak hukum agar tidak asal bertindak dalam upaya penegakkan hukum UU ITE.*

Jakarta, 7 April 2008