Kembali ke Media Konvensional

Kembali ke Media Konvensional
01 April 2013 | Administrator

 

Kemerdekaan berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi bukan hanya bagian dari hak asasi manusia (HAM), tetapi bahkan sebagai fondasi bagi tegaknya HAM. 

 

Tanpa kemerdekaan berekspresi dan memperoleh informasi, orang tidak akan bisa hidup, padahal hidup adalah bagian HAM yang paling utama. Bayangkan, ada bayi kelaparan, tapi dia tidak boleh mengekspresikan rasa laparnya. Mulut bayi itu diplester, ditutup, sehingga ia tidak bisa mengekspresikan rasa laparnya dengan menangis. Sedangkan orang-orang di sekitarnya ditutup mata dan telinganya sehingga ia tidak bisa memperoleh informasi bahwa ada bayi kelaparan di dekatnya. Dampaknya dapat diperkirakan, bayi itu akan mati.

 

Oleh karena itu kemerdekaan berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi harus dijamin oleh negara, dan dirumuskan dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar. Alhamdulillah, setelah Orde Baru berakhir, UUD 1945 disempurnakan dan kemerdekaan berekspresi, berkomunikasi dan memperoleh informasi menjadi bagian dalam UUD 1945 melalui Amandemen Kedua dalam Pasal 28F.

 

Kemerdekaan memperoleh informasi itu dimulai dari perjuangan perumusan UU No. 40/1999 tentang Pers, lalu dikukuhkan oleh Amandemen Kedua UUD 1945, kemudian muncul UU No. 32/2002 tentang Penyiaran, UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan beberapa peraturan perundangan yang lain.

 

Kembalilah ke Media Konvensional

Bersamaan dengan dijaminnya kemerdekaan memperoleh informasi, perkembangan teknologi informatika sangat pesat, yang keduanya membuat banjir informasi yang ditandai dengan munculnya berbagai media baru, khususnya media sosial. Setiap orang boleh membuat media, hanya media penyiaran yang memerlukan izin, dan setiap orang boleh menjadi wartawan. Bahkan, jika masyarakat ingin mengetahui informasi publik, mereka bisa minta informasi kepada pejabat yang berwenang, asalkan bukan informasi yang dikecualikan. 

 

Dalam banjir informasi seperti ini, masyarakat harus hati-hati karena banyak informasi yang belum tentu benar, bahkan mungkin menyesatkan, di antaranya yang berasal dari media non konvensional, yaitu informasi yang berasal dari sms, blackberry messenger (bbm), dan media sosial lainnya. Sebagai contoh, akibat sms berantai tentang isu penculikan di Nusa Tenggara Barat, pada bulan Oktober 2012, sebanyak lima orang tewas dikeroyok massa. Setelah diperiksa ternyata ke lima orang yang tewas itu bukan penculik. Sekretaris Jenderal Serikat Perusahan Pers Pusat, Ahmad Djauhar menulis di Harian Bisnis Indonesia, 24 Oktober 2012, setelah korban berjatuhan akibat sms berantai itu, sejumlah pejabat di NTB menyeru kepada masyarakat agar tidak main hakim sendiri. 

 

Untuk itu, diharapkan masyarakat jangan langsung percaya terhadap informasi yang diterimanya, walaupun informasi itu disiarkan oleh media-media konvensional. Yang dimaksud dengan media konvensional adalah radio, televisi dan media cetak. Setiap ada informasi yang masuk perlu dikaji, perlu dikonfirmasi sekali lagi. Pengambilan keputusan yang terlalu cepat terhadap informasi yang beredar bisa berakibat fatal seperti yang terjadi di Lombok. Korban yang tewas tidak bisa dihidupkan lagi. 

 

Sangat disarankan kepada masyarakat, jika mendengar isu yang mengganggu keselamatan masyarakat, segera bertanya kepada pengelola media konvensional untuk melakukan konfirmasi. Misalnya bertanya kepada radio yang mengkhususkan diri sebagai saluran berita. Jika info yang beredar menyangkut nyawa seseorang, selain bertanya kepada radio berita, periksa juga siaran televisi, dan keesokan hari periksalah berita itu di koran-koran. Jika di radio, televisi dan koran tidak ada berita yang diisukan melalui bbm atau sms, hampir dapat dipastikan berita bbm dan sms berantai itu bohong. Misalnya isu tentang tewasnya seorang mahasiswa di Jakarta pada waktu demonstrasi anti kenaikan harga bahan bakar minyak yang disiarkan melalui sms berantai dan bbm. Matinya seorang mahasiswa dalam demonstrasi anti kenaikan harga BBM itu adalah berita besar yang pasti akan disiarkan media konvensional. Ternyata tak ada mahasiswa yang mati ditembak waktu demonstrasi itu, dan tidak ada satu pun media konvensional di Indonesia yang menyiarkannya.

 

Mengapa perlu merujuk ke media konvensional? Karena media itu ada penanggungjawabnya, sudah mempunyai riwayat kredibilitas, dan mempunyai standar layak siar. Media konvensional juga memegang teguh kode etik jurnalistik, sehingga kalau ada kesalahan dalam berita, mereka segera memperbaiki, dan seringkali diiringi permohonan maaf kepada khalayak.

 

Kompetensi wartawan

Sekali lagi perlu disampaikan kepada masyarakat agar jangan 100% percaya pada suatu berita, walaupun berita itu disiarkan oleh beberapa media konvensional. Masih ada kemungkinan media-media itu melakukan kesalahan, atau kekurangtelitian. Coba periksa beberapa waktu kemudian, mungkin beberapa jam kemudian atau beberapa hari kemudian. Barulah kita mengambil kesimpulan atas dasar berita yang berkembang, agar kita tidak salah mengambil tindakan. 

 

Untuk mengurangi kesalahan dalam pemberitaan, Dewan Pers merumuskan standar kompetensi wartawan, dan PWI, AJI, IJTI, beberapa perguruan tinggi melakukan uji kompetensi wartawan. Yang lulus uji kompetensi wartawan itu akan mendapat sertifikat yang ditandatangani Ketua Dewan Pers. Diharapkan sesegera mungkin berita-berita yang disiarkan oleh berbagai media makin bisa dipercaya dan bisa digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan suatu tindakan.

 

Di samping masalah ketelitian, media konvensional juga perlu kecepatan. Dalam kaitan dengan informasi publik, ada beberapa kendala yang bisa memperlambat media dalam menyiarkan informasi, jika informasi itu berkenaan dengan informasi publik. Walaupun UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberi keleluasaan kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang dibutuhkannya, namun bagi media ketentuan undang-undang itu tidak menjamin kecepatan untuk memperoleh informasi publik tersebut. Dalam Pasal 22 ayat (7) dan (8), yang mengungkapkan bahwa badan publik mempunyai waktu 10 hari untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan, dan

bisa diperpanjang tujuh hari lagi. 

 

Ketentuan tersebut bisa memperlambat arus informasi, untuk itu disusunlah Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Komisi Informasi Pusat. Inti dari Nota Kesepahaman itu adalah mencegah terjadinya upaya yang menghambat pelaksanaan fungsi pers dan kegiatan jurnalistik setelah diberlakukannya Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Ditegaskan dalam Nota Kesepahaman itu, “Para pihak sepakat dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik pers tunduk kepada Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers.”

 

Standar Perusahaan Pers

Untuk menjadi media konvensional yang baik tentu tidak mudah. Selain media itu harus mempunyai wartawan yang kompeten dan taat kepada Kode Etik Jurnalistik, media tersebut harus memenuhi standar perusahaan pers yang ditetapkan oleh Dewan Pers.

 

Dalam standar perusahaan pers itu media harus berbentuk badan hukum, yaitu berbentuk perseroan terbatas, yayasan, atau koperasi. Media tersebut harus memberi upah bagi karyawan/wartawannya sekecil-kecilnya sebesar upah minimum provinsi, dan dibayarkan 13 kali dalam setahun. Upah kepada wartawan ini sangat penting dalam rangka menegakkan kode etik jurnalistik. Sangat tidak fair, jika wartawan dituntut taat etik tetapi diberi upah di bawah upah minimum provinsi.

 

Standar perusahaan pers yang ditetapkan Dewan Pers adalah batas terbawah bagi suatu media untuk bisa beroperasi secara wajar. Media yang baik keadaannya selalu berada di atas standar perusahaan pers tersebut.*

Muhammad Ridlo Eisy adalah anggota Dewan Redaksi Harian Umum Pikiran Rakyat dan anggota Dewan Pers.