Beda Pemilik, Tak Beda yang Dibidik
27 Februari 2012 | Administrator
Catatan Kecil Sedasawarsa Diberlakukannya UU Penyiaran[1]
I. Setidaknya ada dua muara yang didasarkan oleh hasrat demokratisasi dalam dunia penyiaran (televisi dan radio). Muara pertama: kepemilikan lembaga penyiaran televisi dijauhkan dari kemungkinan dimonopoli oleh seseorang atau lembaga atau perusahaan. Muara kedua: semua televisi komersial juga dijauhkan dari niatan berjangkauan nasional dalam bersiaran. Yang memiliki hak bersiaran dalam radius nasional hanyalah televisi publik – yang di Indonesia disematkan pada Televisi Republik Indonesia (TVRI).
Sungguh sebuah hasrat yang penuh martabat lantaran sangat menaruh hormat pada hak-hak publik, khalayak, bahkan daulat rakyat. Rumusan argumentasinya: tata nilai Jakarta, yang metropolitan – yang bahkan kerap dianggap global-internasional – terpastikan tidak begitu saja bisa dimasyarakatkan ke lain kawasan. Bukan saja tidak bisa dimasyarakatkan atau disebar-dan-tebar, bisa jadi bahkan mengguncang peradaban setempat.
Bukan saja tata nilai Jakarta yang tak bisa begitu saja disejajarkan dengan lain daerah, bahkan sesama kawasan daerah – bukan pusat, bukan Jakarta, bukan ibukota negeri – pun, terutama untuk Indonesia yang terdiri atas pelbagai wilayah, pelbagai etnis, dan pelbagai peradaban, juga tak bisa begitu disama-dan-sebangunkan.
Salah seorang – atau para – perumus rancangan yang kemudian menjadi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (selanjutnya: UU Penyiaran) memberi ilustrasi: “Kisah Si Doel Anak Sekolahan tak dibutuhkan masyarakat Aceh. Sama dengan Srimulat tak (selalu) berpadan dengan masyarakat Kalimantan.”
Sebuah kalimat yang terasa sangat meyakinkan – yang tampaknya menjadi bagian base evidence yang argumentatif dalam penulisan Naskah Akademik sehingga kemudian tersusun berderet pasal dan ayat untuk (R)UU Penyiaran.
II. Pertanyaan retoriknya: benarkah masyarakat Aceh ogah pada Si Doel atau sosok dan kultur lain di luar Aceh? Sungguhkah masyarakat Yogya hanya butuh kesenian panggung tradisional ketoprak, bukan juga menginginkan randai, saluang, dan bakaba Minangkabau?
Benar-benar seeksklusif itukah masing-masing masyarakat dalam ikatan subkultur di Indonesia ini? Jika benar demikian jawabannya, maka sesungguhnya masyarakat Indonesia tak membutuhkan demokratisasi ala Eropa atau Amerika itu. Bung Hatta tak bakal mendapatkan penegas pencerahan untuk membawa masyarakat Indonesia melalui studinya di Belanda. Para student yang memimpikan kemerdekaan Indonesia tak juga perlu mendirikan partai politik di negeri seberang. Bahkan mimpi merdeka pun sebaiknya sejak awal harus dicampakkan.
Kesadaran akan keberagaman justru dimaksudkan agar berlangsung pemahaman lintaskultur, sementara proses lintaskultur itu galibnya sudah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum negeri bernama Indonesia dimaklumatkan.
Realitas menunjukkan: saat jam-jam utama (prime time) TVRI Yogya menyiarkan panggung ketoprak, ternyata diprotes oleh para pemangku kebudayaan yang tercermin dalam ceritera ketoprak itu. Padahal, ketoprak merupakan kesenian tradisional khas Yogya – yang menurut fantasi para penyusun pasal dan ayat UU Penyiaran begitu digandrungi masyarakat setempat. Para pemrotes itu berkeberatan lantaran tayangan ketoprak itu menutupi siaran panggung musik yang disiarkan TVRI Pusat Jakarta. Maknanya, mereka sama-sama menggandrungi dua kultur yang berbeda itu – yang satu terhitung lokal, satunya lagi terkalkulasi nasional.
Makna kedua, ketika mereka lebih memilih tayangan panggung musik – Aneka Ria Safari, Chandar Kirana, dan sejenisnya – terbukti bahwa mereka lebih memilih yang berada luar lingkup tata nilai mereka. Bukan berarti mereka hendak meninggalkan nilai-nilai tradisi yang terwakilkan dalam panggung ketoprak, melainkan nilai tradisi itu relatif sudah mereka genggam dari berwaktu-waktu silam – sehingga saat mereka menyaksikan pentas, panggung, atau tayangan bersangkutan lebih sebagai semacam peneguhan kembali tata nilai yang relatif sama-sama mereka sunggi.
Menyaksikan kesenian tradisi tak lebih dari sekadar perekatan kembali kesadaran bersama, karena toh masing-masing cerita yang disampaikan sudah pula sama-sama mereka pahami, bahkan termasuk plot dan pelbagai persoalan lainnya secara rinci.
Dengan demikian, masyarakat kita memang berada dalam lingkup commuter, ulang-alik, tak semata ulang-alik antara yang tradisi dan yang kiwari atau masa kini, melainkan juga antartradisi.
Karena itu, menganggap warga Aceh tak butuh Si Doel nan Betawi, atau orang Bantul, Yogya, hanya butuh srandul dan ogah sinlirik Makassar – dan itu kemudian dikuatkan ke dalam undang-undang – itu sama artinya dengan memilah-pisahkan para pengemban masing-masing kultur yang berada dalam satu kesatuan negeri dan negara bernama republik Indonesia.
III. Barangkali, ideologi pelokalan pelbagai siaran televisi itu punya argumentasi, alasan, dan base evidence lain lagi. Dan kini, setidaknya telah dioperasionalkan berderet televisi lokal di 30 provinsi.[2] Dari beberapa nama rubrik tayangan pada stasiun televisi lokal, memang terkesan lokalitas masing-masing, misalnya: “Cagok Aceh”, “Dang-dang Peh Tambo”, “Duek Pakat”, “Aceh Uroe Nyoe”, “Orti Bali”, “Ajeg Bali”, “Gita Shanti”, “Cangkru’an”, “Jatim Isuk”, “Srawung”, “Pawartos Ngayogyakarta”, “Langen Swara”, dan berderet sejenis lainnya. Namun, sungguh-sungguh lokalkah tayangan mereka, selain sekadar lokasinya belaka yang lokal?
Lantas, “Borgol Petang” dan/atau “Borgol Malam” di Jek TV (Jambi Ekspres Televisi) bisa diacukan atas kemungkinan persamaannya dengan berita-berita kriminal besutan televisi komersial yang bersiaran (nasional) dari Jakarta, seperti halnya “Patroli”, “Sidik”, “Sergap”, dan lain-lain. Kesejajaran di antara masing-masingnya tidak saja sebatas penggunaan istilahnya yang sama-sama terkait dunia kriminal, bahkan pola pemberitaannya juga sama dan sebangun, yakni: jurnalisme darah dan lendir.[3]
Tak hanya dalam hal siaran berita (news), untuk tayangan lain pun tak begitu berbeda. Seri Mr. Bean – produk Inggris, yang juga bisa dianggap sebagai komedi yang menjadi satire atau parodi bagi kekakuan khas orang-orang Inggris – juga dapat ditemukan dalam siaran televisi yang disiarkan dari stasiun televisi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pada akhirnya, siaran televisi lokal tak serta merta menjadi semacam antitesis bagi siaran televisi nasional. Hingga hari ini, dalam catatan saya, nyaris tak ada yang khas dalam komposisi tayangan pelbagai televisi lokal.
Jika kemudian merujuk pada JTV (Kelompok Jawa Pos, Surabaya), salah satu yanag fenomenal adalah adanya siaran berita berhasa Jawa dialek Suroboyoan. Tampaknya, pola yang sekadar meng-khas-kan pada wilayah berbahasa, itupun lebih sebatas aksen atau dialek, agak susah diterapkan di wilayah Indonesia bagian Timur, terutama Nusa Tenggara. Di kawasan geografis yang disebutkan terakhir ini, topografi pemakai bahasa setempat yang bahkan dalam jarak beberapa jengkal saja sudah berlainan bahasa, perlu adanya standarisasi bahasa berdialek tertentu yang diharapkan juga dipakai oleh suku yang berbeda yang jaraknya bahkan relative berdekatan – dan itu sungguh tak mungkin dilakukan.
IV. Kemungkinan keseragaman penyiaran tak menjadi monopoli televisi daerah. Di Jakarta sendiri, dua stasiun televisi nasional, masing-masing Metro TV dan TV One, saat menayangkan peristiwa sidang pengadilan yang menghadirkan saksi Angelina Sondakh untuk kasus skandal suap pembangunan wisma atlet SEA Games tampak dalam posisi yang sama, yakni: sama-sama memberikan bingkai akan kemungkinan karut-marutnya para petinggi dalam Partai Demokrat, sebuah partai yang mengusung hingga suksesnya Susilo Bambang Yudhoyono menempati tampuk kursi kepresidenan untuk periode kedua kalinya.
Ada semacam kesamaan dalam membidik kemungkinan musabab dihadirkannya Angelina Sondakh dalam sidang pengadilan, terutama banyak keterangan yang disampaikan dinilai berbeda dibandingkan dengan sebagian besar saksi lain.
Soal kesamaan bidikan bukan dilantarankan pemilik Metro TV dan pemilik TV One sama-sama membangun citraan dengan cara bersikap kritis – yang jadinya bahkan menjadi pseudo-kritis – terhadap pemerintah sekarang, sementara partai politik yang dipimpin oleh masing-masing pemilik stasiun televisi tadi mencoba menempatkan diri sebagai “oposisi”.
Dalam berberita, TV One kerap berbeda sudutpandang dibandingkan dengan Metro TV, apalagi jika menyangkut kasus luberan lumpur panas di daerah Sidoarjo, Jawa Timur, itu.
Dalam kasus kesamaan bidikan, yang dibidik bukan semata kemungkinan lawan politik atau lawan perniagaan, melainkan juga pemasangan iklan. Selama ini, rata-rata para pemasang iklan adalah produk yang itu-itu belaka, yakni yang diperebutkan semua stasiun televisi. Dengan pemahaman seperti ini, sesungguhnya segmentasi masing-masing penyiaran televisi juga sama.
V. Saya tak punya data rinci mengenai berapa stasiun televisi lokal yang benar-benar beroperasional. Namun, bahwa mereka relatif kesulitan dalam berproduksi (sendiri) nyaris menjadi pengalaman konkret rata-rata mereka.
Keberadaan Kompas TV sebagai content provider, sebagai penyedia konten atau isi tayangan, jelas menolong kemungkinan besar kerepotan televisi-televisi lokal itu. Artinya, dengan rentang waktu sepanjang satu dasawarsa, akomodasi yang diberikan melalui UU Penyiaran ternyata tak mudah menjadikan televisi lokal berkibar.
Itu dari sisi teknis internal mereka. Dari sisi isi, jika mereka mendapatkan supply dari penyedia paket tayangan – tak semata harus Kompas TV – bisa terpastikan isi tayangan televisi lokal di Pontianak, Kalimantan Barat, juga tak jauh-jauh amat dengan televisi lokal di Bandung, Jawa Barat. Kesamaan atau keseragaman itu pada akhirnya mengingkari keberagaman yang sejauh jauh waktu diniat dan dihajatkan.
Kemungkinan siaran berjaringan sebagai jalan keluar bagi perluasan penyiaran – sekaligus perluasan penebaran dan penyebaran tata nilai yanag terkandung dalam tayangan – pada akhirnya semata berhenti pada perbedaaan kepemilikan (diversity of ownership), bukan perbedaan tata nilai (diversity of content).
VI. Lantas, di titik koordinat manakah keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)?
KPI menjadi semacam penjaga gawang bagi pelbagai kemungkinan pelanggaran yang dilakukan stasiun televisi. Begitulah teorinya. Jika pasal dan ayat dalam UU Penyiaran – yang kemudian diterjemahkan antara lain dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) – lebih bersifat prinsipiil, lebih “ideologis”, dalam catatan saya, ternyata yang dilakukan KPI cenderung berupa teguran yang fragmentaris – untuk tak menyatakan permukaan.
Belahan (buah) dada Farah Quinn dalam acara masak memasak, merosotnya kemben artis perempuan sehingga membukakan punggung dan dada bagian atas dalam sebuah panggung, iklan minuman energi yang menggambarkan gigi palsu yang terbang dan hinggap di (lagi-lagi) buah dada perempuan di sebuah kantin, juga buah dada yang digoyang dalam pusparagam ala unjuk-wicara (talkshow) Kakek-kakek Narsis, dan beberapa lainnya, cenderung berkutat pada persoalan etika moral.
Tata nilai yanga merendahkan perempuan dalam rata-rata sinema-televisi, sinema elektronik alias sinetron, juga tayangan dagelan, relatif tak membuat guncang KPI untuk kemudian melakukan teguran. Alternatif – bisa jadi bahkan satu-stunya – jawabannya, bisa dipastikan: KPI tak mengurusi isi siaran.
Selebihnya lagi, saya tak ingin mengulang-ulang terpeleset mengucap KPI sebagai ringkasan Komisi Pembiaran Iklan – lantaran cara penghitungan durasi iklan masih terhitung konvensional, yakni ya itu tadi: tayangan iklan yang diselap-selipkan secara konvensional memenggal-menggal siaran utama. Padahal, begitu beragamnya – begitu demokratisnya! – ikaln muncul dalam pelbagai cara yang sungguh-sungguh menunjukkan betapa kreatifnya para kreator yang menyusun strategi beriklan di media televisi atau umumnya media elektronika, termasuk siaran radio. ***
Veven Sp. Wardhana, penghayat budaya massa.
Sumber foto: annida-online.com => http://annida-online.com/artikel-630-veven-sp-wardhana-dan-perempuan-aceh.html
[1] Pokok-pokok pikiran untuk “Diskusi Ilmiah Penyiaran Menuju Era Digital”, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) & Dewan Pers, Jakarta, 24 Februari 2012.
[2] Data ini diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_stasiun_televisi_lokal_di_Indonesia. Ada dua provinsi yang belum memiliki stasiun penyiaran televisi, yakni Maluku Utara dan Sulawesi Barat, sementara Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki TVRI setempat.
[3] Istilah ini saya pinjam dari bentukan ‘orang dalam’ televisi sendiri.