Kemerdekaan Pers dan Industrialisasi Media Massa

Kemerdekaan Pers dan Industrialisasi Media Massa
09 Februari 2012 | Administrator

1. Pembukaan

Sepanjang mengenai kemerdekaan pers, uraian ini merupakan lanjutan atau rangkaian sambutan Ketua Dewan Pers pada pembukaan Hari Pers Nasional (HPN) tanggal 9 Februari 2011 yang lalu. Dapat pula ditambahkan, sebelum ini saya telah menulis beberapa catatan yang bersangkutan dengan kemerdekaan pers, seperti �dimensi hukum dan politik kemerdekaan pers� dan �prospek kemerdekaan pers�. Demikian pula mengenai industrialisasi media massa (pers), telah berkali-kali diutarakan dalam pelatihan-pelatihan pers, khususnya �pers sebagai industri.� Ada perbedaan�meskipun hanya gradual�antara industrialisasi media massa (khususnya pers) dengan pers sebagai industri. Dalam kaitan dengan kemerdekaan pers, persoalan pers sebagai industri lebih banyak dibicarakan daripada industrialisasi pers. Secara keseluruhan, dua sub topik tersebut, bukanlah sesuatu yang baru di kalangan praktisi maupun ahli-ahli teori pers, media, atau komunikasi (nothing new under the sun).

2. Kemerdekaan Pers

Pada pembukaan peringatan HPN ini, saya telah menyebutkan, secara normatif, kemerdekaan pers telah dijamin secara expressis verbis oleh UU Pers (UU No. 40 tahun 1999). Secara implied kemerdekaan pers dijamin UUD 1945. Sejumlah ketentuan tentang hak asasi, seperti hak atas kebebasan berkomunikasi, hak atas kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat, memerlukan, bahkan efektif apabila ada kemerdekaan pers. Begitu pula ditinjau dari aspek demokrasi, tidak dapat dilepaskan dari kehadiran kemerdekaan pers. Telah acap kali saya utarakan, tanpa pers merdeka tidak akan ada demokrasi. Begitu pula sebaliknya. Tanpa demokrasi tidak akan ada kemerdekaan pers.

Persoalannya: �Mengapa hingga hari ini komunitas pers Indonesia, tetap mempersoalkan kemerdekaan pers?� Bahkan di berbagai wacana, diutarakan, kemerdekaan pers di Indonesia masih dalam ancaman. Hampir setiap tahun sejumlah komunitas pers mengamati (mensinyalir) ada degradasi kemerdekaan pers. Ada semacam kesenjangan antara das Sollen (normatif) dengan das Sein. Tolok ukur yang biasa digunakan yaitu kekerasan terhadap pers (penganiayaan dan pembunuhan wartawan, pengrusakan peralatan jurnalistik atau bagunan tempat� mengelola pers). Dari sejumlah pemeriksaan terhadap kasus-kasus kekerasan, didapati kenyataan, pers sebagai yang memulai kekerasan (memukul lebih dahulu atau lebih dahulu mengeluarkan ucapan tidak layak terhadap sumber berita). Selain kekerasan, ancaman kemerdekaan pers diindikasikan dengan menghalang-halangi tugas jurnalistik, seperti dilarang meliput atau dilarang memasuki tempat-tempat tertentu. Kadang-kadang pers lupa dengan kewajiban etika dan hukum, seperti privacy yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.

Terlepas dari cara-cara pers yang melaksanakan kemerdekaan pers secara tidak tepat atau berlebihan, harus diakui kemerdekaan pers�walaupun telah dijamin secara normatif�belumlah sangat aman.

Persoalannya: �Apakah hambatan atau ancaman kemerdekaan hanya berkaitan dengan pelaksanaan tugas jurnalistik di lapangan (yang dilaksanakan wartawan)?

Hambatan atau ancaman kemerdekaan pers, dapat datang dari berbagai sumber. Selama ini, yang selalu diletakkan paling depan mengancam, membatasi, atau menciderai kemerdekaan pers adalah penyelengga kekuasaan negara atau pemerintahan. Dalam perkembangan, pembatasan, hambatan atau pencideraan kemerdekaan pers tidak hanya dipraktikkan oleh sistem kekuasaan otoriter atau kediktaturan. Pada negara-negara demokrasi�termasuk negara demokrasi yang sudah mapan�melakukan juga ancaman, pembatasan, dan pencideraan kemerdekaan pers, atas nama ketertiban umum, kepentingan umum, dan lain-lain alasan. Cara-cara pembatasan dilakukan melalui regulasi, kebijakan atau berbagai tindakan hukum (rechtshandelingen) atau tindakan konkrit (feitelijke handelingen).

Dalam kenyataan, hambatan kemerdekaan pers tidak hanya bersumber dari penyelenggara negara dan pemerintahan. Tidak kalah penting, hambatan yang datang dari:

Pertama; publik atau masyarakat. Dalam keadaan tertentu publik dapat bermusuhan yang mencederai kemerdekaan pers. Tindakan permusuhan yang menciderai kemerdekaan pers biasanya bersifat kelompok bukan individual. Dalam sejumlah peristiwa, pers (cq. wartawan) menjadi korban publik, baik karena salah pengertian, ketidakmengertian, atau karena suatu hasutan. Peristiwa-peristiwa seperti yang terjadi di Ternate, wartawan menjadi korban kekerasan publik. Apresiasi publik terhadapa pers (cq. pers merdeka) sangat penting dan dapat ditingkatkan melalui media literacy yang dilakukan baik melalui media elektronik dan cetak, maupun berbagai kegiatan sosial pers.

Kedua; kelompok kepentingan (ekonomi dan politik) dan kelompok mapan (establishment) yang merasa terganggu oleh pers. pengungkapan oleh pers cara-cara menjalankan kegiatan ekonomi yang tidak sehat dan merugikan masyarakat banyak dapat menjadi ancaman terhadap kemerdekaan pers. Cara-cara menjalankan ekonomi dengan suap menyuap, untuk hal-hal seperti untuk memperoleh proyek atau mengurangi pajak, menjalankan persaingan tidak sehat, merusak lingkungan, pencurian kayu dengan menyalahgunakan HPH dan lain-lain, merupakan ancaman yang harus ditiadakan baik melalui negosiasi maupun kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap pers. Biasanya tindakan menakuti pers dilakukan melalui pihak ketiga yang telah biasa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, seperti kasus Tangerang.

Ketiga; politisasi pers atau pers politik. �Dalam catatan ini politisasi pers atau pers politik dimaknakan pers partisan (partisanship) yaitu keberpihakan kepada suatu kekuatan politik yang duduk atau bekerja untuk menduduki kekuasaan negara. Pers sebagai instrumen publik secara alamiah berpolitik, bahkan harus berpolitik. Namun, pers sebagai pers yang menjalankan politik publik bebas dari keberpihakan pada suatu kekuatan politik. Membicarakan atau memperjuangkan kepentingan publik adalah sebuah politik. Ada bermacam-macam corak pers partisan, antara lain:

  1. Pers sebagai alat kelengkapan resmi kekuasaan politik atau penyelenggara kekuasaan politik. Hal ini terutama didapati pada sistem kekuasaan otoriter atau kediktaturan. Selain sebagai corong regim yang berkuasa, sekaligus sebagai cara mengendalikan atau menguasai pers. Tetapi, pers partisan terdapat juga dalam sistem demokrasi. Berbagai kekuatan politik tidak dilarang memiliki pers sebagai organ pendukung.
  2. Sikap partisan yang timbul dari persamaan ideologi atau persamaan pandangan dengan suatu kekuatan politik tertentu, atau untuk menjamin atau melindungi kepentingan pers yang bersangkutan. Suatu kepentingan yang bersifat ekonomis, acap kali mendorong pers bersikap partisan. Pers-pers daerah yang melakukan berbagai bentuk kerjasama dengan pemerintah daerah, sadar atau tidak sadar, menjadi partisan sebagai imbalan yang diterima. Pers semacam ini dapat mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan pers itu sendiri.
  3. Pemilik pers yang menjadi aktivis atau menggabungkan diri dengan kekuatan politik tertentu. Secara resmi mungkin pers yang bersangkutan tidak serta merta bersikap partisan. Tetapi merupakan kewajiban pers yang bersangkutan untuk menjalankan kemauan pemilik�termasuk kemauan politik�langsung atau tidak langsung akan bersifat partisan.

Tiga kemungkinan di atas, tidak memungkinkan atau paling tidak akan menimbulkan keraguan pers bersangkutan akan bersifat independen dan berimbang. Politik adalah kepentingan. Kepentingan politik regim, atau individu sangat berpengaruh pada pers yang ada dalam genggamannya. Namun demikian, pengertian independen sama sekali tidak melarang untuk berpihak. Pers independen wajib berpihak demi kepentingan publik. Yang harus dijaga adalah keseimbangan. Inilah makna imparsial sebagai unsur independensi pers. imparsial adalah keseimbangan.

Keempat; tingkah laku pers atau internal pers dapat mengancam kemerdekaannya sendiri. Pers yang bermutu rendah, sistem pengelolaan yang tidak baik, tidak menghormati kode etik dan peraturan perundangan pers, akan merendahkan martabatnya sendiri. Bukan sekadar menurunkan atau meniadakan kepercayaan publik, tetapi dapat mengundang campur tangan pihak luar terhadap pers.

Di atas telah dicatat, peran pemilik pers. Tidak kalah penting peran wartawan dan redaksi untuk mencederai kemerdekaan pers. Wartawan yang sekadar memandang pelaksanaan tugas kewartawanan sebagai cara mencari nafkah dapat kehilangan kehormatan untuk menjaga kemerdekaan pers. Redaksi yang terlalu memaksakan kebijakan berpihak merupakan pula ancaman kemerdekaan pers.

Demikian berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kemerdekaan pers.

�

3. Industrialisasi Media Massa

Catatan ini dibatasi pada industrialisasi pers. Media massa dapat meliputi pers dan bukan pers. Hingga saat ini masih ada diskusi mengenai jurnalisme warga (citizen journalism). Apakah termasuk pers atau di luar pers. Tetapi tidak dapat dibantah perkembangan pesat jurnalisme warga. Bahkan makin berperan penting sebagai media informasi maupun sebagai pembentuk pendapat umum. Bagi pers tradisional, dalam berbagai peristiwa, jurnalisme warga menjadi sumber informasi pers dan menjadi instrumen publik pengganti pers ketika suatu keadaan atau peristiwa tidak atau belum dapat dijangkau pers tradisional.

Secara hakiki, sejak kelahirannya pers adalah sebuah industri. Dapat pula disebutkan, kehadiran dan perkembangan pers tidak pernah terlepas dari perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Yang berbeda adalah perkembangaan fungsi dan teknologi yang dipergunakan. Pada permulaan, fungsi pers terutama sebagai media informasi (penyampai berita). Seiring dengan peran politik, pers berperan menyalurkan, membentuk dan mempengaruhi pendapat umum. Seiring dengan perkembangan pers sebagai sebuah usaha, pers berkembang sebagai usaha ekonomi atau bisnis. Industrialisasi pers tidak lagi untuk memanfaatkan perkembangan teknologi tetapi kegiatan industri di bidang ekonomi.

Perkembangan pers, baik dalam pengertian proses industrialisasi maupun sebagai industri, tidak mungkin dihindari. Dalam tataran tertentu merupakan kebutuhan. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, kebutuhan akan kecepatan melayani dan menyampaikan informasi, perkembangan berbagai jenis media baru, persaingan yang ketat, dan perkembangan pers sebagai bisnis menuntut sistem pengelolaan yang saintifik (scientific) dan efisien.

Industrialisasi pers sebagai suatu kemestian tidak berpengaruh pada kedudukan dan fungsi pers. Industrialisasi pers dapat menguatkan manfaat pers sebagai instrumen publik. Persoalan dapat timbul pada pers sebagai industri. Pers itu sendiri sebagai industri. Telah dikemukakan, sebagai industri, pers adalah suatu kegiatan ekonomi yang mencari laba (sebesar-besarnya). Sebagai pencari laba, kemerdekaan bukan lagi suatu esensial. Kemerdekaan pers akan dipertukarkan sepanjang berjalan seiring dengan kepentingan ekonomi dari perusahaan pers yang bersangkutan.

Apakah hal tersebut dapat dicegah atau dihindari? Ada sejumlah instrumen yang dapat dipergunakan pers sebagai industri mencederai kemerdekaan dan fungsi pers.

Pertama; sebagai suatu badan hukum, perlu perhatian yang sungguh penerapan aturan-aturan hukum seperti undang-undang anti monopoli atau anti kartel, undang-undang persaingan tidak sehat seperti perang harga, kartelisme. Termasuk pula cara-cara tidak sehat �memindahkan� tenaga-tenaga dari satu perusahaan pers ke perusahaan pers lain dengan penawaran pendapatan atau kedudukan yang lebih tinggi tanpa kesepakatan atau pernyataan tidak keberatan dari perusahaan asa.

Kedua; pengerasan penegakan kode etik pers. Pengerasan ini tidak hanya melalui Dewan Pers. Tidak kalah penting peran perhimpunan-perhimpunan wartawan dan perhimpunan perusahaan pers. Masing-masing penerbit pers juga bertanggung jawab agar secara internal kode etik dapat ditegakkan dengan baik melalui penegakan disiplin, penegakan kaidah profesi, dan melaksanakan kaidah-kaidah hubungan kerja baik yang diatur oleh hukum maupun berdasarkan perjanjian kerja (koletif atau individual) dengan para pekerja pers.

Ketiga; kontrol publik. Sebagai salah satu elemen dan sebagai instrumen demokrasi (pers demokrasi), pers juga harus diawasi (dikontrol). Karena pers bertanggung jawan kepada publik, publik wajib mengawasi pers agar tidak menggunakan pers yang merugikan kepentingan publik dan tidak lagi mengindahkan lagi prinsip-prinsip independensi, imparsial, berimbang dan lain-lain asas pers merdeka.

Keempat; harus ada kejelasan perbedaan peran antara tugas-tugas jurnalistik dan non-jurnalistik. Ketika seorang pimpinan media pers yang merangkap sebagai pimpinan organisasi sosial membuat siaran organisasi yang bersangkutan, yang bersangkutan tidak sedang melakukan tugas jurnalistik karena sepanjang mengenai konten siaran tidak dapat serta merta bernaung dan dilindungi oleh pers dan kaidah etik dan hukum-hukum jurnalistik. Tetapi tindakan media pers yang bersangkutan menyiarkan kegiatan sosial tersebut adalah kegiatan jurnalistik yang wajib tunduk pada asas dan kaidah etik dan hukum jurnalistik.

�

4. Penutup

Baik industrialisasi pers maupun pers sebagai industri (yang bersifat ekonomi) tidak mungkin dihindari lagi. Yang perlu disadari bahwa akibat industrialisasi dan pers sebagai industri berdampak multidimensi baik internal maupun eksternal. Ada kebaikan dan keburukan yang dihadapi. Kebaikan, antara lain, pers harus benar-benar dikelola secara profesional dengan suatu tujuan yang jelas. Keburukannya, timbul perssaingan yang dapat saling mematikan, kebutuhan kapital untuk menjamin kelangsungan hidup pers. Dua hal lain dapat mempengaruhi kemerdekaan pers. Keburukan lain yaitu faktor-faktor idiil dapat terbelakangkan diganti oleh motif bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Kalau hal ini, ancaman terhadap kemerdekaan menjadi sesuatu yang dapat disebut sebagai �the real and present threat� atau �the real and present danger.�***

Bagir Manan, Ketua Dewan Pers.

�

Tulisan ini disampaikan dalam acara Konvensi Media Massa di Jambi, 8 Februari 2012, dalam rangka Hari Pers Nasional 9 Februari 2012.


�