Pertanyaan Penting di Balik Etika Media Digital
09 Februari 2012 | Administrator
Tahun lalu saya berkunjung ke redaksi Chicago Tribune yang terletak di Tribune Tower, di pusat kota Chicago.� Di ruang redaksi yang cukup besar,� terdapat puluhan meja dengan komputer, tipikal yang kita temui di ruang redaksi media massa, khususnya koran.� Yang membedakan adalah, di sebuah sudut ruang itu ditata panggung kecil dan sepasang kursi dengan meja tamu.� Tiga kamera televisi mengarah ke panggung kecil itu.� Itulah pojok WGN9News, stasiun televisi yang bernaung di bawah kelompok Chicago Tribune, salah satu koran tertua di AS.� Di sisi dinding lainnya ada ruangan kaca dengan beberapa meja kerja di dalamnya yang menjadi studio kerja bagi awak WGN720, radio milik mereka.� Di� sudut lain ada sekelompok orang mengerjakan materi berita untuk www.ChicagoTribune.com, dan portal yang mereka kembangkan untuk anak muda, RedEye.� Masih di gedung yang sama, tapi berlokasi di lantai yang berbeda, sekelompok orang mengerjakan ChicagoNow, sebuah komunitas blogger yang beranggotakan tak kurang dari 1.500 blogger aktif, dan 70 diantaranya bahkan mendapatkan bayaran atas apa yang ditulisnya.
�
Mudah ditebak, meski memproduksi berita dan informasi melalui beragam medium: koran, televisi, radio, online media (media siber) maupun blog, pada dasarnya mereka bernaung di bawah kelompok media yang sama, dan saling menggunakan sumber berita dari medium yang berbeda.� Jurnalis koran melaporkan untuk radio, jurnalis radio melaporkan untuk televisi, jurnalis media siber memproduksi berita berdasarkan wawacara tamu yang datang ke studio televisi dan radio, dan semua bentuk media tradisional ini gemar memanfaatkan informasi berupa teks maupun foto dan video �yang diproduksi oleh pewarta warga, blogger yang bergabung di ChicagoNow.
Sama halnya dengan ratusan, mungkin ribuan grup media lainnya di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, Chicago Tribune menjalankan jurnalisme berlapis, layered jurnalism.� Istilah layered jurnalism saya kutip dari pokok pikiran yang disajikan Stephen J.A Ward yang berjudul Digital Media Ethics.
Stephen Ward mengulas etika media digital dalam konteks berkembangnya beragam produksi konten berita yang menggunakan medium internet.� Cakupannya mulai dari jurnalisme media siber, blogging, jurnalisme foto digital, pewarta warga sampai pengguna media sosial seperti Twi tter, Facebook dan lainnya.
Berkembangnya bentuk produksi dan penyampaian berita melalui medium internet, menurut Stephen Ward, memicu apa yang disebut dengan Revolusi Etika Media.� Ini adalah sebuah proses yang kian berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi komunikasi.� Bayangkan, kini kian banyak orang mengkonsumsi berita dan informasi dari telpon seluler pintar ketimbang membaca koran dan majalah.� Orang menonton berita televisi bahkan film terbaru melalui tablet. Jurnalisme kini bersifat interaktif dan segera.� Keputusan bagaimana, kapan dan dengan cara apa berita dipublikasikan kini ada di tangan warga, bukan pengelola media. Jurnalis berkompetisi dengan pengguna Twitter, Blogger, pewarta warga dan media sosial lainnya.
Era digital memunculkan pertanyaan mengenai etika.� Apakah etika yang dianut media selama ini masih relevan?� Nilai dasar etika jurnalistik dibangun abad lalu, dan didesain bagi sebuah penerbitan koran yang dijual komersil ke publik.� Bagaimana dengan mereka yang menyajikan berita secara gratis melalui portal, blog maupun media sosial lainnya?� Apakah mereka terikat dengan etika jurnalistik?
Kini kita memasuki era a mixed news media. Era gabungan antara media profesional dengan media warga.� Era baru membutuhkan sebuah etika media yang �mixed� pula, sebuah panduan yang dapat diaplikasikan kepada kaum amatir maupun profesional, apakah mereka memproduksi tulisan di blog, Twitter, menyiarkan melalui media elektronik atau menulis untuk surat kabar. �Media ethics needs to be rethought and reinvented for the media of today, not of yesteryear,�� kata Stephen J.A Ward http://ethics.journalism.wisc.edu/resources/digital-media-ethics/
Dalam pokok pikirannya, Ward mengatakan perubahan yang terjadi menantang prinsip fundamental dari etika media.� Tantangannya begitu dalam, lebih dari sekedar menguji obyektivitas atau memverifikasi konten dari publik. Bisakah etika berarti bagi mereka yang harus memproduksi news dan analisis secara instan? Ketika siapapun berbekal modem internet dapat menjadi penerbit.
Perubahan mendasar menimbulkan dua tingkatan benturan.
Pertama, ada benturan antara jurnalisme tradisional dengan jurnalisme online.� Kultur dasar jurnalisme tradisional yang menjunjung tinggi akurasi, verifikasi sebelum publikasi, berimbang, imparsial, cek dan ricek sebelum dicetak, berhadapan dengan kultur jurnalisme online yang menekankan pada kesegeraan, transparansi, parsialitas, non-profesional jurnalis dan koreksi pasca publikasi.
Kedua, terjadi benturan antara jurnalisme dengan area terbatas dengan jurnalisme global.� Jika jurnalisme memiliki dampak global, apakah ia memiliki tanggungjawab global pula?� Haruskah etika media diformulasi ulang� agar mengandung tujuan dan norma yang dapat memandu jurnalisme yang kini memiliki cakupan dan dampak global?� Bagaimana bentuknya?
Tantangan dari etika media saat ini dapat disimpulkan melalui pertanyaan:� kemana arah etika di dunia multimedia, jurnalisme global?� Etika media seyogyanya melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar membahas benturan ini.� Secara teoritis, etika media kini harus mengurai konflik diantara nilai-nilai di atas� Harus memutuskan mana prinsip yang harus dirawat dan dijaga, mana yang perlu dikembangkan.� Pendek kata, harus menyediakan standar baru untuk memandu online dan offline jurnalisme.
Jurnalisme berlapis akan mendatangkan dua masalah.� Pertama, akan ada masalah etika secara vertikal, bagaimana lapisan yang berbeda di ruang redaksi, dari editor profesional dan freelancer harus berinteraksi untuk menghasilkan jurnalisme yang bertanggungjawab?� Misalnya, apa standar yang diterapkan editor profesional dalam mengevaluasi kontribusi dari pewarta warga? Kedua akan ada pertanyaan horisontal tentang norma yang berlaku di berbagai bagian di ruang redaksi
Tak heran jika penerapan etika media digital memunculkan sejumlah pertanyaan esensial sebagaimana dirumuskan Stephen Ward:
Who is a journalist? Pertanyaan soal siapa wartawan apakah masih penting?� Mengingat semua orang yang memiliki akses ke internet dan membuka akun media sosial atau surat elektronik bisa memproduksi berita?� Di AS sebuah survei online yang dilakukan oleh Majalah TIME tahun 2009 mengenai siapa jurnalis yang paling dipercayai publik menghasilkan nama Jon Stewart di peringkat pertama. Stewart, pembaca acara Comedy Central yang kerap membahas berita terbaru yang disajikan media tradisional dengan cara satir, mengalahkan pembawa berita andalan lainnya, seperti Brian Williams (NBC Nightly News), Katie Couric (CBS, kemudian ABC) dan Charlie Gibson (ABC).� Stewart menjadi �the most trusted man in news� setelah era Walter Cronckite. http://www.huffingtonpost.com/2009/07/22/time-magazine-poll-jon-st_n_242933.html.
Munculnya nama John Stewart yang bukan jurnalis cukup mengagetkan.� Mengapa publik lebih mempercayai pemandu acara satir ketimbang acara berita yang serius, dianalisa sebagai sebuah fenomena psychology of trust. Stewart dianggap memuaskan konsumen berita dengan menyajikan kisah di balik berita, cerita yang sebenarnya, dan jauh dari motif politik dan bias sebagaimana yang mungkin ditemukan pada jurnalis dan pembawa berita di jaringan televisi AS lainnya, termasuk tiga nama besar yang dia kalahkan. Untuk menjadi seorang komunikator, seseorang harus nampak jujur dan kredibel. Analisa mengenai Stewart bisa kita baca di sini: http://www.psychologytoday.com/blog/cutting-edge-leadership/200907/why-jon-stewart-is-the-most-trusted-man-in-america.
Di era digital dan maraknya media sosial terutama dalam tiga tahun terakhir, siapa saja yang menjadi saksi mata sebuah peristiwa penting dalam melaporkannya pertama kali ke publik melalui saluran media sosialnya bisa menjadi �the most trusted person�, menjadi sumber berita, tanpa perlu menjadi jurnalis yang bekerja secara profesional di media profesional. Pertanyaannya, apakah Stewart dan produsen berita lainnya dari kalangan publik harus merujuk kepada etika jurnalistik yang sama dengan yang dipegang jurnalis?
What is journalism? Pertanyaan in bisa dijawab dengan mengutip ribuan buku dan naskah akademis.� Tetapi intinya, medium yang berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan teknologi, tidak mengubah esensi dari jurnalisme yang harus memenuhi elemen dasarnya: verifikasi, akurasi, keberimbangan, kebenaran, kepentingan publik, relevan.� Bisakah kita mengatakan, jurnalis warga tak perlu memenuhi etika jurnalistik? Bagaimana jika produk/informasi dari jurnalis warga itu disandingkan dengan hasil pekerjaan jurnalis profesional? Apakah kita menerapkan standar berbeda dalam sebuah berita?
Anonymity: Jurnalis yang bekerja di media tradisional seperti koran, majalah, televisi dan radio mendapat pegangan dasar, sumber anonim hanya diperbolehkan dalam kasus tertentu dan digunakan secara sangat selektif.� Anonymity is the evil roots of journalism, adalah sebuah kalimat yang menunjukkan betapa penggunaan sumber anonim sedapat mungkin dihindari.� Ketika media tradisional memiliki versi digitalnya, apakah standar yang sama diberlakukan?� Bukankah media digital baik berupa portal berita mengandalkan kecepatan dan seringkali menggunakan sumber anonim sebagai sebagai sumber berita pertamanya?� Pemilik akun media sosial menyampaikan informasi tanpa menyebut sumbernya? Pertanyaan terkait etika, apakah kita memberlakukan etika jurnalistik yang berbeda untuk medium berita yang berbeda?
Speed, rumor and corrections: Karena sifatnya yang segera, media digital seringkali mengabaikan akurasi dan verifikasi.� Perlukan dibuat kode etik khusus bagi mereka?� Bagaimana dengan mekanisme koreksi? Mengingat berita yang salah dan terlanjur menyebar di dunia maya, boleh jadi akan tetap ada jejaknya meski sudah dicabut oleh redaksi?
Impartiality, conflicts of interest, and partisan journalism: Berita di media digital seringkali mengundang komentar, karena sifatnya yang interaktif.� Diskusi bisa menjadi seru, bahkan panas.� Inilah kekuatan dari komunikasi digital, baik yang terjadi di media yang menjalankan fungsi layaknya perusahaan/organisasi media maupun situs/akun yang dimiliki secara pribadi. Jika jurnalis diharapkan imparsial, maka berita di media digital justru menjadi menarik karena godaan kuat menjadi partisan melalui pengelolaan komentar dari konten buatan pengguna (user generated content). Media tradisional yang memiliki versi digitalnya pun bisa terjebak dalam situasi ini.� Blogger jelas menemukan semangatnya karena bisa bersikap partisan melalui tulisannya, begitu juga pengguna media sosial. Pertanyaan terkait etika, jika berita pokoknya harus mengikuti etika jurnalistik, bagaimana dengan komentar yang melekat pada berita tersebut?� Konsep dasar yang harus dipegang di sini adalah verifikasi, akurasi dan transparansi.� Di AS, banyak diantara penyandang dana bagi partai politik dan kandidat presiden adalah pemilik dan pemimpin media.� Berita terakhir menyebutkan Anna Wintour, pemimpin Vogue, majalah fashion terkemuka, adalah salah satu donatur Presiden Barack Obama. Ini informasinya: http://www.fashiongen.com/story/759/Anna-Wintour-and-eminent-fashion-designers-to-raise-fund-for-Obama%27s-campaign-.html
Entrepreneurial not-for-profit journalism: Ketika jurnalis mulai gerah dengan kian kuatnya intervensi pemodal dalam pemberitaan, muncul banyak portal berita yang didirikan secara independen dan mengandalkan dana dari institusi nirlaba. Format digital dianggap lebih murah dan tak butuh modal besar. Tak ayal, dalam prosesnya jurnalis pendiri harus terlibat pula dalam mencari dana baik melalui donatur maupun pemasang iklan. Jurnalis menjadi media entrepreneur. Pertanyaan yang sama terulang, bisakah jurnalis di portal berita independen ini menjaga etika jurnalistik atas potensi intervensi dari donatur? Pemasang iklan?� Fenomena HuffingtonPost.Com, yang awalnya blog didirikan secara independen oleh Ariana Huffington dan kawan-kawannya, berkembang luar biasa dan mencatat pengunjung terbesar untuk sebuah portal berita, dan tahun lalu dibeli oleh American Online (AOL).� Bisakah HuffingtonPost menjaga independensi dari AOL?
Tantangannya adalah merumuskan etika untuk area jurnalisme baru ini.� Jurnalisme online atau media digital. Whatever;-)
Reporters using social media: Banyak jurnalis memiliki akun media sosial dan blog.� Tantangan etika adalah merumuskan pedoman media sosial dan batasan antara sikap lembaga dengan komentar pribadi terkait sebuah berita.
Citizen journalists and using citizen content: Hampir semua tradisional� versi digitalnya memiliki komunitas blog yang notabene adalah jurnalis warga.� Apalagi media online yang berdiri sendiri. Media menggunakan sebagian dari konten dari jurnalis warga, baik dari blog, Facebook, Twitter, Youtube dan media sosial lainnya sebagai bahan pemberitaan.� Bagaimana menerapkan etika jurnalistik pada konten yang diproduksi jurnalis warga dan pengguna media sosial?� Perlukah dirumuskan etika yang bisa diberlakukan lintas medium?
Ethics of images : Di era digital, semua bisa memproduksi gambar dan video digital, memprosesnya secara mudah (termasuk mengedit) baik di telepon seluler pintar setelah pengambilan gambar atau yang sedikit lebih rumit di komputer personal.� Ketika gambar-gambar ini diunggah ke jagat maya melalui berbagai medium media sosial, lantas bagaimana media bisa memastikan gambar tersebut adalah faktual, benar, akurat, bukan rekayasa? Perlukah diatur etika khusus untuk gambar?
Pertanyaan-pertanyaan yang berbasis pada pikiran Stephen J Ward ini saya bahas dalam sesi workshop yang diadakan oleh Dewan Pers, membahas Pedoman Pemberitaan Media Siber.� Pedoman ini pada dasarnya memuat soal verifikasi dan imparsialitas, bagaimana mengatur konten buatan pengguna, koreksi dan hak jawab, pencabutan berita di media siber dengan alasan khusus termasuk perlindungan masa depan anak, iklan dan hak cipta.
Pedoman Penggunaan Media Siber yang ditetapkan oleh Dewan Pers pada 3 Februari 2012 mencoba menjawab pertanyaan di atas.� Merumuskan sebuah panduan yang melengkapi Kode Etik Jurnalistik dan aturan dalam UU Pers No 40/1999 yang kini berlaku.� Sebuah panduan yang tidak hanya berlaku untuk media siber dan jurnalisnya, melainkan juga bisa berlaku untuk semua pengguna medium internet.##
Jambi, 7 Februari 2012
*Uni Z. Lubis, Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan Profesi Wartawan, Dewan Pers dalam Workshop Peningkatan Profesionalisme Wartawan oleh Dewan Pers, dalam rangka Hari Pers Nasional 2012
�