Hari Kemerdekaan Pers
06 Juli 2011 | Administrator
Pertama: Seperti tahun-tahun terdahulu, hari ini kita berkumpul kembali memperingati Hari Kemerdekaan Pers Sedunia tanggal 3 Mei. Dewan Pers tidak dapat menyelenggarakan tepat waktu. Mundur satu minggu yaitu hari ini 10 Mei. Saya mohon maaf atas keterlambatan ini.
Sebagai orang baru, saya tidak mengira, Dewan Pers ternyata cukup sibuk sejalan dengan kesibukan dan dinamika pers kita. Saya pernah bekerja sangat sibuk yaitu ketika menjadi hakim dan birokrat. Ternyata Dewan Pers tidak kurang sibuk bahkan dalam keadaan tertentu lebih sibuk.
Setelah lebih dari satu tahun di Dewan Pers, saya mulai paham atas berbagai persoalan. Ketika menjadi hakim, terbatas pada persoalan hukum. Hakim tidak boleh tergoda, misalnya kepersoalan politik. Kalau ada hakim menyibukkan diri dengan persoalan politik itu bukan porsinya. Pada waktu masih bekerja di Mahkamah Agung, saya pernah menegur seorang hakim karena ikut-ikut mengomentari calon bupati dan proses pilkada. Tidak hanya saya tegur, tetapi saya pindahkan.
Berbeda dengan pers. Adalah kewajiban pers sebagai pranata sosial untuk turut serta dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Belum lagi menghadapi berbagai interest atau kesenangan yang berbeda-beda dari bermacam-macam pers kita. Kecuali yang harus dipelihara dan dikembangkan terus.
Kedua: Untuk memperingati hari Pers yang penting ini, Dewan Pers meminta kesediaan Bapak Goenawan Muhamad untuk berbicara dihadapan kita. Tema dan isi yang dibicarakan Bapak Goenawan Muhamad tidak harus soal kemerdekaan pers. Sebab, meskipun misalnya kita sekarang menikmati kemerdekaan pers atau kebebasan setinggi-tingginya tetapi kita masih rajin memberitakan program bedah rumah, keluarga yang terpaksa tinggal di ruang kambing, rasa-rasanya kemerdekaan seperti itu kurang bermakna secara sosial. Pers yang merdeka atau bebas akan bermakna kalau disertai keberhasilan meyakinkan dan mendorong bahwa kemiskinan adalah bertentangan dengan kemanusiaan, melanggar hak asasi.
Ketiga: Sampai hari ini, dunia pers sangat sensitif dengan persoalan kemerdekaan pers. Tidak hanya di negeri kita. Di tempat-tempat lain juga begitu. Bahaya atau ancaman terhadap kemerdekaan pers ternyata tidak hanya datang dari sistem kekuasaan otoriter atau kediktatoran
Dari berbagai diskursus atau catatan yang dapat kita baca, ancaman kemerdekaan pers dapat datang dari, misalnya pers sebagai industri. Demi hitungan ekonomi, pers yang semestinya selalu menjunjung tinggi mahkota independensi menjadi lebih dependen. Demikian pula tatanan demokrasi, dapat juga memaksa pers menjadi dependen atau kurang berdaya. Apabila mesin kekuasaan dalam demokrasi menjadi sangat kuat atau sangat dominan, dapat pula mengancam kemerdekaan pers. Demokrasi dalam kenyataan tidak lagi menjadi forum dialog, tetapi lebih nampak sebagai forum monolog. Kehendak penguasa menjadi acuan pers. Pers kehilangan kemampuan untuk men-challenge berbagai kehendak penguasa penguasa dengan menggunakan mesin demokrasi. Pers kehilangan kemampuan untuk menyediakan alternatif yang menyuarakan salah satu ciri demokrasi yang sehat. Hal terakhir yang dapat mengancam kemerdekaan pers adalah pers itu sendiri. Pers kehilangan kesanggupan memelihara kemerdekaannya. Kemerdekaan hanya suatu kenikmatan bukan tanggung jawab. Saya selalu mengingat Bung Hatta yang mengatakan, kalau kebebasan tidak mengenal batas, maka akan menjadi anarki. Demokrasi, kebebasan memerlukan tanggung jawab dan toleransi. Tetapi saya ingin menambahkan, kesanggupan berkorban demi tanggung jawab, tidaklah termasuk mengorbankan diri sendiri. Kemerdekaan pers tidak boleh dikorbankan hanya semata-mata untuk menghindari perbedaan pendapat alias ewuh pakewuh. Namun, katakanlah perbedaan, sampaikanlah alternatif sesuai peradaban demokrasi yang sehat. Khusus bagi pers, katakanlah semua itu dengan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik sebagai mahkota pers.
Jakarta, 10 Mei 2011
(Bagir Manan, Ketua Dewan Pers)