Undang-Undang Kebahasaan
05 Desember 2006 | Administrator
Anggota Kelompok Kerja Dewan Pers
JAKARTA: Seperti mantan menteri pendidikan dan kebudayaan, Fuad Hassan, saya termasuk di antara peserta dan seorang pembicara dalam seminar Rancangan Undang-Undang Kebahasaan di Pusat Bahasa pada 21 September 2006 yang meragukan pentingnya, atau setidaknya mendesaknya, undang-undang ini.
Fuad Hassan yang menjadi peserta seminar sependapat dengan salah seorang pembicara, yaitu wakil pemimpin umum harian Kompas St. Sularto, yang mempertanyakan:
Apakah UU Kebahasaan memang perlu?
Atau, setidaknya, apakah UU Kebahasaan sudah mendesak untuk diadakan sekarang?
Saya mengatakan dalam seminar itu bahwa upaya memberikan pelatihan jurnalistik kepada para wartawan tampaknya lebih mungkin untuk dapat memberi hasil yang segera dalam perbaikan berbahasa Indonesia, khususnya di kalangan pengelola media pers, daripada pemberlakuan UU Kebahasaan.
Tentang kelemahan berbahasa di kalangan para wartawan, terutama di daerah,� saya memberi contoh bahwa sebuah surat kabar di Pontianak memuat satu berita yang kalimat-kalimatnya sangat panjang. Hanya ada satu kalimat yang terdiri atas 26 kata dalam berita itu. Sedangkan kalimat-kalimat lainnya lebih dari 45 kata, yaitu 49 kata dan 73 kata, dan malahan 112 kata, 127 kata, dan 158 kata. Padahal, kalimat karya jurnalistik yang paling efektif dalam bahasa Indonesia, agar mudah dipahami oleh para pembaca awam sekalipun, sebaiknya maksimal antara 15 dan 20 kata.
Kelemahan berbahasa Indonesia di kalangan masyarakat kita, termasuk para pengelola media pers, diakibatkan oleh tidak sempurnanya pengajaran bahasa Indonesia di sekolah, mulai dari Sekolah Dasar sampai ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Oleh karena itu, warga kita pada umumnya tidak memiliki kemampuan menulis karangan, bahkan juga tidak mudah menulis surat yang agak resmi.
Kelemahan cara pengajaran bahasa Indonesia di sekolah telah ditunjukkan oleh hasil pengamatan penyair Taufiq Ismail beberapa tahun yang lalu. Ia mengatakan bahwa cara pengajaran sastra�sebagai bagian dari pengajaran bahasa Indonesia�di negeri ini� tidak seperti yang dilakukan di banyak negeri lain, yaitu sekaligus menjalankan program berikut:
(1)�Memasukkan sederetan judul karya sastra yang penting ke dalam daftar mata ajaran sastra sebagai bahan bacaan wajib di SLTP dan SLTA.
(2)�Seluruh buku karya sastra itu tersedia di perpustakaan sekolah masing-masing.
(3)�Seluruh buku karya sastra itu harus diulas secara tertulis dalam tulisan ulasan atau resensi oleh setiap murid SLTP dan SLTA.
(4)�Ulasan atau resensi para murid itu harus dibahas di depan kelas antara penulis ulasan, teman-temannya, dan guru pengajar sastra.
Cara pembuatan karya tulis dan pembahasan tulisan seperti itu tidak hanya membangun kemampuan murid-murid sekolah dalam keterampilan menyusun karya tulis secara baik dan benar, tetapi juga membiasakan mereka untuk menghargai perbedaan atau pertentangan pendapat. Sikap ini sangat penting untuk kemajuan berpikir secara rasional.
Tidak Menghambat Kemajuan dan Tetap Mendorong Keberanian Menerobos Dunia Internasional�Dalam seminar itu tidak ada pembicara dan peserta yang memberikan informasi, negeri-negeri mana saja yang memberlakukan undang-undang seperti ini. Dan, bila ada undang-undang serupa ini di negeri lain, seberapa jauh efektivitasnya.
Saya setuju bila undang-undang ini melindungi dan malahan membantu memajukan baik bahasa Indonesia maupun bahasa-bahasa daerah. Bahasa daerah penting untuk terus dihidupkan agar tetap dapat menjadi sumber kosakata bahasa Indonesia dan terus menyumbang pada perkembangan kebudayaan dan peradaban negeri ini. Tetapi, undang-undang ini, sebaliknya, tidak menghambat penggunaan bahasa-bahasa asing karena bahasa asing dapat membantu mendorong keberanian warga kita untuk menerobos dan bersaing di dunia internasional.
Di Nederland, misalnya, mahasiswa asing dapat mengikuti kuliah dalam bahasa Inggris di universitas walaupun biayanya lebih mahal daripada kuliah dalam bahasa Belanda. Di Cina, ada universitas yang mengundang para pengajar asing untuk memberikan kuliah dalam bahasa Inggris bagi para mahasiswa Cina sehingga terjadi �transfer of knowledge� dengan sangat cepat di Daratan Cina. �Penyaluran pengetahuan� itu, dengan demikian, tidak perlu menunggu sampai para pengajar Cina sendiri dapat melakukannya. Sebaliknya, mahasiswa Cina yang mahir berbahasa Inggris dapat lebih mampu bertarung dalam globalisasi.
Seorang atase pers keturunan Cina di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dengan bangga bercerita, beberapa tahun yang lalu, bagaimana ayahnya harus bekerja keras mempraktikkan bahasa Inggris dengan para pelanggannya ketika ia membuka usaha binatu sebagai imigran yang tidak mengenal bahasa asing itu. Setiap hari ia mengantungi kamus bahasa Cina-Inggris/Inggris-Cina dan membuka halaman-halamannya setiap kali harus bercakap-cakap dengan pelanggannya. Ini berarti, tidak ada peraturan di Amerika Serikat yang mengharuskan kaum imigran dapat berbicara dalam bahasa Inggris ketika memasuki negeri itu.
RUU Kebahasaan Indonesia, sebaliknya, mewajibkan setiap pekerja asing lebih dahulu dapat menguasai bahasa Indonesia sebelum bekerja atau membuka usaha di negeri ini. [Pasal 22, Ayat (3): Standar kemampuan berbahasa Indonesia sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (2) meliputi kemampuan berbahasa Indonesia bagi para pejabat negara, pejabat publik, serta warga negara asing yang akan bekerja dan atau mengikuti pendidikan di Indonesia.]
Perancang undang-undang ini menyatakan bahwa alasan di balik ketentuan Pasal 22, Ayat (3) yang menyangkut �warga negara asing yang akan bekerja di Indonesia� antara lain agar bisnis orang-orang asing lebih berhasil karena mereka dapat berkomunikasi dalam bahasa lokal.
Saya setuju bila bisnis mereka sukses di negeri ini, dan kita dapat selalu menganjurkan kepada mereka agar mahir berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, apakah kita berhak memaksa mereka untuk menguasai bahasa negeri ini sebelum mulai bekerja di sini? Saya mempertanyakan kepada kepala Pusat Bahasa, Dendy Sugono, apakah peraturan seperti itu tidak melanggar hak asasi manusia?
Karena Pasal 22, Ayat (3) juga menyangkut �warga negara asing yang akan mengikuti pendidikan di Indonesia,� apakah ini berarti bahwa akan tertutup peluang bagi kemungkinan lembaga pendidikan di negeri ini menyediakan kuliah dalam bahasa asing dan mengundang pengajar yang hanya dapat berbahasa asing�seperti dilakukan di Nederland dan di Cina?
Saya mendukung undang-undang ini bila bertujuan melindungi dan mengembangkan bahasa Indonesia serta bahasa-bahasa daerah. Akan tetapi, saya tidak setuju bila undang-undang ini menghambat kemampuan warga kita untuk maju ke dunia internasional dan bersaing dalam pertarungan global.
Saran Perbaikan
Selain hal-hal di atas, saya juga menyinggung Pasal 13, Ayat (1) bahwa �Pidato Kenegaraan, termasuk naskah pidato, baik yang disampaikan di dalam negeri maupun di luar negeri, harus menggunakan bahasa Indonesia.�
Para kepala negara lain ada kalanya menggunakan bahasa Inggris, yang bukan bahasa nasionalnya, ketika menyampaikan pidato kenegaraan dalam kunjungan resmi di negeri asing. Presiden Soekarno, umpamanya, sering menggunakan bahasa asing ketika menyampaikan pidato kenegaraan di luar negeri. Berkomunikasi secara langsung dalam bahasa yang dipahami oleh mayoritas khalayak asing yang hadir, bila pejabat negara kita menguasai bahasa itu, sangatlah praktis dan terasa lebih akrab.
Diusulkan pasal itu menjadi: (1) Pidato Kenegaraan, termasuk naskah pidato, baik yang disampaikan di dalam negeri maupun di luar negeri, dapat menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing. Bila Pidato Kenegaraan disampaikan dalam bahasa asing harus dilengkapi dengan naskah terjemahan resmi dalam bahasa Indonesia.
Pasal 17 perlu pula dipertimbangkan kembali. Ayat (1) menyatakan bahwa �Media massa, baik cetak, elektronik, maupun media lain, wajib menggunakan bahasa Indonesia.� Ayat (2) menyatakan bahwa �Untuk memenuhi kepentingan tertentu, media massa sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat menggunakan bahasa asing setelah mendapat izin dari Menteri.�
Keharusan memperoleh izin bagi media massa seperti tercantum pada Pasal 17, Ayat (2) di atas mencerminkan berlakunya sistem lisensi bagi media pers. Sistem lisensi hanya akan mengingatkan kita pada Surat Izin Terbit atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers yang dihindari oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers karena dipandang merintangi dan menghambat kebebasan pers.
(Tulisan ini merupakan laporan Atmakusumah Astraatmadja kepada Dewan Pers usai mewakili Dewan Pers menjadi pembicara Seminar tentang Rancangan UU Kebahasaan di Pusat Bahasa, Jakarta, 21 September 2006)