Polisi Penyiaran
14 Desember 2006 | Administrator
Sekretaris Eksekutif Dewan Pers
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang kepengurusan periode 2003-2006 segera berakhir bulan Desember ini, mengeluarkan kebijakan taktis: mengajak polisi lebih aktif mempidanakan stasiun televisi bandel. Ajakan kerjasama ini tertuang dalam Nota Kesepahaman antara KPI dan Kepolisian yang ditandatangani pada awal Oktober 2006.
Kerjasama dengan kepolisian diperlukan oleh KPI mengingat banyak teguran lembaga itu diabaikan oleh stasiun televisi swasta. KPI geregetan untuk segera menegakkan hukum dengan menindak tegas stasiun televisi yang dinilai kelewatan dalam menayangkan program berbau seks dan kekerasan (KPI Ancam Laporkan Stasiun TV Bandel ke Polisi, Kompas, 7 Oktober).
Nota kesepahaman KPI dan Kepolisian dimaksudkan sebagai kerjasama untuk menegakkan hukum dan mengefektifkan ketentuan pidana yang telah diatur di UU Penyiaran. Dalam nota kesepahaman itu disepakati KPI akan memberikan informasi, data, dokumen, mengadukan, serta menyediakan saksi ahli jika diduga terjadi tindak pidana pada materi siaran. Sedangkan Kepolisian menindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan yang disampaikan KPI itu.
Agen Polisi
Dalam hal isi siaran, KPI dan Kepolisian akan bekerjasama untuk menjerat stasiun televisi yang melanggar ketentuan pidana yang tertuang dalam UU Penyiaran, Pasal 36 ayat (5) dan (6), serta Pasal 46 ayat (3). Pasal-Pasal yang melarang siaran yang dinilai bersifat fitnah, menyesatkan; menonjolkan kekerasan, cabul, perjudian, atau mengabaikan nilai-nilai agama, eksploitasi anak dan siaran yang bertentangan dengan martabat manusia Indonesia. Ketentuan-ketentuan ini sering dikenal sebagai pasal karet, karena interpretasinya dapat ditarik-ulur, dengan ancaman hukuman penjara lima tahun dan denda lima milyar rupiah.
Langkah KPI dapat dimaklumi dalam upaya melindungi kepentingan publik, dan mungkin menaikkan posisi tawar, mengingat lembaga yang belum genap berusia tiga tahun ini terus dirundung persoalan eksistensial. Sejak kelahirannya KPI diabaikan, dianggap nonexisten, oleh stasiun televisi swasta dan organisasi komunitas penyiaran. Kemudian kewenangannya mengeluarkan perizinan dan peraturan penyiaran diambilalih oleh Departemen Komunikasi dan Informatika.
Namun, mengajak polisi aktif turun tangan mempidanakan isi penyiaran sama saja menyerahkan kewenangannya yang masih tersisa kepada polisi. Setelah turun pangkat sekadar menjadi agen pemerintah dalam mengeluarkan peraturan menyangkut media siaran, KPI bahkan cuma akan menjadi agen polisi dalam penegakan hukum di dunia penyiaran
Padahal KPI dilahirkan untuk menjadi lembaga negara independen yang mampu� memerankan fungsi penyeimbang antara kepentingan publik, industri penyiaran, dan penyelenggara negara. KPI adalah lembaga yang lahir dari semangat reformasi untuk meminimalisasi kewewenangan pemerintah dalam pengaturan media penyiaran sebagai ranah publik.
Badan Independen
Alih-alih meminta bala bantuan polisi untuk menyelamatkan eksistensinya, sebagai lembaga independen yang berdiri atas amanat Undang-Undang, KPI justru seharusnya bertarung untuk merebut kembali wewenangnya yang telah diambil alih oleh pemerintah. Dengan mengajak civil society untuk mendukung perjuangan itu, pada saat yang sama terus meningkatkan posisi pijakan (stand point) di hadapan para pemain industri penyiaran di Indonesia. KPI yang baru berusia tiga tahun memang bukan, atau belum, seperti Federal Communications Commission (FCC) di Amerika yang kewewenangannya dalam soal izin penyiaran, mengatur isi siaran, dan mengatur kepemilikan telah teruji selama 82 tahun.
Dalam menangani materi siaran televisi yang dinilai tidak etis, atau dinilai amoral, semestinya KPI mengajak masyarakat untuk aktif merespon. Proses pidana terhadap isi siaran yang dinilai melanggar norma kepatutan masyarakat, mustinya adalah proses gugatan hukum masyarakat sendiri, bukan aksi pengaduan KPI ke polisi.
Sebagai perbandingan, FCC di Amerika juga seringkali menunggu reaksi masyarakat terhadap isi siaran yang dianggap tidak sopan, sebelum turun tangan mendenda stasiun siaran yang dinilai melanggar. Misalnya, pada 2004, FCC menghukum denda jaringan stasiun televisi CBS sebesar US$ 27.000, setelah lebih dari 200.000 penonton TV mengadu, atas kasus �insiden Janet Jackson� yang mempertontonkan bagian tubuhnya yang tidak sopan saat siaran langsung pertandingan football.
KPI semestinya lebih berorientasi pada kebijakan strategis untuk jangka panjang, ketimbang sibuk menempuh pendekatan taktis karena geram terhadap beberapa materi siaran stasiun televisi. Masih ada conventional wisdom untuk mempersoalkan isi siaran televisi yang dinilai kurang patut. Lagi pula� penegakan aturan isi penyiaran tidak selalu musti berupa ancaman hukum kriminal yang harus dilaksanakan oleh aparat hukum.
Dunia media adalah dunia kreativitas, yang memiliki konvensi spesifik yang seringkali terlalu kompleks untuk dibatasi dengan aturan hukum formal. Itu lah sebabnya diperlukan lembaga seperti KPI sebagai polisi media penyiaran, untuk menjauhkan polisi beneran agar tidak sewenang-wenang mempidanakan kreativitas. Kita boleh geram dengan aroma seks dan kekerasan yang disiarkan sejumlah stasiun televisi swasta. Justru itulah salah satu tantangan KPI dalam upaya memerankan fungsinya sebagai �polisi penyiaran�. KPI mustinya tidak secara harfiah mengartikan fungsi polisional dengan meminta polisi mengambilalih tugasnya.
(Tulisan ini merupakan opini pribadi)
�