Pers dan Kemiskinan
02 Maret 2007 | Administrator
Ketua Dewan Pers
Tidak bisa dipungkiri peran pers sangat penting dalam mengangkat masalah kemiskinan. Namun informasi pers yang terkait dengan situasi kemiskinan, seperti mengungkap kasus adanya busung lapar di sejumlah wilayah di Indonesia misalnya, justru pers dipersalahkan, dianggap membesar-besarkan masalah. Seorang wartawan dianiaya seusai mewawancarai gubernur menyangkut lambannya respon terhadap bencana kelaparan di wilayahnya.
Pers berfungsi menambal kekosongan informasi yang seharusnya disediakan oleh aparat atau pejabat yang lalai menjalankan tugasnya. Pemerintah cenderung hanya ingin �melenyapkan kemiskinan��artinya menutupi� dari ekspose pers, bukan mengatasi dan mengentaskan si miskin. Seolah jika kemiskinan tidak terekspos, dengan sendirinya kemiskinan itu tidak ada. Tugas pers adalah selalu� mengingatkan, dengan terus mengekspos kemiskinan.
Pers kerap mengidentifikasi diri sebagai pembela kaum miskin, tercermin dari semboyan atau jargon pers seperti �amanat hati nurani rakyat,� dan sejenisnya misalnya. Ungkapan lain menyebutkan, fungsi pers adalah: �Membuat nyaman orang-orang susah, dan menyusahkan orang-orang yang hidupnya nyaman� (to comfort the aflicted, and to aflict the comforted). Namun pers adalah entitas bisnis, dengan menjual informasi kepada publik. Sebagaimana bisnis lainnya, motivasi utama perusahaan pers adalah mendapatkan keuntungan finansial. Dan seringkali, isu kemiskinan adalah fakta yang sulit dijual untuk mendapatkan untung.
Kini adalah era infotainmen, jurnalisme dituntut menghibur selain memberi informasi. Informasi soal kemiskinan seringkali membuat situasi depresi. Masyarakat Indonesia yang miskin, tentulah bosan jika harus disuguhi informasi kemiskinan. Orang miskin butuh informasi yang menghibur, misalnya tingkah polah selebritis. Itu sebabnya, kemiskinan tidak pernah diberitakan dalam berita infotainmen.
Tugas pers dan jurnalisme bukanlah menghibur, melainkan mengabarkan fakta dan realitas. Informasi tentang kemiskinan, terutama memang ditujukan kepada para pengambil keputusan, agar mereka lebih benar dalam mengelola negara dan memperbaiki taraf hidup masyarakat.� Rendahnya perhatian pers Indonesia pada problem kemiskinan, jangan-jangan adalah pertanda bahwa pers tengah mengalami kemiskinan jurnalistik.
Dalam soal pemberantasan kemiskinan, masyarakat Indonesia --dan pemerintah khususnya-- patut berterima kasih kepada pers. Bukan semata-mata karena berkat pemberitaan pers soal kemiskinan dapat terangkat menjadi agenda pembicaraan. Melainkan pers secara institusional telah secara langsung membantu mengurangi kemiskinan di Indonesia. Menjadi �wartawan� saat ini adalah outlet -- jalan keluar-- yang paling gampang untuk menghindari kemiskinan.
Praktek �wartawan bodrek�, meski seringkali dipandang dengan sangat negatif dan dinilai merusak citra wartawan, adalah upaya taktis bagi sebagian kalangan masyarakat untuk melawan kemiskinan. Hanya dalam dunia pers dan kewartawanan, kesempatan masyarakat terbuka lebar untuk mencicipi sedikit kesejahteraan dari dana amplop dan dana belas kasihan. Meskipun terkesan anekdot, sejauh ini tidak ada profesi lain, di luar kewartawanan, yang secara leluasa dan suka rela membiarkan praktek �bodrekisme� merajalela. Bahkan, para bodrek bukan cuma berpraktek sebagai wartawan, mereka bahkan berorganisasi, mendirikan berbagai asosiasi wartawan.
(pointer makalah ini disampaikan dalam �Konvensi Nasional Media Massa Se-Indonesia�, 8 Februari 2007, yang digelar dalam rangka Hari Pers Nasional di Samarinda)