Komisi Tidak Efektif

Komisi Tidak Efektif
02 Maret 2007 | Administrator

Sekretaris Eksekutif Dewan Pers
Pegiat dan praktisi pers selalu dirundung rasa khawatir terhadap nasib kebebasan pers yang selalu dipersoalkan di Indonesia. Bukan saja kebebasan pers telah diolok-olok menjadi kebablasan, lembaga-lembaga yang didirikan untuk mengembangkan kebebasan pers juga terus dipersoalkan.� Belum lama ini Menteri Komunikasi dan Informatika, Sofyan Djalil, mempertanyakan kinerja Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers. Sebagai lembaga kuasi negara, yang diberi mandat untuk mengurus kebebasan pers dan penyiaran, dua lembaga tersebut telah divonis oleh pemerintah: tidak efektif.

Dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR, membahas Rancangan Undang-Undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP), Sofyan Djalil menyampaikan sarkasme terhadap 26 komisi negara yang tidak efektif dan tak terkontrol: "Jelek-jelek saya ini masih bertanggung jawab kepada presiden, masih bisa dipecat presiden. Komisi negara siapa yang memecat. Tanggungjawabnya kepada Tuhan saja." Khusus terhadap KPI dan Dewan Pers, Sofyan Djalil, menyindir: �Anggaran KPI itu sekitar Rp 30 miliar. Anggaran Dewan Pers sekitar Rp 15 miliar. Ini lebih besar dari (anggaran) Sekretariat Kabinet." (Kompas, 31 Januari 2007)

Menkominfo pantas murka terhadap kinerja buruk KPI dan Dewan Pers, apa pasal? Karena setelah Depkominfo merasa menyalurkan anggaran puluhan milyar, dua lembaga itu gagal memainkan peran yang diinginkannya yaitu mengatur pers dan penyiaran. Selain telah dibantu dalam hal pendanaan, kesekretariatan dua lembaga itu juga dikelola oleh staf yang berasal dari Depkominfo. Sehingga, tentu saja, Sofyan Djalil �tahu persis� soal kinerja yang tidak efektif, dan pantas pula mengungkit dana besar Depkominfo yang telah dihambur-hamburkan oleh KPI dan Dewan Pers.

Situasi anekdotal tersebut, dalam analisa pakar sosial, merupakan konsekuensi dari masih lemahnya civil society di Indonesia. Negara, dalam hal ini pemerintah, masih sangat kuat mendiktekan agendanya dan seringkali masih memaksakan hegemoni terhadap makna. Atas dasar pemaknaan �tidak efektifnya� sebagian besar komisi negara, pemerintah menolak gagasan DPR tentang perlunya pembentukan Komisi Informasi (sebagai bagian dari RUU KMIP). Alih-alih membentuk komisi, pemerintah� mengusulkan pembentukan sebuah kepanitiaan yang akan mengurus informasi. Fungsi kepanitiaan itu menyerupai �Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan untuk menangani masalah informasi�.

Ketimbang membiayai komisi yang menghabiskan anggaran bermilyar-milyar --yang tidak bisa dipecat atau dikontrol-- cuma untuk mengurus persoalan informasi; membentuk panitia yang bisa dibayar secara honorer berdasarkan jam kerja, dan dapat dibubarkan segera, memang jauh lebih efektif. Dengan analogi berpikir seperti ini, sesungguhnya KPI dan Dewan Pers, memang pantas dibubarkan, diganti dengan: �Panitia Penyiaran Indonesia� dan �Panitia Pengaduan Pers�. Agar biayanya lebih murah, kinerjanya terukur, dan pasti lebih efektif.

Namun, berbincang soal efektivitas, ada baiknya menyimak paparan Sutradara Ginting, anggota DPR, dalam diskusi dengan Dewan Pers yang mengangkat tema mempertanyakan �Komitmen Pemerintah Terhadap Kebebasan Pers�. (persisnya, diskusi ini digelar untuk menanggapi lontaran Menkoinfo Sofyan Djalil itu). Anggota DPR dari Komisi I tersebut mengingatkan: Ciri-ciri pemerintahan yang tidak efektif akan selalu berusaha merebut hak-hak masyarakat, seperti hak untuk mendapatkan informasi, berekspresi, dan kebebasan pers.

Nah. Ini peringatan untuk anggota KPI dan Dewan Pers. Bekerja lah dengan efektif, atau kalau tidak, siap-siap lah dilebur menjadi panitia oleh Depkominfo.