Etika Peliputan dan Kebijakan Perlindungan terhadap Keselamatan Wartawan
03 April 2007 | Administrator
Oleh Abdullah Alamudi
Anggota Dewan Pers
Kematian dua orang jurukamera – Muhammad Guntur Syaifullah dari SCTV, dan Suherman dari Lativi – ketika mereka meliput kebakaran kapal Levina I awal Februari, membuka mata masyarakat pers mengenai buruknya persiapan jurnalis ketika meliput lingkungan berbahaya.
Setiap tahun, ketika sebuah perusahaan merayakan ulang tahunnya, pemimpin perusahaan bersangkutan biasanya menyampaikan pidato yang membawa angin surga kepada karyawannya. Termasuk di antaranya, pernyataan bahwa bagi perusahaan, karyawan merupakan aset yang terpenting dan tak ternilai harganya. Tapi angin surga itu biasanya berhenti pada akhir pidato sang pemimpin. Hal serupa kurang lebih terjadi juga di dalam industri pers. Tidak banyak perusahaan pers yang memberi perhatian pada etika keselamatan jurnalis mereka.
Redaksi mengirim jurnalis mereka meliput daerah konflik dan lingkungan berbahaya tanpa atau kurang mempersiapkan jurnalis itu. Kematian Syaifullah dan Suherman adalah contoh nyata. Mereka meliput di lingkungan berbahaya –kapal yang sudah terbakar dan miring— tanpa jaket pelampung.
Ketika Aceh, Papua, Poso, Ambon, dsb. masih rusuh, sejumlah jurnalis dikirim ke sana tanpa pernah mengikuti program pelatihan keselamatan kerja di daerah konflik atau bencana. Juga boleh dikata tidak seorangpun yang dilengkapi dengan body armor (jaket tahan peluru/tahan tikaman, helmet atau bump cap), dan berbagai vaksinasi. Salah satu akibatnya, dua wartawan RCTI jadi korban: satu meninggal karena peluru, yang lainnya berbulan-bulan disandera GAM.
Banyak jurnalis dikirim ke wilayah bencana, lingkungan tidak bersahabat, rawan malaria, tanpa kewajiban minum obat malaria sedikitnya tiga hari sebelum berangkat, misalnya; atau yang meliput di daerah virus flu burung (H5N1) tanpa diperlengkapi dengan masker memadai. Program pelatihan ini lazim disebut Hostile Environment and First-Aid Assessment Training (HEFAT).
Pemilu di Timor Leste
Pemilihan presiden di Timor Leste akan berlangsung tgl. 4 – 11 April, dan bisa dipastikan sejumlah media besar Indonesia akan mengirim jurnalis dan tim televisi mereka ke sana. Pertanyaan etis yang perlu dijawab para pengelola media sekarang, adalah apakah mereka akan mengirim jurnalis dan jurukamera mereka ke Timor Leste tanpa pelatihan dan perlengkapan keselamatan jiwa yang mereka perlukan? Negeri itu sedang dalam konflik, dan mungkin sekali akan dilanda kerusuhan menjelang, ketika atau sesudah pemilihan presiden.
Masih ada waktu bagi para pengelola media untuk memberi pelatihan HEFAT kepada para wartawan sebelum mengirim mereka ke Timor Leste. Jurnalis lebih berguna bagi perusahaan dan bermanfaat bagi publik bila dia pulang dalam keadaan hidup.
Seorang rekan dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), pernah mengeluh kepada penulis bahwa program cuma-cuma untuk pelatihan HEFAT yang diadakannya dengan bantuan sebuah lembaga asing, mendapat sambutan dingin dari industri pertelevisian. Tampaknya kurang sekali kesadaran dari pimpinan perusahaan media untuk memberikan pelatihan keselamatan bagi jurnalis mereka, pada hal, pelatihan itu biasanya hanya antara satu sampai lima hari; bergantung pelatihan yang dikehendaki. Alasan mereka: Tidak ada tenaga yang bisa ikut HEFAT.
Kelihatannya banyak pemimpin perusahaan media berfikir seperti pengendara-pengendara sepeda motor yang tak mau membeli helm dengan alasan harga helm mahal. Mereka tak berpikir bahwa harga kepala mereka jauh lebih mahal dibanding sebuah helm. Nyawa jurnalis tak ternilai harganya.
HEFAT
Program singkat HEFAT mencakup antara lain:
- Persiapan sebelum berangkat: passport, visa, vaksinasi, tiket pesawat keluar masuk, pemesanan kamar hotel, jalur keluar alternatif; perlengkapan yang harus dibawa, dsb;
- Pengetahuan luas mengenai petabumi politik di negara bersangkutan: nama pemimpin kelompok-kelompok yang bertikai, daerah kekuasaan, kekuatan militer dan politik organisasi-organisasi pendukung mereka;
- Pelatihan P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan); Instruktur TOR International mengingatkan: P3K yang menyelamatkan nyawa, bukan life support;
- Cara untuk keluar bila terjebak di dalam arus demonstran yang sedang marah; ke mana berlindung dari molotov cocktail (bom molotov); pakaian pelindung yang diperlukan; di mana harus bekerja ketika tidak boleh ada lampu menyala di dalam hotel; apa yang harus dilakukan bila terjadi kebakaran dengan asap tebal di dalam hotel;
- Alat komunikasi kecil: radio (H/p biasanya tidak berguna karena operator diduduki);
- Bila diculik, mata ditutup: jangan lupa menghitung langkah (120 langkah = 100 m), belok kiri, kanan; kapan mengalah, tidak melawan, berusaha berbaik-baik denga para penculik; kapan menantang mata penculik;
- Memperhatikan arah gelembung udara untuk mencapai permukaan ketika tenggelam di dalam gelap;
- Kemana berlindung ketika terjebak di dalam gedung saat gempa, dsb.
Perusahaan media mempunyai kewajiban etis untuk menugaskan wartawan mereka mengikuti HEFAT sebelum boleh meliput wilayah tak bersahabat dengan sanksi hukuman terhadap yang melanggar. Juga sanksi terhadap yang tidak disiplin menjalankan apa yang mereka pelajari dalam HEFAT.
Cardinal Rules
Di dalam jurnalisme ada aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar, cardinal rules, termasuk, no news worth your life, tak ada berita yang nilainya sama dengan harga nyawamu. Sebuah peringatan bagi wartawan yang bekerja dengan penuh dedikasi sehingga mengabaikan atau tidak tahu tentang hak-hak mereka. Termasuk di sini hak jurnalis dan kewajiban etis perusahan untuk memberikan pelatihan keselamatan kerja serta menyediakan semua peralatan yang dibutuhkan ketika wartawan meliput di lingkungan berbahaya.
Dikirim untuk meliput di daerah konflik merupakan kebanggaan tersendiri bagi wartawan. Umumnya mereka berangkat dengan pengetahuan sangat minim mengenai persiapan yang harus mereka lakukan dan jalan keluar dari wilayah itu bila keadaan berubah menjadi sangat buruk.
Jadi sudah waktunya perusahaan media memberikan pelatihan HEFAT bagi wartawan dan jurukamera mereka sebelum meliput di daerah konflik/bencana. Ini merupakan kewajiban etis perusahaan media. Ini jelas pekerjaan rumah yang sangat mendesak bagi orgasnisasi-organisasi wartawan, pimpinan perusahaan dan asosiasi media serta Dewan Pers.
Masyarakat pers dan organsiasi jurnalis sekarang perlu memastikan bahwa wartawan Indonesia yang dikirim ke Timor Leste nanti, misalnya, sudah mengikuti HEFAT; diperlengkapi dengan body armor dan makanan/minuman yang diperlukan dan sudah memperoleh berbagai vaksinasi. Begitu pula dengan asuransi bagi wartawan, kesehatan, hospitalization dan jiwa mereka.**
Abdullah Alamudi adalah Ketua Komisi Pengaduan, Dewan Pers; Direktur Program Public Relations, Lembaga Pers Dr. Soetomo; Ketua Umum Institut Pengembangan Media Lokal; Pemimpin Redaksi Perskita.
(opini ini dimuat di buletin ETIKA Dewan Pers edisi Maret 2007)