Saatnya Menggunakan Hak Jawab

Saatnya Menggunakan Hak Jawab
05 Juli 2007 | Administrator

Oleh Wikrama I Abidin
Anggota Dewan Pers

I
Satu lagi kasus gugatan pengusaha terhadap pers kandas di tingkat kasasi. Mahkamah Agung (MA) RI membatalkan gugatan Marimutu Sinivasan (MS) terhadap Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Bambang Harymurti (BHM), (KOMPAS, 17 Maret 2007). Alasan MA, konglomerat tekstil itu tidak menggunakan hak jawab.

 

BHM juga pernah dituntut pengusaha Tomy Winata (TW) karena menulis ADA TOMY DI TANABANG. Gugatan TW juga kalah di tingkat kasasi dengan alasan yang nyaris sama, kasus pers adalah lex specialis. Kasus pencemaran nama baik akibat pemberitaan pers, ya diselesaikan melalui hak jawab.

Akankah putusan MA itu mengubah sikap masyarakat dan penegak hukum? Insan pers, untuk sementara boleh lepas dari mimpi buruk dari kriminalisasi kasus pers. Apalagi jika putusan kasasi itu membuat penggugat kapok melakukan upaya balas dendam lewat jalur meja hijau. Begitu juga halnya, jika penegak hukum tidak ragu menerapkan ketentuan hukum dan perundang-undangan tentang pers.

Efektifitas lex specialist hukum pers, berpulang pada sikap penegak hukum dan masyarakat. Artinya, apakah kedua putusan MA tadi akan dijadikan yurisprudensi atau tidak. Begitu juga masyarakat, jerakah memejahijaukan insan pers? Dari kedua kasus itu, sepatutnya mereka akan memilih mekanisme hak jawab yang lebih mudah, cepat dan lebih beradab. Cuma persoalannya tak sesederhana itu.

II
Coba simak mengapa masyarakat enggan menggunakan hak jawab. Hal ini ada tali temalinya dengan kekecewaan terhadap tidak seimbangnya hak jawab yang diberikan katimbang dampak pencemaran yang ditimbulkan. Selain itu ada juga keluhan soal waktu  pemuatannya yang tidak seketika, sehingga keburu basi dan dinilai tidak efektif.

Masuk akal dalam situasi seperti itu jika tokoh masyarakat yang tersengat berita pencemaran nama baik tidak puas dan kian mendendam. Pilihannya pun akan jatuh pada sikap, ya sudahlah lupakan saja hak jawab.

Sikap rendahnhya pemahaman praktisi pers di dalam melayani hak jawab di atas, terkesan luar biasa bila dikaitkan dengan kerasnya sanksi hukum bagi pelanggarnya. Undang-Undang (UU) Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers, padahal mewajibkan pers melayani hak jawab. Ancamannya, pidana denda Rp 500 juta jika dilanggar. Kode Etik Jurnalistik (KEJ), juga mengharuskan pers memberikan hak jawab proporsional. Cuma, pelanggar KEJ tidak ada ganjaran pidana atau perdata.

Bisa dibayangkan, kalau mekanisme hak jawab dilanggar, dan dikenakan sanksi maksimal, tak sedikit penerbitan pers yang gulung tikar. Apalagi media yang sudah sakit parah atau menunggu ajal. Cuma anehnya, sanksi keras itu tidak juga membuat sebagian besar praktisi pers takut.

III
Perilaku nakal sebagian komunitas pers di atas, mungkin ada kaitannya dengan mitos sesat, kemerdekaan pers identik dengan kebal hukum. Hal ini diperparah lagi oleh realitas kebangkrutan ekonomi dan realitas sosiologis penyakit korup masyarakat. Sulitnya mendapatkan pekerjaan, longgarnya pintu masuk komunitas pers, pasti menjadi pemicunya. Pers kemudian dijadikan alat penekan dan tawar menawar dengan masyarakat, pejabat, politisi dan bahkan penegak hukum yang korup.

Sebab, seperti judul sebuah nyanyian, mungkin bisa diplesetkan jadi Wartawan Juga Manusia. Atau judul lagu dangdut lainnya juga bisa dijadikan advokasi, Tak Semua Wartawan (Lelaki) menceburkan dirinya dalam realitas masyarakat korup. Membuktikannya gampang saja. Cobalah tengok dan simak, hampir semua talking news yang muncul di media elektronik dan cetak, akan berbau amplop dari kantong pengusaha, politisi dan pejabat, bahkan termasuk penegak hukum, yang dapat diduga juga korup.

Penegak hukum menyuap wartawan? Seorang hakim senior beberapa hari silam mengeluh pada penulis, sekarang ini di pengadilan tempatnya bekerja mesti menyiapkan dana mingguan untuk wartawan. Padahal, di antara mereka itu sebagian besar adalah wartawan Cuma Nanya-Nanya (CNN), namun berita dan medianya tidak pernah ada. Mudah ditebak, wartawan CNN, pasti bukan wartawan, karena tidak melakukan kegiatan jurnalistik secara teratur, mencari, mengumpulkan, menulis dan mempublikasikannya. Mestinya mereka ditangkap, dituntut dan diadili. Nyatanya, mereka malah dipelihara. Inilah potret ironis dunia penegakan hukum negeri ini.

Apa artinya realitas di atas bagi penegakan hak jawab? Putusan kasasi pro hak jawab, memang bukan segala-galanya. Efektifitas hak jawab, terkait dengan tali temali, realitas komunitas pers, masyarakat dan sistem penegakan hukum yang korup. Data Dewan Pers menyebutkan, dari 20.750 orang wartawan yang ada, 70 persen bekerja pada media yang sakit dan menunggu ajal. Gaji mereka, di bawah Rp 1 juta, bahkan tak sedikit yang bermodalkan kartu pers tanpa dibekali kompetensi dan standar profesi. Bukan mustahil, wartawan CNN inilah yang bergentayangan di tengah kita, mencoreng nama baik pers, namun bercengkerama mesra dengan masyarakat, pengusaha dan penegak hukum korup.

Muncul persoalan kemudian, jika realitas di atas dikaitkan dengan praktik peradilan di tingkat kasasi. Kasus suap Probosutedjo dan penyelidikan KPK yang super keras terhadap Ketua MA Bagir Manan, agaknya bisa dijadikan indikator. Bukankah gejala mafia peradilan alias gejala korupsi juga bersarang di situ? Di mata publik, kini jadi pertanyaan, mengapa kasus tersebut bagai tenggelam ditelan gelombang? Masuk akal kalau putusan kasasi MA tentang kedua kasus pers di atas, terbelah dua. Pertama, bagi yang optimistik yakin hak jawab akan efektif digunakan. Kedua, yang pesimistik dan kritis, bertanya-tanya, bukankah ini cuma siasat public relations memulihkan isu korupsi di peradilan tertinggi itu? Penulis, bersikap optimistik. Sudah waktunya hak jawab digunakan. Alasannya, hak jawab itu hak asasi, sekaligus alat kontrol publik tempat insan pers berjuang dan menumpang hidup. Menggunakan hak jawab, praktis, murah dan mungkin lebih beradab. Putusan MA patut didukung dan diacungkan jempol.