Etika Pers: Problem Ekonomi, Politik, dan Budaya Media Cetak Yogyakarta

Etika Pers: Problem Ekonomi, Politik, dan Budaya Media Cetak Yogyakarta
18 Juli 2007 | Administrator

Oleh Lukas S Ispandriarno
Dosen Atma Jaya Yogyakarta

Rendah atau buruknya etika media televisi telah berulangkali disuarakan beragam pihak, termasuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan Daerah (KPID), tapi minim perbaikan. Media televisi memang begitu perkasa (powerful) , apalagi ditambah dukungan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Peraturan Pemerintah Nomor 49, 50, 51 dan 52 tahun 2005 yang antara lain mengukuhkan kembali posisi mereka sebagai ”televisi nasional”. Keperkasaan televisi nasional rupanya memancing  keinginan media cetak lokal untuk ikut-ikutan menjadi perkasa. Media lokal dipacu untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan memberi porsi besar pada kepentingan ekonomi pemilik maupun pebisnis. Akibatnya,  perhatian pada peran sebagai saluran informasi pemberdaya publik ”dinomorduakan”. Situasi ini menyiratkan  kurang terjaminnya hak publik untuk memperoleh informasi yang benar karena  pertarungan kepentingan dalam  politik, ekonomi, atau budaya (Haryatmoko, 2007). Di sudut lain, elemen-elemen masyarakat berbudaya Yogyakarta seperti kalangan terpelajar, sekolah dan kampus, kurang menaruh kepedulian padanya.
Kondisi tak sehat ini dapat membuat gatal tangan penguasa untuk berupaya melakukan revisi atas Undang Undang Pers No 40 tahun 1999 yang sangat fenomenal menjadi tonggak kemerdekaan pers pasca Soeharto. Upaya itu telah muncul setidaknya pada bulan Desember 2003 ketika Pemerintah dan DPR menyepakati Amandemen UU Pers (Tempo, 2/12/03). Atmakusumah Astraatmadja, mantan Ketua Dewan Pers dan salah satu perintis UU Pers memandang upaya pengaturan cara penyiaran hak jawab dan hak koreksi seperti tengah dilakukan para Penyusun Rancangan Perubahan UU Pers baru-baru ini adalah melanggar independensi wartawan (Kompas, 26/6/07).
Strategi ”mengikatkan” Kode Etik Wartawan Indonesia ke dalam UU Pers memang menjadi salah satu perdebatan di kalangan pendukung kebebasan pers. Di satu pihak langkah ini  dimaksudkan agar etika benar-benar ”menyatu” dengan para jurnalis saat menaati UU Pers. Di pihak lain, hukum dan etika memang beda. Vivian (1995) mengatakan bahwa etika adalah hal pribadi yang mengaitkan secara dekat dengan suara hati sehingga lebih membatasi, sedangkan hukum membolehkan seorang pekerja media massa melakukan banyak hal.
Namun upaya untuk secara konsisten menginternalisasikan etika jurnalistik di kalangan para jurnalis seperti, menyepakati normative ethics berupa  Kode Etik Jurnalistik 2006, layak mendapat apresiasi. Semestinya, KEJ 2006 juga merupakan rujukan prinsip moral dan pikiran rasional para profesional media dalam memutuskan untuk tidak melanggar hukum sekaligus tidak melanggar etika (applied ethics).Etika memang merefleksikan sebuah gagasan budaya tentang benar atau salah yang hadir pada semua tingkatan kebudayaan.

 

Iklan yang Menggiurkan
Media lokal Yogyakarta terbagi ke dalam kategori media umum yang diterbitkan (dan dilahirkan) di Yogyakarta, seperti Bernas Jogja dan Kedaulatan Rakyat (KR), termasuk media lokal yang merupakan anak kandung terbitan nasional yang berinduk di Jakarta atau Surabaya seperti Kompas Yogyakarta sebagai bagian dari Kompas dan Radar Jogja sebagai bagian dari Jawa Pos.  Kategori lain muncul ketika KR melebarkan sayap bisnisnya dengan menerbitkan media kriminal Merapi sedangkan Jawa Pos melahirkan Meteor yang juga beredar di Yogyakarta yaitu Meteor Jogja. Dalam referensi akademik kedua terakhir tergolong sebagai  koran kuning (yellow newspaper) yang mempraktikkan yellow journalism (1). Dalam diskusi ini semuanya disebut ”koran lokal”.
Masing-masing koran lokal memiliki jumlah halaman yang berbeda, paling banyak adalah KR yaitu  24, kadang 28 atau 32 halaman. Meteor dan Merapi (12), Bernas Jogja termasuk Bernas Magelang (12), Radar Jogja dan Kompas Yogyakarta masing-masing 8 halaman. Kompas sering menyisipkan tambahan 2-4 halaman iklan. Usia, pengalaman, manajemen, dan kepiawaian  berbisnis membuat masing-masing media memiliki jumlah (halaman) iklan yang beragam. KR tetap menduduki posisi tertinggi dengan jumlah total 9-9,5 halaman iklan, Bernas dan Kompas (masing-masing 3-3,5), Radar (2-3), Meteor (2), Merapi (1-1,5). Perhitungan ini merupakan hasil penjumlahan dari iklan yang terdapat di halaman yang terpisah-pisah sehingga totalnya tidak bulat. Dari data ini terlihat bahwa halaman iklan telah memakan, karena telah memberi makan, minimal sepertiga dari total halaman. Sebagai misal, Kompas yang terbit 8 atau 10 halaman, sebanyak 3-3,5 halamannya disediakan untuk bisnis. Dari 24 halaman KR, lebih dari 9 halamannya dibeli pengiklan. Walau pun hanya mendapatkan 1 halaman iklan namun Merapi punya induk yang gemuk yaitu KR.
Selain ruangan yang secara khusus disediakan untuk iklan, media lokal juga masih berstrategi dengan menyediakan ”rubrik” khas seperti Metro Bisnis,  Expo, Selular (Bernas), Exbis, Sains-Teknologi-Otomotif, Info Kafe&Resto (KR),  Pasugatan (Kompas), Komunikasi Bisnis (Radar). Dalam berbagai rubrik itu, kadang tidak jelas benar, apakah itu  berita atau berita bercampur iklan, atau iklan namun juga berita  (advertorial),  atau memang benar-benar iklan. Pasalnya, tidak ada tanda advertorial (adv) di sana. Lagi pula, dalam  berita bercampur iklan itu terdapat inisial penulisnya (2). Khalayak pembaca barangkali tidak ambil peduli dengan jenis “berita bisnis” seperti itu, namun pertanyaan patut dilayangkan kepada pengelola media tersebut, adakah uang yang masuk dari “sumber berita”? (Pasal 6 KEJ).
Perolehan dari iklan tentu menjadi modal utama yang menggeliatkan kehidupan media lokal, karena itu, iklan yang ”menggiurkan” merupakan sebuah strategi jitu. Bagi koran kuning seperti Meteor atau Merapi, iklan seks sepertinya oke-oke saja. Iklan Pengobatan Tradisional, Ibu Dewi Pembayun, Mak Eroh, Mak Erot, Telepon Asik, Obat Seks (Merapi), tawaran ”wanita cantik” dengan tajuk Play girl club, Les Cinta, Sumuk Cinta, Jalur Khusus Pecinta Tante2, Hot dan Pasti  Menantang, lengkap dengan  foto dan  nomor telepon (Meteor) muncul hampir setiap hari. Tapi koran umum seperti KR dan Radar ternyata juga terperosok dalam gaya korang kuning dengan menampilkan reklame sejenis seperti, iklan ”obat” yang berkaitan dengan aktivitas seks: viagra, juga  sex toys, serta ”ahli” alternatif  alat vital  Mak Erot (KR), Jamu Lelaki Prima: Alami, Aman & Terbukti Keras dan Kuat Ereksi (Radar Jogja). Tampaknya koran kuning yang diterbitkannya belum mencukupi sehingga para pengiklan masih mengejar daya jangkau (tiras) media induknya.
Iklan-iklan seperti itu tidak layak diterbitkan oleh media umum. Landasan moral dan etika seperti apakah yang menjadi rujukannya? Apakah media telah mempertimbangkan khalayak muda atau bahkan anak-anak setingkat Sekolah Dasar? Pemilik koran hanya mementingkan ”nafsu” kaum laki-laki? (Pasal 4 KEJ). Bagaimana mungkin koran seperti ini dijadikan bahan atau sumber pembelajaran di sekolah-sekolah dan beredar di pedesaan?

”Bahasa koran”
Masyarakat  awam acapkali menempatkan koran pada posisi miring. Misalnya ketika harga kebutuhan pokok melambung dan pemerintah berusaha mengendalikannya dengan melakukan operasi pasar (OP). Dalam praktik, OP sering salah sasaran dan harga tetap melambung. Muncullah celetukan ”Itu kan (harga) menurut Koran. Beli saja di Koran!”. Pada sisi yang lain, koran sendiri menempatkan dirinya pada posisi yang seolah-olah merupakan cermin dari masyarakat, menggunakan ”bahasa masyarakat”. Istilah ”dimassa”dalam judul ”Gagal Merampok, Babak Belur Dimassa” (Radar Jogja, 31/3/07) dan ”Bobol Warung, Dimassa” (Bernas Jogja, 16/6/07) menurut kaidah berbahasa Indonesia jelas keliru. ”Massa” bukanlah kata kerja. Boleh jadi, istilah ini memang muncul dari masyarakat  yang menjadi saksi (narasumber) di  tempat kejadian, bisa juga datang dari narasumber lain yaitu aparat penegak hukum, atau ciptaan sang jurnalis.
Kelihatannya sangat sederhana, namun inilah salah satu cermin budaya sejumlah media. Bahasa sebagai unsur budaya dan menjadi faktor utama di media massa kurang mendapat perhatian dari pemilik atau pimpinan redaksi. Para redaktur tentu memiliki pengalaman kebahasaan yang lebih jauh, meski tidak berarti lebih baik (benar). Cara profesional untuk mengatasi problem ini adalah  dengan memiliki editor bahasa. Tak punya dana untuk membayar editor bahasa? Cara lain adalah  memberikan pelatihan-pelatihan bagi calon jurnalisnya, termasuk latihan berbahasa Indonesia dengan benar. Inilah sebenarnya salah satu misi yang harus dilakukan organisasi jurnalis.

Politik lokal, media lokal
Otonomi daerah telah memberikan kedudukan ”kuat” bagi politisi lokal, pejabat eksekutif (gubernur, bupati, walikota), legislatif (dewan provinsi, kota dan kabupaten), maupun lembaga yudisial (aparat peradilan). Mereka seolah tidak tersentuh oleh tekanan-tekanan yang datang dari masyarakat (konstituen). Mereka yang telah dipilih rakyat lalu berpegangan erat-erat pada partainya, bukan pada rakyat, sebab mereka telah meneken kontrak dengan partai politik, termasuk setoran uang.
Sebenarnya media lokal memiliki posisi dan peran strategis untuk betul-betul menjadi pilar keempat (the fourth estate). Tapi peran ini belum dijalankan secara maksimal. Ada posisi semacam patron and client antara politisi (misalnya bupati) dengan jurnalis atau media. Secara struktural lembaga eksekutif (misalnya pemerintah kabupaten dan kota) masih menyediakan anggaran untuk media. Ini menciptakan relasi ketergantungan  antara media dengan narasumber. Di negeri tetangga, Filipina, konsekuensi lebih jauh dari relasi ini adalah ketika jurnalis dibeli dengan uang segar oleh para politisi dan pebisnis (Florentino-Hofilena dalam Gloria, 2000). Pasca tumbangnya Marcos, korupsi di tubuh pers justru makin kental dan lebih sistematik. Menurut studi ini:’It is also disturbingly creative and difficult to detect. Transactions have become more sophisticated, and in some cases, even institutionalized’ (hlm.195). Di negeri sendiri, perang melawan jurnalisme amplop tampaknya belum juga  mendekati titik akhir.
Goyahnya sikap independen (Pasal 1 KEJ) dan konsistensi media terbaca dalam pemberitaan kasus Korupsi Pengadaan Buku Paket di Dinas Pendidikan Sleman. Media lokal Kompas dan Radar yang gencar memberitakannya sejak Mei 2005 namun kemudian menghentikannya. Setelah keluar izin Presiden untuk pemeriksaan Bupati Sleman, media kembali bersemangat mengabarkannya, termasuk Radar. Namun akhirnya Radar Jogja harus menyetopnya cukup lama sehingga sejumlah komunitas warga dan pendidik berkirim surat kepada Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta. Sementara itu, media yang masih terus meliput sidang pengadilan dua tersangka, Muhdori Masuko Haryono dan Muchamad Bachrun, jatuh pada budaya ewuh pekewuh ketika harus menuliskan nama saksi Bupati Sleman, Ibnu Subiyanto. Meski menulis judul ”Dua Saksi Kembali Mangkir” namun isi berita harian Bernas ini tak sedikitpun menuliskan siapa kedua saksi itu. Lead beritanya berbunyi:”Sidang lanjutan kasus pengadaan buku BP di Sleman untuk tersangka Drs MB kembali digelar dengan agenda pemeriksaan tiga orang saksi. Namun dua dari tiga saksi kembali mangkir tidak menghadisi sidang” (Bernas Jogja, 13/4/07). Harian KR malah tidak memuat berita kedatangan anggota Jaringan Pemantau Peradilan Yogyakarta (JPPY) ke kantor sementara Kejaksaan Tinggi DIY yang meminta adanya pemanggilan paksa terhadap saksi (Kompas, 12/4/07). Kolom 3-5 di halaman satu bawah yang kadang memuat berita korupsi buku di Sleman diisi berita terungkapnya ”Warnet Pornografi” (KR, 12/4/07).
Kedekatan relasi media dengan pejabat lokal telah mencederai komitmen dan independensi media untuk  bersikap kritis dan menyalurkan informasi yang benar. Kenyataan ini mendorong munculnya sejumlah pertanyaan: Hati nurani siapakah yang tercermin dalam berita itu? Hati nurani jurnalis, redaktur, atau pemilik media? Tekanan macam apa yang membuat Radar menghentikan pemberitaan? Mengapa KR tidak memberitakan aksi JPPY?

Pemilik dan Redaktur sebagai Agen Moral?
Ada kecenderungan umum media cetak lokal memberi porsi lumayan besar pada kepentingan pemilik dan pemodal sambil ”melupakan” pemberdayaan publik. Meski sudah memiliki kolom-kolom iklan, namun strategi ”berita iklan” masih dilakukan. Iklan-iklan ”seks” tidak selayaknya dimuat mengingat di antara khalayak umum di kota Yogyakarta  adalah para pelajar tingkat dasar hingga menengah. Mereka seharusnya dapat memanfaatkan koran sebagai sumber belajar bila koran dikelola secara profesional, etis, berbudaya. Dalam pemberitaan kasus korupsi pengadaan buku di Kabupaten Sleman, posisi jurnalis terjepit di antara pemilik dan  politisi lokal. Problem ini dapat diatasi bila pemilik media mengangkat sejumlah orang sebagai ombudsman. Demi profesionalisme dan kredibilitas media lokal, kehadiran ombudsman adalah keniscayaan.  
Dalam menerapkan etika, orang yang membuat keputusan disebut agen moral. Namun dapatkah pemilik dan  redaktur koran lokal menjadi agen moral? Bukankah pemilik lebih suka menikmati keperkasaannya sebab  tak seorang pun, termasuk Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), dapat menyentuhnya?  Kokohnya tonggak kemerdekaan pers yang termuat dalam UU Pers No 40 tahun 1999 dapat memancing tangan-tangan kekuasaan untuk melakukan revisi yang berujung pada lenyapnya kemerdekaan pers. Oleh karena itu penetapan KEJ justru merupakan titik awal dari kinerja panjang  media secara profesional. KEJ juga selayaknya diikuti dengan  berbagai upaya meningkatkan kualitas jurnalis seperti pemahaman  metaetika, normative ethics maupun applied ethics. KEJ merupakan praktik self regulation, bila tidak ingin diintervensi kekuasaan.
Kunci memang ada pada kesungguhan pemilik media. Sekadar berbisnis atau menyelenggarakan media profesional. Profesionalisme media juga dibuktikan dengan dimilikinya editor bahasa, selain ombudsman. Kepedulian masyarakat terhadap berbagai pelanggaran media dapat mewujud dalam sosok ”Dewan Pers Daerah” yang juga  independen. Dengan demikian peran agen moral bukan hanya dimainkan para  jurnalis dan pengambil keputusan di media  tetapi juga masyarakat terpelajar. Dalam demokrasi yang bergantung pada komunikasi massa, mereka memainkan peran penting.

---,,---

Catatan Kaki:

(1)
Jurnalisme yang menekankan pada sensasi seks, kriminal, dan berita malapetaka; judul besar-besaran; penggambaran yang kasar; dan bergantung pada kartun serta berwarna-warni (Stanley J.Baran, Introduction to Mass Communication, Media Literacy and Culture, McGraw-Hill, New York, 2004, hlm. 109). Koran Merapi misalnya menuliskan empat kata di bawah namanya yaitu ”kriminal”, ”hukum”, ”sport”,  ”supranatural” dan secara visual halaman depannya memenuhi kriteria yang disebutkan Baran. Namun dalam diskusi tanggal 28 Juni itu Pemimpin Redaksi dan Redaksi Pelaksana Merapi tampak kurang berkenan dengan sebutan ini. Soemadi M Wonohito dalam sambutan ulang tahun ke-4 koran Merapi mengatakan:”..Karena itu pula isian Koran Merapi mengacu pada budaya lokal. Ini tercermin dari penyajian berita-berita kriminal dikemas dengan santun dan bijak, tanpa harus kehilangan kecerdasan dan kekritisannya” (Kedaulatan Rakyat, 10/6/07).

(2)
Radar Jogja misalnya menulis judul ”New Topsy Kenalkan Keriting Satelit” lengkap dengan foto seseorang yang sedang dikeriting di Salon New Topsy (Rubrik ”Komunikasi Bisnis”, 17/5/07). KR juga menampilkan tajuk “Polusi Udara-Salah Pilih Kosmetik” (baris pertama) ”Akibatkan Varises dan ’Kopros’ di Wajah (sub judul dengan cetak tebal). (Berita ”Sleman”, Kedaulatan Rakyat, 16/6/07). ”Pasugatan” adalah salah satu rubrik iklan milik Kompas yang kadang ditulis dengan huruf agak besar hitam putih, kadang dengan huruf lebih besar dan  berwarna. Namun judulnya bisa mengecoh misalnya ”Universitas Kristen Satya Wacana Hari Ini Mewisuda 483 Sarjana Baru” (Kompas, 12/5/07).

Daftar Pustaka:
Baran, S.J. 2004. Introduction to Mass Communication, Media Literacy and Culture. New York: McGraw-Hill.

Bernas Jogja, 13/4/07 dan 16/6/07.

Dewan Pers. 2006.Surat Keputusan Dewan Pers No.03/SK-DP/III/2006 tanggal 24 Maret 2006 tentang Kode Etik Jurnalistik.

Gloria, G.M. 2000. Media Asia, an Asian Mass Communication Quarterly  Volume 27 Number 4, pp. 191-196.

Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi.Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius.

Kedaulatan Rakyat, 12/4/07, 10/6/07, dan 16/6/07.

Kompas, 12/4/07, 12/5/07, dan 26/6/07.

Merapi, 23/6/07.

Meteor, 21/6/07.

Radar Jogja, 31/3/07, dan17/5/07

Tempo Interaktif, 2/12/03.

Vivian, J.1995. The Media of Mass Communication.Third edition. Needham Heights, Mass: A Simon & Schuster Company.

-----

Tulisan ini merupakan bahan diskusi dalam Lokakarya “Etika dan Perlindungan Pers” diselenggarakan oleh Dewan Pers di  Yogyakarta, 28 Juni 2007.

Lukas S Ispandriarno adalah Dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) dan Koordinator Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta.