Mati dan (Kemungkinan) Bangkitnya Si Penyebar Permusuhan

Mati dan (Kemungkinan) Bangkitnya Si Penyebar Permusuhan
07 Agustus 2007 | Administrator

Oleh Wina Armada Sukardi
Anggota dan Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers
“DIBUNUHNYA” ketentuan perundang-undangan penyebar permusuhan atawa popular dengan istilah haartzaai-artikel (pasal 154 dan 156) dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tidak hanya bermakna sekedar hilangnya pasal-pasal peninggalan kolonial itu dalam hukum positif Indonesia, tetapi lebih jauh lagi memberikan paradigma baru yang berbeda sama sekali di masa depan bagi kehidupan berekspresi pada umumnya dan kemerdekaan pers pada khususnya. Lenyapnya peraturan perundang-undangan ini menandai dibangunnya  fondamen baru dalam  konstruksi hukum kemerdekaan pers nasional.

 

Asal muasal sejarah “si penyebar permusuhan” ini dari British Indian Code Penal. Kemudian pemerintah kolonial Belanda mengadopsi untuk negari jajahan Hindia Belanda. Supaya nampak elegan, ketentuan ini pura-pura akan lebih dahulu juga diterapkan di Belanda sendiri. Ini hanya kedok saja. Maka mudah ditebak, tentu saja disana UU yang antidemokrasi itu serta merta ditolak mentah-mentah. Lalu, seperti rencana semula,  dibawa dan  diterapkanlah oleh pemerintah kolonial Belanda di tanah jajahan, Indonesia. Pasal-pasal permusuhan ini kala itu terutama ditujukan untuk mematikan para pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia seperti Douwes Deker, Budi  Utomo dan lain-lainya saat itu.

 

Supaya maksud pemerintah kolonial tercapai maka rumusan deliknya pun diubah menjadi lebih mudah untuk menjerat mangsanya. Kalau semula deliknya bersifat  materiil, artinya harus lebih dahulu  dibuktikan bahwa tindakan yang dituduhkan benar-benar telah menyebabkan timbulnya keresahan dan permusuhan di kalangan masyarakat, maka kemudian diubah menjadi delik formal. Maksudnya, dengan delik formal tidak perlu lagi dibuktikan apakah benar ada atau tidaknya rasa permusuhan yang diakibatkan oleh tindakan yang dituduhkan. Rumusannya dibuat menjadi seperti karet. Akibatnya bisa menjerat siapapun yang dituduh dengan pasal-pasal ini, apapun juga alasannya.

Walhasil dari zaman penjajahan sampai awal era reformasi pasal-pasal ini selalu memakan korban, termasuk di dunia pers. Hampir semua penguasa memakai ketentuan ini untuk menghajar lawan-lawanya yang berbeda pendirian dengan mereka. Banyak pers diberanggus dan para wartawan dibui. Pencabutan pasal-pasal permusuhan telah mengakhiri era semacam itu dan membangun suatu paradigma baru.

Apakah paradigma baru itu? Setidaknya ada empat hal:

Pertama, yang bersifat teknikal yuridis, dalam dunia perundang-undangan kita, khusus di bidang pidana, tidak boleh lagi dibuat lagi rumusan yang bersifat karet yang dapat menjerat siapapun juga dengan alasan apapun juga. Pembuatan UU harus merumuskan setiap peraturan dengan jelas, tegas dan limitif terhadap unsur yang dituduhkan. Perumusan yang bersifat karet di bidang pidana sudah terbukti bertentangan dengan konstitusi.

Kedua, yang lebih filosofis, ke depan dengan adanya keputusan MK ini, tidak boleh lagi ada peraturan perundang-undangan yang berisi pasal-pasal yang bertentangan prinsip-prinsip demokrasi. Segala bentuk perundang-undangan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi harus dinyatakan cacad hukum dan karena itu otomatis batal demi hukum. Semua UU yang menyumbat pipa demokrasi harus ditanggalkan.

Pemahaman ini sangat penting pula dalam konteks penyusunan berbagai rancangan undang-undang (RUU) yang ada saat ini. Hal ini terkait makna ketiga, yakni segala isi RUU yang bermuatan antidemokratis sejak adanya keputusan MK tersebut tidak boleh ada lagi karena bertentangan dengan konstitusi kita. Makanya perlu segera ditelusuri berbagai isi RUU yang masih menganut paradigma lama dan harus segera diganti.

Bukan rahasia umum lagi saat ini masih ada berbagai isi RUU yang bernuansa antidemokrasi. Simaklah isi RUU KUHP. Ada pasal-pasal yang sebenarnya tiada lain dan tiada bukan merupakan “copypaste” dari haartzaai-artikel yang justeru sudah dicabut oleh MK. Lebih hebat lagi, ternyata dibanding isi KUHP lama, ada pula isi RUU KUHP baru yang jauh lebih buruk lagi. Sebagai contoh marilah kita simak isi KUHP baru ini yang perumusannya dapat melar seperti karet yang seluas lautan:

“Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak katagori IV.” Dalam penjelasan pasal KUHP baru ini ditegaskan, “Yang dimaksud ‘menghina’ adalah perbuatan apapun (huruf tebal dari penulis)  yang menyerang nama baik atau martabat Presiden atau Wakil presiden di depan umum.”

Rumusan ini jiwanya adalah copypaste dari “jiwa” ketentuan haartzaai-artikel yang sudah “dibunuh” oleh MK. Walaupun dalam penjelasan RUU KUHP baru juga sempat diterangkan bahwa pasal ini tidak dimaksud untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda dengan yang dianut Presiden atau Wakil Presiden, tetapi dengan rumusan semacam ini tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pasal ini sudah menutup pintu untuk sebuah proses demokrasi. Kemerdekaan pers sudah dipasung.

Bagaimana kita mau berbeda dengan pandangan Presiden atau Wakil Presiden atau dapat mengiritik kebijakan mereka, kalau cara “apapun” dapat dikatagori untuk menghina. Dengan rumusan semacam ini jangankan berbeda dan mengeritik Presiden dan Wakil Presiden, mengeritik anjing atau burung piara Presiden atau Wakil Presiden saja sudah dapat dianggap menghina. Sebuah rumusan yang sangat karet dan formalitis yang “rohnya” sama seperti pasal-pasal permusuhan!

Tujuan utama digantinya KUHP lama dengan KUHP baru terutama untuk mengganti “jiwa” dan “semangat” KUHP lama yang sudah tidak cocok lagi dengan  tuntutan dan perkembangan zaman. KUHP lama masih dilandasi pemikiran abad ke 17 dan dibuat khusus untuk negeri jahahan. Jiwanya sangat otoriter karena menempatkan kepala negara dalam status “sakral.” Sehingga barang siapa berani mengeritik atau  berbeda pendapat terhadap kepala negara, sudah dianggap sebagai “penghinaan” dan karena itu pelakunya wajib dihukum seberat-beratnya. Hukuman itu akan bertambah berat kalau diterapkan kepada rakyat bangsa terjajah.

Jelas sekali muatan dalam KUHP baru yang “mengutip” pandangan seperti itu bukan hanya tidak mengandung paradigma pembaharuan hukum, tetapi sebaliknya merupakan langkah mundur dalam proses perkembangan demokrasi. Kalau kelak isi RUU KUHP yang seperti ini masih dibiarkan muncul maka itu artinya menjungkirbalikkan lagi paradigma baru yang baru saja lahir sejak adanya keputusan MK. Buntut-buntutnya pastilah akan mengekang kemerdekaan pers. Sepanjang masih ada rumusan seperti ini tidak mungkin pers dapat berkembang secara demokrasi. Kemerdekaan bakal sekarat dan mendekati ajalnya. Sebab cuma dengan dalih telah melanggar pasal menghina Presiden atau Wakil Presiden, apapun alasannya dan kenyataannya, pers dapat langsung digiring masuk penjara.

Ironis sekali!!

Keempat, dan ini tidak kalah pentingnya, matinya ketentuan tentang penyebaran kebencian dalam arti luas juga harus dimaknai adanya kebutuhan terhadap lahirnya ketentuan perundang-undangan yang melindungi kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Kini sudah saatnya bukan cuma membasmi semua perundang-undangan yang menjadi kanker demokrasi, tetapi juga sudah waktunya dilahirkan berbagai perundang-perundangan yang mampu melindungi demokrasi itu sendiri. Dibutuhkan UU yang mampu menjaga tegaknya demokrasi.**