Berita IPDN Melanggar Etika Privasi
10 Agustus 2007 | Administrator
Oleh Atmakusumah Astraatmadja
Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS)
Pemberitaan pers tentang skandal yang melibatkan mahasiswa atau praja, pengajar, dan pengasuh Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sudah sedemikian jauh sampai-sampai mulai melanggar etika pers tentang kehidupan pribadi atau privacy. Pelanggaran etika dalam pemberitaan masalah privasi atau privat di sekolah di Jatinangor, dekat Bandung, itu berawal dari pemecatan tiga mahasiswa yang dikabarkan melakukan ”hubungan intim” yang berakhir dengan aborsi.
Sangat sedikit dari media kita yang berusaha menghindari pelanggaran etika dalam pemberitaan masalah privasi di IPDN. Umpamanya, dengan hanya memberitakan bahwa ”IPDN mengeluarkan 12 mahasiswa karena pelanggaran disiplin selama tiga bulan terakhir, termasuk dua perempuan yang melakukan aborsi” tanpa menyiarkan nama dan foto mereka.
Sebaliknya, jauh lebih banyak media yang agaknya melupakan etika tentang masalah privasi. Pelanggaran etika dalam publikasi itu dimulai dari yang agak ringan sampai ke yang cukup berat sehingga perlu menjadi perhatian Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia.
Pelanggaran yang agak ringan dilakukan oleh media yang hanya menyebutkan inisial para pelaku aborsi. Atau, menyiarkan nama lengkap para mahasiswa yang diberhentikan, tetapi tidak secara khusus mengaitkan setiap mahasiswa dengan perbuatan masing-masing yang menyebabkan mereka dikeluarkan dari IPDN:
Pelanggaran yang cukup berat terjadi pada media yang mencantumkan nama lengkap para mahasiswa yang dilaporkan melakukan ”hubungan intim” di luar nikah dan aborsi. Pelanggaran yang sama beratnya dilakukan oleh sebuah surat kabar di Pekanbaru, misalnya, yang memuat foto-foto pengajar perempuan yang dikatakan ”sedang bermesraan” dengan mahasiswa laki-laki.
Yang mengejutkan adalah bahwa media arus utama (mainstream) yang bergengsi bahkan dapat melaporkan peristiwa di IPDN secara sensasional seperti ini: ”Seorang sumber di IPDN mengungkapkan bahwa ... [inisial subjek berita] sudah menggugurkan kandungannya. Selain itu, ada seorang praja tingkat empat, yakni ... [inisial subjek berita], yang dipecat dari IPDN karena kasus serupa. Bedanya, janin yang dikandung ... [inisial subjek berita], yang juga melakukan aborsi, adalah hasil hubungannya dengan seorang pria di luar kampus.”
Privasi dalam Jurnalisme
Karena dinyatakan melanggar peraturan IPDN, pertengahan Mei yang lalu tiga mahasiswa yang terlibat dalam ”hubungan intim” dan aborsi dikeluarkan dari institut itu bersama belasan mahasiswa lainnya yang mangkir selama dua minggu atau melakukan tindakan kekerasan. Pemecatan itu diumumkan secara terbuka dalam upacara yang diliput oleh pers.
Akan tetapi, dalam jurnalisme, informasi seperti ”hubungan intim” dan aborsi merupakan masalah privasi sepanjang dalam peristiwa itu tidak terjadi tindakan kekerasan. Dengan kata lain, peristiwa itu bukan kejahatan.
Dalam etika pers, aborsi juga termasuk dalam kategori perawatan kesehatan dan pengobatan, satu dari sedikitnya empat masalah pribadi yang dilindungi oleh kode etik jurnalistik. Tiga kategori lainnya adalah kelahiran, kematian, dan perkawinan—yang pemberitaannya sering harus memperoleh izin dari subjek berita yang bersangkutan atau dari keluarganya.
Karena itu, kemungkinan penyajian pemberitaannya dalam media dapat terbatas. Misalnya, tidak menyebutkan nama dan identitas lainnya dari subjek berita—termasuk foto, atau tidak mengungkapkan rincian informasi tentang apa yang dilakukan oleh subjek berita.
Kode etik jurnalistik kita yang baru mengatakan pada pasal 2 bahwa ”Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik” dan ”cara yang profesional” termasuk ”menghormati hak privasi.” Kode etik itu disepakati oleh 29 organisasi wartawan dan perusahaan pers dalam pertemuan di Jakarta pada 14 Maret 2006 dan dikukuhkan oleh Dewan Pers sepuluh hari kemudian, 24 Maret 2006.
Pelanggaran etika dalam pemberitaan masalah privasi, memang, sering terjadi dalam media kita. Pelanggaran ini sering pula dikeluhkan oleh baik subjek berita maupun publik yang merasa ”terganggu” oleh pemberitaan seperti itu. Hampir tidak ada diskusi dalam lokakarya jurnalistik, baik di Jakarta maupun di daerah, yang tidak menyinggung keluhan terhadap pelanggaran etika dalam pemberitaan masalah privasi.
Ada surat kabar arus utama di Jakarta yang berita-beritanya tentang ”hubungan intim” tidak menyebutkan identitas subjek berita. Tetapi, kecermatan ini hanya terjadi pada pemberitaan peristiwa privat yang terjadi di luar negeri, yang dikutip dari kantor berita internasional. Begitu surat kabar itu memberitakan peristiwa yang serupa di dalam negeri, nama lengkap subjek berita tetap dimunculkan. Ini berarti, redaksi surat kabar itu tidak memahami perlindungan kode etik jurnalistik bagi masalah privasi seperti yang dilakukan oleh pers internasional yang dikutipnya.
Pemberitaan tentang pasangan bukan suami-istri yang berkencan di Nanggroe Aceh Darussalam, yang di sana merupakan pelanggaran qanun khalwat sebagai peraturan pelaksanaan Syariah Islam, tidak jarang dipublikasikan di media—lengkap dengan nama dan foto mereka. Sejauh pengamatan selama ini, hanya ada satu tabloid mingguan yang samasekali tidak menyebutkan identitas pasangan kencan ketika memberitakan salah satu pasangan yang ditangkap oleh petugas syariah beberapa bulan yang lalu. Yang menarik adalah bahwa tabloid itu diterbitkan di Banda Aceh.*)
Peringatan Dewan Pers,
Komnas HAM, dan LBH
Dewan Pers pernah mengingatkan media tentang pelanggaran etika dalam pemberitaan peristiwa privat. Satu di antaranya adalah surat kabar di Palembang yang memuat laporan tentang sepasang murid sekolah menengah atas yang berkencan dan ”tertangkap basah” di semak-semak di belakang sebuah pabrik pupuk. Surat kabar itu bukan hanya memuat foto dan nama lengkap kedua subjek berita, melainkan juga menyebutkan nama kedua orang tua, alamat, dan nama sekolah mereka.
Tidak kurang dari pimpinan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta pernah pula risau dengan penayangan suasana privat oleh televisi. Ketika melaporkan kegiatan razia polisi yang mencari penjual dan pemakai ecstacy di sebuah hotel di Puncak, sekira 80 kilometer di selatan Jakarta, televisi menayangkan penggerebekan para remaja yang sedang berkencan.
Marzuki Darusman, waktu itu wakil ketua Komnas HAM, dan Luhut M.P. Pangaribuan, waktu itu direktur LBH Jakarta, menyarankan agar razia polisi tidak mengganggu hak privat penduduk. Pangaribuan menyaksikan di layar televisi ”bagaimana wanita dengan selimut handuk berupaya bersembunyi dari kamera yang terus mengejarnya. Cara seperti ini amat memprihatinkan dan merupakan pelanggaran HAM yang berat serta merendahkan martabat manusia.”
Pelanggaran etika juga terjadi pada kebiasaan media kita menambahkan kata-kata yang berbau opini murni dari penulis laporan dalam pemberitaan masalah privasi. Umpamanya, menyelipkan ungkapan beropini seperti dalam kalimat ”mantan suami-istri berbuat mesum di taman,” ”perbuatan maksiat,” dan ”perilaku tidak senonoh.”
Kata-kata seperti itu dapat dikategorikan sebagai ”opini yang menghakimi” (judgmental opinion), yang dilarang oleh pasal 3 Kode Etik Jurnalistik 2006. Pasal itu menyerukan agar ”Wartawan Indonesia selalu ... tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi....”
---,,---
*) Ketika dilakukan pengecekan oleh penulis artikel ini kepada redaksi tabloid mingguan tersebut, setelah tulisan ini dimuat di harian Kompas 14 Juli 2007, ternyata tidak dimuatnya identitas subjek berita dalam masalah privasi bukan berdasarkan kebijakan redaksi. Tetapi, karena identitas tersangka pelanggaran qanun khalwat (peraturan tentang perilaku asusila) dalam kasus ini tidak diumumkan oleh instansi-instansi penegak hukum yang memproses perkara ini. Dengan demikian, redaksi tabloid mingguan yang diterbitkan di Banda Aceh itu agaknya juga tidak memahami pembatasan kode etik jurnalistik terhadap pemberitaan tentang masalah dan peristiwa privasi.