Pers Membangun Wawasan Kebangsaan

Pers Membangun Wawasan Kebangsaan
10 September 2007 | Administrator

Oleh Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA
Ketua Dewan Pers
Topik wawasan kebangsaan terkait dengan pers seringkali mengundang sinisme, mengingat sering disalah-persepsikan sebagai upaya mengedepankan jargon right or wrong is my country. Wawasan kebangsaan sering direduksi menjadi rasa kebanggaan yang berlebihan terhadap bangsa dan kecenderungan chauvinism atau jingoism, satu sikap loyalitas buta yang berlebihan terhadap bangsa. Sikap-sikap semacam itu bertolak belakang dengan nilai-nilai yang diemban oleh pers, yang selalu mengedepankan sikap kritis dan skeptis terhadap apapun, termasuk dalam soal kebangsaan.

 

Padahal, wawasan kebangsaan, sejauh hal itu adalah wacana normatif sebagai rumusan visi dan misi satu bangsa, merupakan aspek penting bagi arah pembangunan suatu bangsa. Wawasan kebangsaan penting bagi masyarakat sejauh tidak sekadar menjadi jargon untuk membangkitkan semangat nasionalisme —khususnya tidak hanya sekadar menjadi slogan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan (17 Agustus) atau hari Kebangkitan Nasional (20 Mei).

 

Konteks wawasan kebangsaan sangat relevan dikemukakan untuk menghadapkan antara idealita dan realita bernegara; mengidentifikasi sejauh mana perkembangan kemajuan bangsa; serta untuk mengevaluasi kinerja masyarakat dan pembangunan dalam kaitan perbandingan dengan masyarakat bangsa lainnya. Wawasan kebangsaan merupakan cetak biru yang menjadi tujuan dan penentu arah perjalanan bangsa, sebagaimana termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945.

Menonjolnya semangat desentralisasi yang muncul pada era Reformasi, sebagai satu keniscayaan dari proses demokrasi, sering diterjemahkan sebagai ancaman terhadap disintegrasi bangsa. Itu sebabnya kemudian muncul gagasan adanya jurnalisme atau pers “berwawasan kebangsaan”, suatu bentuk jurnalisme yang  mengemas informasi dengan mengedepankan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Pers berwawasan kebangsaan adalah frasa yang redundan, karena pers yang menjalankan prinsip-prinsip jurnalisme profesional dan menegakkan etika dengan sendirinya mengedepankan kepentingan masyarakat dan bangsa —tanpa harus diembel-embeli dengan istilah “berwawasan kebangsaan”.

Kekhawatiran sebagian kalangan terhadap cara pers memberitakan konflik, yang sempat mendera sejumlah wilayah di Indonesia, seolah semakin menegaskan pentingnya pers memiliki “wawasan kebangsaan”.  Padahal kelemahan sejumlah pers mewartakan konflik lebih merupakan kegagalan memahami dan menerapkan prinsip jurnalisme dan etika, bukan karena memudarnya wawasan kebangsaan. Persoalan kelemahan tersebut dapat ditangani dengan pelatihan pers, atau jika perlu dengan penegakan hukum terhadap pers yang kebablasan. Pers profesional dengan sendirinya akan menempatkan kepentingan bangsa dalam memberitakan tentang konflik, dalam hal ini mengajak masyarakat waspada dan mencegah agar konflik tidak meluas.

Kebebasan pers tidak sepatutnya dipertentangkan dengan wawasan kebangsaan, misalnya kebebasan pers harus dikorbankan jika bangsa sedang mengalami “persoalan”. Karena justru ketika bangsa menghadapi masalah, kebebasan pers musti dijaga, sebagai salah satu sarana mendialogkan permasalahan bangsa itu. Agar segenap bangsa, masyarakat, dapat terlibat dalam dialog upaya mencari solusi --antara lain melalui pers yang bebas-- dan mencegah agar urusan bangsa tidak cuma ditangani atau dimonopoli segelintir orang, kelompok, atau elite kekuasaan.

Dalam konteks wawasan kebangsaan sebagai cetak biru tujuan dan cita-cita bangsa, pers berperan menjadi pencatat, ****am, saksi, penyebar informasi sekaligus pemantau kinerja untuk mengingatkan segenap bangsa, sejauh mana cetak biru yang telah disepakati telah benar-benar dijalankan oleh penyelenggara negara. Selain sebagai pencatat dan pemantau, pers juga bisa dikatakan juga sebagai aktor penting proses sejarah kebangsaan Indonesia, apa yang dirasakan dan dialami rakyat dalam proses membangun kebangsaan juga dirasakan dan dialami oleh pers.

******

Pers di Indonesia dalam sejarah sering disebut berperan penting dalam menyebarluaskan gagasan kebangsaan Indonesia dan memperjuangkan kemerdekaan.  Pada era kolonial pers Indonesia dikekang, banyak tokoh pers yang dipenjara atau diasingkan, didakwa menyebarkan perasaan kebencian serta penghinaan terhadap pemerintahan Belanda, hanya karena menyampaikan informasi faktual tentang penderitaan rakyat.  Era tiga tahun penjajahan Jepang pers sempat mengalami masa mati suri, karena pers hanya boleh hidup jika menjadi alat propaganda Jepang. Segera setelah proklamasi kemerdekaan, pers kembali berperan menyuarakan semangat kemerdekaan dan mengajak sebenap bangsa untuk mengisi kemerdekaan itu.

Kehidupan pers relatif bebas pasca proklamasi kemerdekaan 1945, namun membangun bangsa yang baru merdeka ternyata tidak mudah. Berbagai persoalan dan konflik kepentingan yang merundung Indonesia yang masih berusia muda menyebabkan kebebasan pers, dan kebebasan rakyat pada umumnya, harus selalu dalam bayang-bayang kepentingan kekuasaan.  Pada era “demokrasi terpimpin”, kebebasan pers dibungkam demi kepentingan pemeliharaan ketertiban umum dan perseteruan politik antar-anak bangsa.

Pada masa awal pemerintahan Orde Baru pers kembali menikmati kebebasan (periode 1966-1974), hubungan saling pengertian antara pers dan pemerintah berjalan baik. Periode ini sering disebut dengan era bulan madu pemerintah dengan pers. Namun bulan madu tersebut hanya berlangsung selama delapan tahun. Ketika meletus peristiwa Malari (15 Januari 1974), pers dinilai turut memanaskan situasi, akibatnya tujuh surat kabar terkemuka di Jakarta diberangus, dan diizinkan terbit kembali setelah sejumlah pemimpin redaksi menandatangani surat pernyataan maaf kepada pemerintah, yang kemudian menjadi momentum lahirnya “jurnalisme pembangunan” yang diintrodusir pemerintah, sebagai kedok untuk membungkan kebebasan pers.

Pembungkam terhadap kebebasan pers selalu merupakan simtom awal perampasan kedaulatan rakyat —suatu bentuk pengkhianatan terhadap wawasan kebangsaan. Sekuat apapun konsolidasi kekuasaan yang  merampas kedaulatan rakyat, pada akhirnya kekuasaan semacam itu tumbang juga. Soeharto tumbang oleh hasrat rakyat yang ingin merebut kembali kedaulatannya. Era Reformasi menandai tumbuhnya kesadaran untuk membentengi kedaulatan rakyat dengan ketentuan hukum yang dapat menjamin kedaulatan itu, seperti penegakan hak asasi manusia, termasuk jaminan terhadap kebebasan Pers (melalui UU No.40/1999) sebagai hak asasi warga negara.

Perjalanan kebangsaan Indonesia diwarnai dengan  berbagai penyimpangan dan jatuh-bangunnya kedaulatan rakyat. Realita perjalanan kebangsaan ternyata tidak seindah semangat yang diembannya, ia hanya indah sebagai slogan dan pidato-pidato para penyelenggara kekuasaan negara.

*******

Relevansi pers dalam membangun semangat kebangsaan dalam konteks kontemporer adalah mempertanyakan bagaimana kondisi kebangsaan Indonesia saat ini. Apa yang telah dicapai Indonesia setelah 62 tahun merdeka dan 99 tahun menegaskan keberadaannya sebagai satu bangsa?  Pers dalam sejarahnya telah turut memperjuangkan pembebasan rakyat dari penjajahan dan penindasan; pada era kini pers masih harus turut memperjuangkan pembangunan untuk melepaskan rakyat dari kemiskinan, ketidakadilan, dan keterbelakangan. Pergulatan untuk mewujudkan Bangsa Indonesia yang lebih baik, lebih makmur, dan lebih sejahtera masih harus terus diperjuangkan.

Sistem demokrasi telah diadopsi di Indonesia, meskipun ada yang menilai demokrasi yang berjalan baru sebatas prosedural, bukan substansial. Di sisi lain penegakan hukum sebagai salah satu ciri sebuah bangsa yang beradab, belum juga berfungsi dengan benar. Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, yang sempat tumbuh subur di Indonesia masih belum dapat diberantas. Indonesia masih dikategorikan sebagai bangsa yang korup, satu predikat yang memalukan masih melekat dalam diri bangsa Indonesia.

Pada akhirnya upaya pers dalam membangun semangat kebangsaan masih tetap relevan sejauh pers mampu memberi pemaknaan baru pada semangat itu. Jika semangat kebangsaan 99 tahun lalu menjadi landasan melawan penjajahan, maka semangat kebangsaan saat ini adalah untuk menggerakkan pembangunan untuk mewujudkan Indonesia yang maju, terhormat dan bermartabat.

Semangat kebangsaan bukanlah sikap yang terus menerus membanggakan potensi bangsa, kekayaan alam, keragaman budaya, dan semacamnya.  Nilai kebangsaan juga bukan semangat untuk mendramatisasi adanya berbagai ancaman yang seolah-olah akan menghancurkan Indonesia. Ancaman terhadap kebangsaan Indonesia bukanlah pada adanya wacana desentralisasi, disintegrasi, liberalisasi atau globalisasi, melainkan pada ada atau tidaknya kemampuan membangun masyarakat yang sehat, kuat, sejahtera, dan berdaulat.***

 

Dipublikasikan di buletin ETIKA Dewan Pers edisi Agustus 2007