Masyarakat Buta Etika
27 Desember 2007 | Administrator
Oleh Lukas Luwarso
Sekretaris Eksekutif Dewan Pers
Era kebebasan pers telah melahirkan beratus-ratus pers baru, namun peningkatan jumlah (kuantitas) tersebut justru memunculkan kecaman masyarakat, karena tidak diiringi peningkatan kualitas. Kebebasan pers telah menjadi ironi, karena justru lebih sering mengundang kecaman. Pers sering dituduh mengabaikan kode etik jurnalistik, bahkan sepertinya ”etika pers” menjadi istilah oxymoron.
Pertanyaannya, mengapa banyak penerbitan pers baru sulit sekali menerapkan etika—sebagai basis utama profesi jurnalistik? Akar persoalan adalah, di era pers bablas saat ini terlalu mudah menerbitkan pers atau menjadi wartawan. Ibaratnya, menerbitkan pers kini seperti menggelar dagangan kaki lima di trotoar, dan menjadi ”wartawan” seperti menjadi pengamen di jalanan. Namun bahkan menjadi pengamen dan berdagang kaki lima relatif lebih sulit ketimbang menjadi ”wartawan” atau ”menerbitkan pers”; karena menjadi pengamen harus bisa main gitar dan pedagang kaki lima harus membayar restribusi harian.
Jika melihat dari aspek kinerja ”pers” dan ”wartawan” baru yang tumbuh subur belakangan ini, dunia pers dan kewartawanan terkesan telah rusak (amburadul). Banyak orang menjadi wartawan tanpa memiliki latarbelakang pengetahuan dan ketrampilan yang cukup tentang jurnalisme. Sejumlah prasyarat kemampuan dan pengetahuan yang seharusnya melekat pada seseorang ketika ia menyandang predikat wartawan, kini tidak lagi ada tolok ukurnya.
Ketiadaan tolok ukur profesi wartawan dan industri pers, pada era kebebasan saat ini, merupakan residu persoalan dari masyarakat yang tidak memahami--bahkan tidak mengenal--konsep etika. Karena etika memang bukan perangkat aturan yang mengikat, itu sebabnya ”aturan main” menjadi wartawan atau menerbitkan pers, dalam masyarakat yang tidak mengenal etika, tidak mempersyaratkan pemahaman etika.
Wartawan dan pengelola pers perlu memahami etika adalah satu konvensi, atau kelaziman, yang berlaku dalam tatanan masyarakat yang mengenali dan memahami etika. Artinya, lazimnya hanya mereka yang paham etika (serta memiliki ketrampilan dan pengetahuan jurnalisme) yang akan terjun dalam dunia pers. Situasi menjadi tidak lazim ketika etika sebagai tolok ukur tidak dihayati atau bisa jadi tidak dikenali.
Jadi, besar kemungkinan, amburadul-nya situasi ”kewartawanan” dan ”penerbitan pers” di Indonesia tidak lain adalah buah dari masyarakat yang masih buta etika. Terlebih-lebih istilah etika, yang merupakan turunan dari kata ”ethic”, adalah konsep yang tidak berakar dari masyarakat Indonesia. Buktinya, kita tidak punya padanan kata untuk ”ethic”.
Agaknya masih perlu waktu panjang untuk membuat masyarakat mengenali dan menerapkan etika dalam kehidupan sehari-hari. Jika etika secara umum telah dipahami masyarakat, diharapkan persoalan ”wartawan” dan ”pers baru” yang amburadul, lambat laun dapat lenyap. Diharapkan, wartawan dan pers seperti diamanatkan oleh UU No.40/1999, lah yang akan beredar dan bekerja untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, mendapat informasi dan mengembangkan pendapat umum.*