Tahun 2007: Penutupan yang Buruk

Tahun 2007: Penutupan yang Buruk
14 Januari 2008 | Administrator

Oleh Bambang Harymurti
Anggota Dewan Pers

----------
Menjelang tutup tahun 2007 kondisi kebebasan pers nasional memburuk. Dua wartawan Indonesia masuk penjara. Mereka bagian dari 135 wartawan dunia yang terampas kemerdekaannya di tahun yang sama.
----------

 

Harapan membaiknya kemerdekaan pers Indonesia pada 2007 terpukul di akhir tahun. Tiga peristiwa memprihatinkan terjadi.Yang pertama adalah saat Mahkamah Agung menyatakan majalah Time harus membayar Rp 1 trilyun karena mencemarkan nama Soeharto, 31 Agustus 2007. Dua bulan kemudian, Pemimpin Redaksi Surat Kabar Mingguan Oposisi, Dahri Uhum Nasution, dimasukkan penjara untuk menjalani hukuman kurungan satu tahun. Lantas, sehari menjelang peringatan hari Hak Asasi Manusia, giliran Risang Bima Wijaya yang bekerja sebagai wartawan kelompok Jawa Pos yang digelandang masuk Lembaga Pemasyarakatan Sleman untuk menjalani hukuman 6 bulan penjara.

 

Para pengacara pihak yang dikalahkan dalam tiga kasus di atas kini sedang melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Dewan Pers, yang oleh UU No. 40 tahun 1999 diamanatkan untuk menjaga kemerdekaan pers, mendukung upaya ini dan berharap Mahkamah Agung dapat memperbaiki keputusan yang mengancam kemerdekaan pers nasional itu. Bila ini dilakukan, maka kecenderungan membaiknya kondisi kemerdekaan pers nasional sejak 2004 dapat dipertahankan.

Ada beberapa alasan yang mendukung harapan ini. Pertemuan Dewan Pers dan Kepala Polri pada akhir 2007 membuahkan kesepakatan untuk menyusun Dokumen Kesepakatan (MoU) tentang proses penyidikan perkara yang menyangkut pemberitaan pers. Pada prinsipnya pihak kepolisian menyatakan kesediaan untuk lebih menyertakan Dewan Pers dalam menyelesaikan kasus yang dilaporkan masyarakat yang menyangkut pemberitaan pers. Kesepakatan serupa juga sedang diupayakan Dewan Pers dengan Jaksa Agung yang diharapkan dapat dilakukan pada awal 2008.

Upaya-upaya ini dilakukan untuk melindungi akses masyarakat pada kemerdekaan pers dan menghindarkan terjadinya tindakan pemidanaan oleh aparat hukum terhadap warga yang menjalankan hak asasinya untuk berpendapat dan berkomunikasi. Ancaman atas hak ini memang tak hanya dirasakan oleh para wartawan namun juga para penulis lepas. Bersihar Lubis, misalnya, kini sedang menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Depok karena menulis opini yang dianggap menghina martabat kejaksaan di Koran Tempo. Seng-seng dan sejumlah rekannya juga sedang menghadapi gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Barat karena menulis surat pembaca di koran di Jakarta. Keluhan Seng seng tentang kualitas toko yang dibelinya dari sebuah perusahaan pengembang dianggap pencemaran nama baik oleh pengembang tersebut. Seng seng juga dilaporkan ke polisi oleh perusahan yang sama dan Dewan Pers telah menulis surat kepala Kapolri agar tidak menafikan UU Pers bila polisi memproses laporan ini.

Dewan Pers telah menyerukan kepada aparat hukum agar menghormati pandangan Mahkamah Agung yang menyatakan perlunya dikedepankan penggunaan UU No. 40 tahun 1999 dalam proses penegakan hukum yang menyangkut kasus pemberitaan. Hal ini perlu dilakukan agar keseimbangan dalam melindungi hak masyarakat atas informasi dan hak untuk dilindungi martabatnya dapat tercapai. UU Pers pada prinsipnya memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers untuk mendapakan pemulihan melalui penggunaan hak jawab dan hak koreksi. UU ini juga memberikan sanksi pidana denda hingga Rp 500 juta bagi pengelola media yang tak melayani hak jawab ini. Dewan Pers adalah lembaga yang diberi wewenang memiliki kata akhir dalam menentukan apakah sebuah hak jawab telah dilayani secara patut atau tidak.

Dewan Pers menyadari bahwa dalam menjalankan peran pers sesuai Pasal 6 UU Pers, yaitu “melakukan kritik dan kontrol sosial atas hal hal yang menyangkut kepentingan umum” tak mungkin dilakukan tanpa menghadapi risiko adanya pihak-pihak yang merasa nama baiknya dicemarkan. Bagi mereka yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers tentu memerlukan mekanisme untuk mendapatkan solusi atas masalah ini.

Prinsip mengedepankan UU Pers dalam memproses kasus pemberitaan seperti ini adalah cara yang paling tepat. Pasalnya pasal 50 KUHP pun telah menyatakan “barangsiapa menjalankan amanat undang-undang tak dapat dipidana”. Agar pers menjalankan amanat Undang-undangnya ini secara benar, Dewan Pers pun telah menyusun dan mengesahkan Kode Etik Jurnalistik.

Walhasil, dalam menutup tahun 2007 dan menjalani tahun 2008, Dewan Pers memang masih harus terus bekerja keras mendorong berkembangbiaknya pers nasional yang taat Kode Etik Jurnalistik dalam menjalankan peran pers seperti diamanatkan pada UU no 40 tahun 1999.

Bukan pekerjaan mudah tapi juga bukan mission impossible.

 

Buletin ETIKA Dewan Pers