Visi Pers terhadap Visi 2030

Visi Pers terhadap Visi 2030
19 Februari 2008 | Administrator

Oleh Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA
Ketua Dewan Pers
Yayasan Indonesia Forum  mengumumkan Visi Indonesia 2030 yang mengandaikan 23 tahun lagi ekonomi Indonesia menjadi kekuatan nomor lima di dunia setelah China, India, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pada 2030, dengan jumlah penduduk 285 juta jiwa, PDB Indonesia mencapai US$ 5,1 triliun dan pendapatan perkapita US$ 18.000. Visi ini akan terealisasi dengan syarat: "jika" pertumbuhan ekonomi 7,62 persen, inflasi 4,95 persen, pertumbuhan penduduk 1,1 persen. Agar tercapai, visi ini “harus” menjadi gerakan nasional, seluruh komponen bangsa “harus” bersinergi dalam mengelola keunggulan serta menyelesaikan persoalan.

 

Visi 2030 diluncurkan, pada 22 Maret 2007 di Istana Negara, dihadiri jajaran menteri, pimpinan lembaga tinggi negara, dan mendapat liputan secara luas di media. Bisa diduga, gagasan semacam ini kemudian memancing kontroversi. Ada yang menilai: Visi 2030 merupakan "khayalan yang tidak masuk akal dan dapat terealisasi kalau Indonesia menjadi negara bagian Eropa atau Amerika Serikat". Termasuk ada yang mencurigai Visi 2030 adalah "kiat pengusaha mendekat ke Istana". Namun, ada pula yang menyambut baik, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menilai Visi 2030 sebagai mimpi. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menciptakan mimpi dan mewujudkannya dalam realitas,” kata Presiden.

 

Merespon polemik peluncuran Visi 2030, salah satu suratkabar menggelar diskusi. Dalam diskusi tersebut muncul penilaian bahwa Visi 2030 hanya akan menjadi utopia jika tidak dipertemukan dengan realitas yang ada. Kemiskinan dan pengangguran adalah kenyataan di Indonesia, yang musti diatasi dengan aksi segera. Sebagai wacana, Visi 2030 dinilai terlampau umum, belum memaparkan secara jelas upaya dan indikator untuk menguji  kelayakan implementasinya, serta kurang memperhitungkan tantangan riil yang dihadapi.

Hampir setahun setelah secara resmi di-launching di depan pimpinan negara, gagasan Visi 2030 kembali di-launching, kali ini di konvensi wartawan ini. Tentu menarik bagi kalangan pers untuk mengkaji dan mengevaluasi, sejauh mana visi ini telah bergulir setahun terakhir. Apakah ia berhenti sebagai wacana, tetap menjadi mimpi, atau telah mengilhami berbagai kalangan untuk bertindak merealisasikan? Paling kurang, sejauh mana visi ini telah memberi inspirasi bagi masyarakat dan penyelenggara negara Indonesia pada umumnya; dan khususnya apa yang telah dilakukan oleh kelompok penggagas visi ini (Yayasan Indonesia forum dan lingkarannya)?

Pertanyaan tersebut penting diajukan untuk menguji sejauh mana satu wacana atau visi, semacam Visi 2030, yang diperkenalkan ke masyarakat memang memiliki nilai penting, bukan hanya sebagai wacana, melainkan juga upaya merealisasikannya. Hal ini terkait dengan fungsi utama pers, yaitu: komunikasi, sosialisasi, dan korelasi. Jika wacana “Visi 2030” dipilih menjadi tema utama dalam konvensi ini dalam rangka “memperingati Hari Pers Nasional”, sudah sepantasnya komunitas pers mengajukan korelasi antara visi ini dengan realitas saat ini.

Jurnalisme, ada yang bilang, adalah karya sastra yang terburu-buru (journalism is literature in a hurry). Jurnalisme berurusan dengan penyampaian fakta secara akurat, mereka yang ingin mendapatkan lebih dari sekadar fakta dipersilahkan mencari dari sumber lain (seperti buku, naskah akademis, jurnal ilmiah, dan sebagainya). Dalam kaitan dengan penyampaian fakta, dengan sendirinya, pers mengedepankan pertanyaan yang sering disebutkan sebagai 5W+1H, apa, siapa, kapan, dimana, mengapa dan bagaimana menyangkut fakta.

Pers sedapat mungkin menanggalkan pertanyaan yang bersifat pengandaian, seperti: bilamana, seandainya, kalau saja, jika, dan sejenisnya. Menyampaikan angan-angan boleh dilakukan penulis fiksi, peramal, atau pengamat masa depan (futurolog). Tugas pers adalah mempersoalkan apakah ramalan, pengandaian, dan harapan terhadap masa depan tersebut penting diwacanakan?  Jika pers merasa satu wacana “penting” utuk disebarkan ke masyarakat, maka pertanyaan secara intuitif adalah “penting untuk siapa?” Pada intinya, pers musti selalu bersikap kritis dan skeptis terhadap apa saja. Termasuk pada kinerja komunitas pers sendiri.

Visi 2030 hanya akan bermakna jika dapat menginspirasi berbagai kalangan untuk merumuskan  visi-visi yang lebih spesifik, dan mampu menggerakkan kinerja masyarakat  dan pemerintah. Dalam paradigma ini, pers perlu menanyakan bagaimana visi itu telah dan akan dilaksanakan, setahun ini apa yang telah dihasilkan, serta berbagai pertanyaan faktual lainnya. Pers adalah watch-dog, anjing yang menggonggong; bukan lap-dog, anjing pangkuan—yang hanya mendukung dan membenarkan.  Dengan menggonggong, mempersoalkan secara kritis Visi 2030, dengan sendirinya memperkuat tujuan ideal  gagasan visi itu sendiri.

Dewan Pers selama ini selalu mendorong agar pers menjadi watch-dog bagi berkembangnya demokrasi, --di era ketergantungan kehidupan manusia pada teknologi yang dipenuhi oleh sistem-sistem pendanaan kapitalisme dunia--, mencegah berubahnya fungsi pers dari watch-dog menjadi lap-dog. Usaha mencegah proses metamorfosis semacam ini, yang diakibatkan oleh perkembangan keadaan global dan oleh para pemerhati media dinilai sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, program Dewan Pers ke depan lebih menekankan pada peningkatan profesionalisme wartawan dengan membuka School of Journalism yang memiliki kurikulum antara lain pengembangan Kode Etik Jurnalistik dan pengembangan suratkabar dan majalah yang dianggap sudah mapan. Menghadapi tantangan pers di masa datang yang lebih rumit dan kompleks, meningkatkan kualitas kemerdekaan pers adalah komponen yang tidak terpisahkan dengan usaha bangsa ini memperbaiki substansi demokrasi yang saat ini dirasakan kurang memenuhi syarat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Terimakasih, selamat berdiskusi.

Semarang, 8 Februari 2008.

(Tulisan ini adalah naskah sambutan Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA., dalam Konvensi Media Massa yang diselenggarakan di Semarang, 8 Februari 2008, sebagai rangkaian peringatan Hari Pers Nasional tahun 2008)