Penerapan UU Pers

Penerapan UU Pers
03 April 2008 | Administrator

Oleh Lukas Luwarso
Sekretaris Eksekutif Dewan Pers
UU PERS merupakan penegasan bahwa kemerdekaan pers adalah wujud kedaulatan rakyat dan penerapan demokrasi. UU Pers disahkan pada 1999 ketika semangat reformasi masih mewarnai dinamika politik Indonesia untuk membentengi kebebasan pers.

 

Dalam perjalanannya kemudian, beberapa kalangan menilai UU Pers mengandung kelemahan. Itu sebabnya berulangkali muncul suara agar UU Pers direvisi, diamandemen, atau disempurnakan. Pihak yang menginginkan revisi berdalih UU Pers tidak efektif memperbaiki kinerja pers yang dinilai memburuk (kebablasan), sehingga menginginkan adanya UU Pers yang mengatur secara lebih konkret aturan main kebebasan pers.

 

Persoalannya, UU Pers yang berniat mengatur hal-hal teknis mengenai pers berpotensi membatasi kemerdekaan pers. Padahal yang lebih mendesak adalah upaya konkret agar UU Pers bisa efektif melindungi pers, agar karya jurnalistik tidak mudah dikriminalisasi dengan pasal-pasal KUHP, serta agar jurnalis dalam menjalankan profesinya terlindungi. Pasal 18 UU Pers mengancam penghalang kemerdekaan pers dengan pidana dua tahun atau denda 500 juta rupiah. Berbagai kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan dan media sering terjadi tanpa pernah ada tindakan hukum terhadap pelakunya.

Di sisi lain, sejumlah pasal UU Pers mengatur ketentuan etika, yang bersifat normatif, dan berpotensi mengancam pers. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa pers wajib memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pers juga diwajibkan melayani hak jawab dan hak koreksi.

Ketentuan-ketentuan ini adalah wilayah etik, yang menjadi kode profesi wartawan dan perusahaan pers. UU Pers tidak memberikan penafsiran yang rinci menyangkut ketentuan etika tersebut, namun memasukkan ancaman hukum jika tidak ditaati. Misalnya, jika tidak melayani hak jawab pers bisa dituntut ancaman denda 500 juta. Sementara itu tidak dirinci secara jelas seperti apa yang dimaksud 'tidak melayani hak jawab', serta ketentuan lain mengenai teknis pelayanan hak jawab tersebut.

Selain itu UU Pers dinilai paradoks karena memasukkan sejumlah ketentuan yang sudah diatur di UU lain, misalnya menyangkut badan hukum pers, permodalan, dan monopoli. Padahal dalam penjelasan UU Pers sendiri menegaskan "untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, UU pers ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya."

Melihat berbagai kontradiksi dalam UU Pers tersebut kuat mengesankan perlu adanya revisi atau amenden. Namun Dewan Pers menilai upaya melakukan revisi berisiko akan menjadikan UU Pers bersifat restriktif. Dewan Pers bersikap, revisi bisa dilakukan sejauh tujuannya bukan untuk menjadikan UU Pers lebih melindungi kebebasan pers.

Namun berbagai pertanyaan soal efektivitas UU Pers  nampaknya perlu dijawab dengan kesepakatan di kalangan komunitas pers. Artinya, dengan tanpa melakukan revisi, apa yang dapat dilakukan oleh komunitas pers--khususnya Dewan Pers-dalam mengurai sejumlah ketentuan yang tidak dipaparkan dengan jelas dalam UU Pers. Soal ketentuan etika, pertanggungjawaban, hak jawab, badan hukum pers dalam UU Pers, misalnya, perlu perumusan yang lebih rinci agar dapat menjadi pedoman masyarakat dalam memahami UU Pers.

Dalam konteks itu Dewan Pers menyelenggarakan diskusi pakar, pada 29 Februari - 1 Maret 2008, untuk mengkaji UU Pers dan penerapannya. Diskusi tersebut membahas isu strategis menyangkut penerapan UU Pers, sekaligus merumuskan sejumlah rekomendasi agar UU Pers dapat efektif sebagai pelindung kemerdekaan pers, tanpa harus merevisi atau mengubah.

Melalui diskusi sehari penuh tersebut ingin ditegaskan bahwa UU Pers merupakan ketentuan hukum untuk menjamin kemerdekaan pers. Sebagai induk hukum yang terkait dengan pers, ketentuan hukum lain dapat berlaku sejauh prinsip kemerdekaan pers (seperti yang diatur dalam UU Pers) dihormati. Diskusi tersebut juga menegaskan, Dewan Pers sebagai lembaga swa-regulasi pers berwenang untuk merumuskan dan menginterpretasikan ketentuan pasal-pasal dalam UU Pers yang memerlukan penguraian lebih jauh. Itulah amanat yang bakal dijalankan oleh Dewan Pers ke depan, untuk memastikan UU Pers akan diterapkan.*