Melek Media

Melek Media
19 Mei 2008 | Administrator

Oleh Lukas Luwarso
Sekretaris Eksekutif Dewan Pers
Wilbur Schramm (1907-1987), pakar komunikasi dari AS, pernah memperkenalkan “teori peluru” dalam kaitan dengan komunikasi melalui media massa. Informasi merupakan “peluru yang dapat ditembakkan dengan mudah ke khalayak yang pasif dan tidak berdaya,” begitu dia berteori pada pertengahan 1950-an.

 

Namun pada awal 1970-an, Schramm mencabut teorinya itu, dia mengaku salah, ternyata konsumen media massa tidak pasif. Makna niatan (penyampai informasi) tidak selalu sejalan dengan makna muatan (yang diterima oleh penerima informasi).

 

Dalam bukunya ”Four Theories of the Press”, Schramm bersama penulis lainnya, mendedahkan sifat media massa: sebagai pembentuk (moulder) masyarakat dan sebagai cermin (mirror) kondisi masyarakat. Sebagai moulder, media massa diasumsikan memiliki kekuatan dalam mengarahkan opini publik. Sebagai mirror, media dinilai hanya sarana atau alat bagi komunikasi publik.

Sifat media sebagai moulder atau mirror terkait erat dengan tingkat media literacy (melek media) masyarakat. Melek media dipersepsikan sebagai kemampuan memahami informasi dan sifat komunikasi melalui media massa. Melek media sangat perlu, karena tingkat kemelekan masyarakat pada media pada akhirnya mempengaruhi kualitas dan kinerja pekerja media itu sendiri (pers dan wartawan). Industri media yang sehat hanya bisa terwujud jika kemelekan masyarakat terhadap media juga sehat.

Maraknya informasi mistik, sensasi, gosip selebriti, dan pseudo-pornografi tak lain adalah akibat orbit melek media masyarakat berputar di wilayah tersebut. Gerakan melek media merupakan upaya meningkatkan kecerdasan khalayak untuk lebih banyak mengkonsumsi informasi yang berguna dan sehat dan menjauhkan informasi (tayangan, program, liputan atau laporan) media massa yang tidak banyak manfaatnya bagi masyarakat.

Perjuangan mengajak masyarakat melek media adalah sama pentingnya dengan perjuangan memerdekakan pers. Kemerdekaan pers tidak banyak manfaatnya jika masyarakatnya masih ”buta media”. Salah satu  indikasi masyarakat masih buta media adalah jika informasi tabloid dan media kuning lebih banyak dikonsumsi ketimbang media mainstream (media berkualitas); program gosip lebih tinggi rating-nya ketimbang informasi current-news; atau masyarakat yang apatis dengan informasi media --jarang atau tidak pernah merespon apapun yang disajikan media.

Jika masyarakat pasif terhadap media, maka bukan mustahil ”teori peluru” dari Wilbur Schramm yang sudah mati relevan untuk hidup kembali. Masyarakat yang pasif-media adalah mereka yang mudah menjadi sasaran peluru komunikasi yang ditembakkan oleh para koboi media --praktisi media yang menggunakan media massa hanya sebagai sarana kepentingannya, bukan kepentingan masyarakat.

Dewan Pers, setelah delapan tahun berkiprah, sudah saatnya lebih berorientasi pada peningkatan masyarakat yang melek media. Bukan saja agar kesan Dewan Pers sebagai lembaga pembela pers (”pelindung kebablasan pers”) dapat dilenyapkan, melainkan juga agar secara esensial kemerdekaan pers dapat diatur melalui penerapan swa-regulasi. Dengan memperbesar khalayak yang melek media, dengan sendirinya bakal mengurangi praktek-praktek penyalahgunaan media, seperti praktek wartawan bodrek, misalnya.*

 

Buletin ETIKA