Dewan Pers Menolak Kriminalisasi Pers

Dewan Pers Menolak Kriminalisasi Pers
25 Juli 2008 | Administrator

Oleh Leo Batubara
Wakil Ketua Dewan Pers

Di surat kabar SINDO (12 Mei 2008), guru besar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan, Prof Tjipta Lesmana, menulis artikel ”Apa yang Salah dengan UU KIP?” Isinya antara lain sebagai berikut.  Pertama, di seluruh penjuru dunia kebebasan pers tidak bersifat absolut, selalu ada rambu-rambu atau limitasinya. Kedua, penolakan keras wacana tentang kriminalisasi pers. Jika ada wartawan yang terbukti melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik, hal itu adalah kejahatan karena itu dia harus dihukum penjara. Penggunaan KUHP adalah sah, kenapa dituding sebagai mengkriminalkan pers?

 

Ketiga, UU Pers (No40/1999) bukan lex specialist. Keempat, Dewan Pers mati-matian menolak UU KIP. Pendapat Dewan Pers mengada-ada.

Saya tadinya tidak berminat menanggapi pendapat Tjipta Lesmana tersebut karena dia dan saya sudah saling mengenal dan berbeda paradigma. Dalam konflik majalah Tempo dengan pengusaha Tomy Winata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Tjipta Lesmana–sebagai saksi ahli untuk kepentingan Tomy Winata– menilai berita berjudul ”Ada Tomy di ’Tenabang’”? (9 Maret 2003) adalah bohong dan mencemarkan nama baik Tomy Winata. Tjipta Lesmana mendukung tuntutan jaksa penuntut umum Bastian Hutabarat agar Pemimpin Redaksi Bambang Harymurti (BHM) dipidana penjara. Dalam perkara itu BHM dituntut 9 tahun penjara. Saya –sebagai saksi ahli untuk BHM– menilai berita itu adalah karya jurnalistik untuk kepentingan umum dan sesuai dengan kode etik jurnalistik.Karena itu,berdasarkan UU Pers, berita itu bukan karya kejahatan.

Kemudian dua kali tim Dewan Pers berdialog dengan Komisi Konstitusi dan menyampaikan usulan amendemen agar hak warga negara Indonesia atas kemerdekaan pers dikukuhkan menjadi hak konstitusional. Tiga anggota Komisi Konstitusi, yaitu Prof. Dr. Sri Sumantri (Ketua), Dr. Albert Hasibuan,dan Dr. Krisna Harahap mendukung usulan amandemen itu,tetapi Tjipta Lesmana yang juga salah satu anggota Komisi Konstitusi menolak usulan amendemen Dewan Pers itu.

Mengapa saya sebagai Wakil Ketua Dewan Pers harus meluruskan empat pendapat di atas? Karena Tjipta Lesmana sebagai profesor dan guru besar mestinya –supaya tidak menyesatkan mahasiswa dan khalayak– juga mengemukakan ada kebenaran lain tentang isu yang dipaparkan. Aneka ragam pendapat itu wajar-wajar saja karena dilatarbelakangi perbedaan paradigma yang dianut.

Paradigma Demokrasi
Pertama adalah benar bahwa di seluruh dunia kebebasan pers tidak absolut sifatnya. Di Indonesia, di era Orde Baru, seperti juga di negara-negara lain yang menganut paradigma otoriter, rambu-rambu penyelenggaraan pers (1) memerlukan izin terbit, (2) disensor dan dapat dibredel,(3) dikontrol pemerintah, dan (4) karya jurnalistiknya dapat divonis sebagai karya kejahatan.

Di negara yang menganut paradigma demokrasi seperti AS, negara-negara Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, Australia, politik hukum negaranya tidak menganut criminal defamation, tetapi civil defamation. Karya jurnalistik yang berkandungan penghinaan dan pencemaran nama baik dapat diproses dalam perkara perdata dengan ancaman denda proporsional/tidak untuk membangkrutkan. Terhadap berita (1) bertujuan memeras, (2) berintensi malice, (3) hasil fabrikasi, dan (4) yang melakukan contempt ofcourt, (produsernya) dapat dipidana penjara memedomani Penal Code.

Negara-negara berkembang seperti Ghana, Uganda, Kroasia,Togo, Republik Afrika Tengah, dan Sri Lanka telah mereformasi politik hukum negaranya dari kriminalisasi pers ke dekriminalisasi pers. Negaranegara itu telah (1) menghapus ketentuan hukum pidana tentang pencemaran nama baik (defamation), penghinaan (insult), fitnah (slander, libel), dan kabar bohong (false news) bagi karya jurnalistik yang dibuat dengan niat baik (in good faith) dan demi kepentingan umum dan (2) mengubahnya menjadi ketentuan hukum perdata, dengan sanksi denda proporsional.

Mengapa negara-negara berkembang itu menghapus politik hukum yang mengkriminalkan pers? Karena dalam perang antara rakyat dan pers profesional melawan pejabat yang tidak becus dan korup, KUHP negara-negara itu selalu lebih berpihak kepada pejabat, politisi, dan pengusaha yang diberitakan pers sebagai bermasalah dan diduga melakukan praktik-praktik bad governance.

UU Pers (No40/1999) juga telah menganut politik hukum yang tidak mengkriminalkan pers dalam pekerjaan jurnalistik. Kesalahan karya jurnalistik diselesaikan dengan hak jawab.

Bila belum memuaskan, lewat jalur hukum media yang bersangkutan dapat didenda paling banyak Rp.500.000.000. Bila berita yang dihasilkan (1) bertujuan untuk melakukan pemerasan, (2) hasil rekayasa dan imajiner, (3) berintensi malice untuk menjatuhkan seseorang, (4) berkandungan pornografi semata-mata untuk membangkitkan nafsu berahi, dan (5) untuk secara sengaja menghina agama, tentu saja dapat di-KUHP-kan.

Kedua, adalah mengherankan bahwa Tjipta Lesmana mendukung politik hukum yang mengkriminalkan pers. Dalam berbagai kesempatan Tjipta Lesmana sering membanggakan diri sebagai anggota senior Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Tahukah Tjipta Lesmana dalam Kongres XXI 2–4 Oktober 2003 di Palangka Raya PWI mengeluarkan deklarasi yang antara lain berisi (3) penolakan segala bentuk dan isi perundang-undangan, termasuk draf RUU KUHP, yang mengancam kemerdekaan pers, (4) penolakan segala tindakan kriminalisasi terhadap karya jurnalistik dan untuk itu diserukan kepada semua pihak agar menghormati supremasi hukum dan hak asasi manusia secara adil.

Ketiga, UU Pers bukan lex specialist? Hinca Panjaitan dan Amir Effendi Siregar menulis buku UU Pers (No40/1999) Lex Specialist. RH Siregar, Wina Armada, Nono Makarim, Tjipta Lesmana, dan sebagian besar penegak hukum berpendapat UU Pers itu bukan lex specialist.

Apa putusan Majelis Hakim MA Bagir Manan (ketua), Harifin A Tumpa, dan Djoko Sarwoko (9 Februari 2006) yang menyatakan, dengan memedomani UU Pers, Pemimpin Redaksi Tempo Bambang Harymurti tidak bersalah terkait berita ”Ada Tomy di ’Tenabang’” tidak menunjukkan hal itu (UU Pers lex specialist)? Amar putusan MA itu antara lain: (1)”... agar perlindungan hukum terhadap pers bukan impian, maka diperlukan improvisasi dalam penegakan hukum dalam delik pers dengan menciptakan jurisprudensi, yang mampu mengakomodasi dan menempatkan UU Pers sebagai lex specialist”; (2) ”... oleh karena pers bebas merupakan condition sine quanon dalam negara demokrasi dan negara berdasar hukum, maka tindakan terhadap pers yang menyimpang tidak boleh membahayakan sendi-sendi demokrasi dan negara berdasar hukum lainnya sebagai upaya memperkokoh sendi-sendi tersebut.”

Tidakkah kutipan amar keputusan itu memberi sinyal bahwa UU Pers itu lex specialist?

Dewan Pers tidak ingin terjebak dalam konflik itu. Pasal 15 ayat (2) d UU Pers mengamanatkan: ”Dewan Pers berfungsi memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.”

Memedomani amanat UU Pers itu, bila media diadukan ke jalur hukum, penegak hukum seharusnya terlebih dahulu meminta pertimbangan Dewan Pers. Bila berita yang dipersengketakan adalah karya jurnalistik untuk kepentingan umum, hal itu diproses memedomani UU Pers. Bila berita itu berkategori malapraktik, tentu saja dapat diKUHPkan.

Apa ruginya penegak hukum menaati amanat UU Pers tersebut?

Keempat, salahkah Dewan Pers menolak kriminalisasi pers? Pada April 2008, UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan UU No 10/2008 tentang Pemilu diundangkan. Kemudian, pemerintah juga mempersiapkan RUU KUHP.

Analisis terhadap tiga UU dan satu RUU itu menunjukkan sebagian besar pasal UU tersebut baik untuk negeri ini. Persoalannya, pertama, pemerintah dan DPR –sebagai pembuat UU– lewat UU Pemilu itu kembali membuat ketentuan yang dapat membredel penerbitan pers. Kedua, UU KIP dan UU ITE mengandung sejumlah pasal yang dapat memenjarakan wartawan karena pekerjaan jurnalistik. RUU KUHP berisi 61 pasal yang dapat mengkriminalkan pers.

Apa yang salah dengan Dewan Pers menolak kebijakan pemerintah dan DPR yang masih membuat UU dan draf RUU KUHP yang (1) kembali menghidupkan ketentuan yang dapat membredel pers dan (2) semakin mengancam kemerdekaan pers dengan politik hukum kriminalisasi pers?

Pertama, berdasar UU Pers, Dewan Pers berfungsi menjaga kemerdekaan pers. Juga Dewan Pers melaksanakan amanat dari tiga konstituennya, PWI, AJI, dan IJTI, yang menolak kriminalisasi pers.

Kedua, Dewan Pers menolak (1) ketentuan pembredelan pers dan (2) politik hukum yang mengkriminalkan pers karena dua alat kendali kekuasaan tersebut pada akhirnya akan melumpuhkan fungsi kontrol pers. Fakta-fakta empiris selama 63 tahun ini menunjukkan, lumpuhnya kontrol pers dan terbelenggunya kemerdekaan pers hanya menguntungkan pejabat, politisi, dan pengusaha yang tidak becus dan korup atas beban rakyat (at the people’s cost). (*)

 

Harian Seputar Indonesia, 10 Juni 2008.