Carut Marut Rangkap Jabatan di Dunia Kewartawanan

Carut Marut Rangkap Jabatan di Dunia Kewartawanan
07 Juli 2008 | Administrator

Oleh Herutjahjo Soewardojo
Anggota Pokja Dewan Pers
BEBERAPA minggu lalu, terjadi kontroversi mengenai rangkap jabatan di dunia birokrasi. Sejumlah pejabat negara duduk sebagai komisaris di BUMN. Ada yang setuju, tidak setuju, dan ada pula yang mengambil “jalan tengah”: rangkap jabatan tidak masalah asal wajar, tidak rangkap gaji.

 

Jika kasus di birokrasi menimbulkan pro-kontra sebaliknya rangkap jabatan di dunia kewartawanan terkesan tidak menjadi kontroversi. Bahkan tidak diusik oleh kalangan pers sendiri. Paling tidak pers yang —meminjam istilah yang muncul di Dewan Pers— bukan mainstream.

 

Kasus rangkap jabatan di dunia kewartawanan itu sengaja diberi tanda kutip. Pasalnya, jika rangkap jabatan di birokrasi —yang menjadi kontroversi akhir-akhir ini— adalah pejabat-pejabat tinggi yang, karena kedudukannya, kemudian diangkat menjadi komisaris di BUMN, sementara rangkap jabatan di dunia pers dilakukan siapa saja dan lebih mengacu sebagai penambah penghasilan alias memperoleh rangkap gaji.

Soal upah
Jika dirunut kasus-kasus sengketa pers baik antarmedia maupun media dengan masyarakat —untuk sebagian terutama non mainstream— seringkali “ujung-ujungnya duit”. Celakanya masalah pengupahan memang merupakan problema yang menonjol di dunia penerbitan pers.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) beberapa waktu lalu melakukan survei mengenai upah layak jurnalis. Hasilnya sungguh menyedihkan. Menurut survei AJI Indonesia atas 400 jurnalis dari 77 media di 17 kota,  masih ada jurnalis yang diupah kurang dari 200 ribu rupiah, jauh lebih rendah dari upah minimum yang ditetapkan pemerintah.

Survai serupa sebelumnya juga dilakukan oleh Hanitzsch (2004, -unpublished) sebagaimana dikutip Effendi Ghazali dalam makalahnya berjudul: Kekecewaan Publik terhadap Pers: Dari Munir yang “Tenggelam” di tengah Tsunami Sampai Jurnalis dengan Kepribadian Terbelah (2005). Atas survei yang dilakukan Hanitzsch pada Agustus 2001 hingga Februari 2002 terhadap 385 jurnalis yang berada di Jakarta, Yogyakarta dan Sumatera Utara itu, Effendi Ghazali menulis sbb.:

Sebanyak “68,5\\% jurnalis Indonesia menerima gaji bulanan antara 1 hingga 3 juta rupiah (antara 120 hingga 360 dolar Amerika pada waktu itu); hanya 9\\% yang menerima gaji di atas angka tersebut. Gaji seperti ini dianggap sudah lebih baik dari rata-rata penghasilan penduduk di daerah dimana riset dilakukan Hanitzsch.

Namun demikian, 19\\% wartawan Indonesia harus hidup dengan gaji sekitar 500 ribu hingga 1 juta rupiah per bulan (60 sampai 120 dolar), dan 3,5\\% menerima lebih rendah dari 500 ribu rupiah. Hanitzsch mencatat bahwa gaji di bawah 1 juta rupiah tidaklah cukup untuk menopang hidup sebuah keluarga urban Indonesia”.

Kemudian Ghazali menambahkan: “Barangkali karena hal itulah, dalam penelitiannya, ia (Hanitsch -- pen) menemukan 1 dari 4 wartawan di Indonesia memiliki pekerjaan sampingan (huruf tebal dari saya — pen) sebagai sopir taksi atau bahkan bekerja sebagai pegawai negeri. Hebatnya, 77\\% jurnalis mengatakan bahwa mereka puas dengan pekerjaannya; 22,6 persen malah mengatakan sangat puas”.

Tidak jelas apakah mereka “puas” dan “sangat puas” karena memiliki pekerjaan sampingan yang kadang-kadang melebihi gajinya itu. yang jelas apa yang diungkapkan dalam penelitian itu tidak terlalu mengejutkan. AJI memberikan data lebih “gres”:  sekitar 580 media cetak yang masih terbit di awal 2008, hanya 30\\% yang sehat bisnis. Dari sekitar 2.000 stasiun radio dan 115 stasiun televisi pada kurun yang sama hanya 10\\% yang sehat bisnis.

Tidak heran, kalau secara olok-olok sering disebut-sebut ada penerbitan yang “menggaji” wartawannya cukup dengan kartu pers. Tampaknya kartu pers untuk sebagian wartawan merupakan senjata lebih ampuh ketimbang kemampuan profesionalnya.

Satu ketika sebuah penerbitan pers —tidak etis untuk disebutkan namanya— mengadakan rasionalisasi besar besaran agar tetap hidup. Hampir 90\\% karyawan di sektor manajemen penerbitan itu segera mendaftarkan untuk mengundurkan diri karena memperoleh uang pesangon lumayan. Akan tetapi hanya di bawah 1\\% karyawan di sektor pemberitaan terutama wartawan yang ingin mengundurkan diri, selebihnya tetap bertahan bahkan ada yang mengaku mau menerima gaji separoh dari semestinya – asalkan kartu pers tidak dicabut.       

Dilematis
Masalah pengupahan itulah kemudian merembet ke “rangkap jabatan” yang berakumulasi pada carut marut di jagad kewartawanan. Konflik kepentingan sering terjadi dan berujung pada pelanggaran Kode Etik Jurnalistik.

Sekadar sebagai contoh dapat digambarkan sebagai berikut: Dua surat kabar bersengketa. Perkaranya lebih merupakan sengketa bisnis di antara oknum-oknumnya. Akan tetapi karena kedua belah pihak berperan ganda sebagai wartawan dan sekaligus pengusaha, sengketa itu kemudian berujung ke pemberitaan. Mereka menggunakan medianya untuk berkampanye, menyerang dan menghakimi pihak lain. Jelas, keduanya sama-sama melanggar Kode Etik Jurnalistik.

Dalam hubungan itu —meskipun tidak langsung— tidak bisa dikesampingkan pembicaraan soal amplop. Kecilnya gaji menyebabkan wartawan terkena penyakit “rawan amplop”. Pro-kontra pun terus merebak hingga kini: bolehkah wartawan menerima amplop. Wartawan yang berada di jalur mainstream sangat mengharamkan pemberian amplop. Tetapi wartawan di penerbitan abal-abal (ini juga istilah yang muncul di Dewan Pers) justru memburu amplop. Kemudian ada pula yang mengambil jalan tengah: boleh menerima amplop sepanjang tidak mempengaruhi berita, sesuatu yang masih diragukan pastinya.

Sialnya profesi wartawan memang mudah dimasuki siapa saja. Profesi itu terbuka bak tanpa pagar. Ghazali menulis —mengutip sejumlah pakar komunikasi— tidak mudah menganggap profesi wartawan langsung sama dengan dokter, jaksa, advokat, dan lain-lain. Semua profesi itu memiliki standar yang lebih jelas yakni sekolah tertentu, dengan ijazah tertentu, kadangkala masih ditambah ujian tertentu dari asosiasinya.

Memang ada yang mengatakan bahwa wartawan merupakan profesi terbuka. Profesi itu dapat dimasuki siapa saja dengan disiplin ilmu bermacam-macam. Akan tetapi, seperti halnya guru, yang kini juga merupakan profesi terbuka, tetap disyaratkan adanya tambahan pendidikan tertentu yang mengacu pada profesi itu, sedangkan wartawan tidak – sekurang-kurangnya untuk wartawan jenis “itu”.

Karena itulah mungkin profesi wartawan semakin diminati banyak orang karena gampang meraihnya dan dianggap paling mudah untuk mencari penghasilan dengan segala eksesnya. Tanpa pendidikan pers, siapa saja bisa mendirikan penerbitan pers, mengangkat diri menjadi wartawan dengan mencetak kartu pers dan  kartu nama.

Penerbitan semacam itu menjamur di era reformasi dengan tujuan semata-mata mencari uang. Tidak ada idealisme profesional sedikit pun. Hal itu diperparah oleh kondisi masyarakat sendiri yang, untuk sebagian, masih belum melek media. Mereka tidak bisa membedakan antara wartawan mainstream dengan wartawan abal-abal. Akibatnya sepak terjang wartawan yang disebut terakhir itu semakin menggila. Mereka memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat untuk memperoleh keuntungan. Banyak pengaduan yang masuk ke Dewan Pers karena ulah wartawan abal-abal.

Menghadapi kasus itu, ada dua pendapat: Pertama, biarkan saja karena tindakan wartawan itu lebih bersifat kriminal. Itu bukan ranah Dewan Pers melainkan aparat penegak hukum. Kedua, tetap ditangani dengan melihat sungguh-sungguh pelanggaran kode etik jurnalistiknya sebagai proses pembelajaran. Sedangkan tindakan kriminalnya diserahkan ke aparat penegak hukum. Jika tidak ditangani bukan tidak mungkin ada tangan lain yang mengambil alih dan menuding Dewan Pers melakukan pembiaran atas pers semacam itu. Lebih berat lagi kalau disalahpahami, merebaknya wartawan abal-abal merupakan dampak langsung dari kebebasan pers yang  kebablasan.

Namun pertanyaan tetap menggantung: Bolehkah pekerja pers mempunyai rangkap jabatan atau pekerjaan sampingan? Mungkin disini akan muncul tiga pendapat. Pertama, tidak boleh karena akan menimbulkan konflik kepentingan yang berujung menabrak UU Pers dan KEJ. Ini yang sangat dianjurkan oleh Dewan Pers. Kedua, boleh demi menambah penghasilan yang kecil. Ketiga, --ini jalan tengah-- tidak masalah sepanjang hanya mengenai jabatan non wartawan seperti pemimpin perusahaan. Mana yang dipilih?*

Tulisan ini opini pribadi