Surat Pembaca

Surat Pembaca
11 Agustus 2008 | Administrator

Oleh Lukas Luwarso
Sekretaris Eksekutif Dewan Pers
Di Indonesia, banyak hal yang sebenarnya sederhana dan gampang seringkali menjadi rumit dan complicated. Misalnya, menyangkut Surat Pembaca. Lazim dipahami bahwa rubrik Surat Pembaca, yang disediakan oleh hampir setiap suratkabar, merupakan sarana bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat, saran, keluhan, pertanyaan, atau peringatan yang berguna untuk diketahui masyarakat. Surat Pembaca merupakan aspek  kebebasan ekspresi dan kebebasan menyampaikan pendapat dalam iklim demokrasi.

 

Namun kelaziman menyangkut surat pembaca, yang wilayahnya diatur dalam ranah etika pers, menjadi “membingungkan” ketika belakangan ini muncul preseden: surat pembaca diadili. Bahkan, yang lebih membuat pening, terdapat empat putusan pengadilan yang berbeda mengenai surat pembaca. Ada hakim yang menggunakan KUHPerdata, sehingga membebaskan penulis surat pembaca; ada hakim yang menghukum penulis surat pembaca dengan hukuman pidana.

 

Akibatnya muncul wacana menyangkut “pertanggungjawaban surat pembaca”. Seolah menulis --dan rubrik-- surat pembaca menjadi semacam soal luar biasa atau institusi yang perlu dituntut atau diatur dalam berbagai aspek sistemik seperti: “kompetensi, kualifikasi, spesifikasi, akurasi, aplikasi termasuk administrasi” surat pembaca.

Padahal surat pembaca adalah bunga rampai pikiran dan persoalan masyarakat-pembaca yang disampaikan ke media. Masyarakat  boleh menulis apa saja, pengelola media-lah yang musti memilah dan mengolah surat macam apa yang layak dipublikasikan dan disebarluaskan. Inilah esensi përtanggungjawaban etis penggelola media terhadap surat pembaca. Secara etis, jika ada materi surat pembaca yang merugikan pihak lain, maka pihak yang dirugikan perlu merespon dan meluruskan melalui surat pembaca. Surat dibalas dengan surat.

Dalam diskusi yang diselenggarakan Dewan pers untuk membahas persoalan surat pembaca ini muncul sejumlah rekomendasi yang gampang dan mujarab. Untuk Redaksi Pers: Rubrik surat pembaca bukanlah ”mimbar bebas” tempat siapa saja boleh melontarkan tulisan apa saja. Pengelola pers musti bertanggung jawab, antara lain dengan melakukan editing, sedapat mungkin menghapus kata atau kalimat yang kontroversial  menjadi faktual dan netral. Terhadap surat pembaca yang berisi tuduhan, diupayakan menyampaikan ke pihak tertuduh, dan memuat jawaban tertuduh dalam waktu bersamaan. Tidak menerbitkan surat pembaca yang cara penulisannya tidak etis, atau menjadikan informasi surat pembaca yang faktual dan menarik sebagai bahan untuk dikembangkan menjadi berita

Untuk kalangan masyarakat: Memanfaatkan rubrik surat pembaca sebagai sarana tukar informasi dan menyuarakan opini secara sehat, dengan menggunakan bahasa sesuai kaidah sosial dan faktual. Menghindari penggunaan kata-kata yang dapat diperkarakan secara hukum. Untuk pihak yang dirugikan oleh isi surat pembaca: Gunakan tanggapan balik dengan menulis surat pembaca. Kesalahan kata-kata diluruskan dengan kata-kata.

Sedangkan untuk aparat hukum (polisi, khususnya): Tidak perlu tergopoh-gopoh langsung memproses atau menanggapi laporan pelanggaran hukum menyangkut surat pembaca. Konsultasi ke Dewan Pers menyangkut materi yang kontroversial agar persoalannya dapat diselesaikan melalui dialog dan musyawarah.

Jika proses dan pemahaman menyangkut surat pembaca berjalan baik, tentunya tidak perlu ada wacana ”pertanggungjawaban hukum dalam surat pembaca.” Rubrik surat pembaca dikembalikan pada proporsinya. Aparat hukum tidak perlu repot mengurus surat pembaca, sehingga tidak memperumit persoalan yang sebenarnya mudah diselesaikan.*