Hak Konstitusi Pers
04 September 2008 | Administrator
Oleh Wikrama Iryans Abidin
(Anggota Dewan Pers, pemerhati politik hukum pers)
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak Judicial Review (JR) usulan Risang Bima Wijaya, dan Bersihar Lubis. Pasal-pasal 310 ayat 1 dan 2, 311 ayat 1, Pasal 316 dan 207 dinyatakan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Konklusi MK, kehormatan pribadi, nama baik, martabat individu warga negara dan pejabat yang tengah bertugas adalah hak konstitusional (constitutional right) yang harus dilindungi hukum.
Kaji ulang terhadap tanggung jawab yang timbul atas dasar kesalahan (liability based on fault), disarankan MK dilakukan melalui legislative review. Artinya, tempatnya bukan melalui JR di MK, akan tetapi lewat jalur legislative jurisdiction dengan upaya amandemen atau revisi materi muatan undang-undang. Perspektif perubahan itu harus ke arah yang lebih melindungi dan menjamin kemerdekaan pers.
Putusan MK ini, tentu mengundang silang pendapat. Sebab, pada putusan MK terakhir bertolak belakang dengan Putusan MK tentang pencemaran nama baik presiden atau wakil presiden, yang juga potensial berkaitan dengan persoalan hukum akibat pemberitaan pers. Tatkala memutuskan JR Pasal-pasal 134, 136 b, 137 KUHP tentang penghinaan presiden dan wakil presiden, MK justru menyatakan pasal–pasal penghinaan tersebut harus dicabut. Sebaliknya ketentuan pasal-pasal yang memenjarakan wartawan akibat pemberitaan yang dianggap dapat mencemarkan nama baik pribadi dan pejabat biasa malah tetap diberlakukan.
Jika ditafsirkan secara sederhana putusan MK di atas, menghina dan mencemarkan pribadi dan pejabat biasa, adalah hak konstitusi. Menghina dan mencemarkan nama baik dan kehormatan presiden bukan hak konstitusi. Menghina dan mencemarkan nama baik individu dan pejabat biasa, dapat dihukum karena ketentuan pidananya masih berlaku. Sedangkan menghina dan mencemarkan nama baik presiden tidak bisa dipidana, karena ketentuan pidananya sudah dicabut.
Begitu juga dari sudut berat ringannya hukuman pelanggaran pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dibandingkan dengan pencemaran dan penghinaan terhadap individu juga mengundang pertanyaan. Menghina presiden dan wakil di dalam ketentuan Pasal 134 KUHP, ancaman hukuman penjara maksimal enam tahun. Sedangkan sanksi maksimal pelanggaran dalam Pasal 310 KUHP, satu tahun empat bulan; Pasal 311, empat tahun; Pasal 316, ditambah 1/3 dari pasal sebelumnya.
Risang Bima Wijaya, dan Bersihar Lubis mengajukan upaya Judicial Review (JR) ke Mahkakah Konstitusi (MK) tentang ketentuan pidana yang selama ini potensial menjadi momok wartawan tentunya bukan tak beralasan, atau membabi buta. Sebab, beranjak dari Putusan MK yang mencabut pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, hati siapa yang tak berbunga-bunga.
Sebab, di era merdeka dan demokratis ini, seorang presiden adalah jelmaan kedaulatan rakyat. Artinya, ia cuma pelaksana amanah yang bersumber dari rakyat. Di dalam gagasan kedaulatan rakyat, seorang presiden dan wakilnya boleh-boleh saja disentil, dikritik dan diawasi rakyatnya, misalnya lewat media. Sebagai pemegang tampuk amanat rakyat, seorang pejabat tertinggi negara tidak boleh berkuping tipis, mudah tersinggung, lalu menggunakan pasal-pasal hatzaai artikeelen yang sudah usang.
Apalagi jika sentilan, kritik disampaikan wartawan lewat karya jurnalistik. Maknanya akan berbeda jika disampaikan oleh pamlet politik, atau media propaganda yang sulit dipertanggungjawabkan itikad baik, objektifitas, dan pertimbangan kepentingan umum di baliknya. Secara empiris, spirit dari putusan MK tentang pencabutan ketentuan penghinaan presiden dan wakil presiden itu ternyata berdampak positif. Hal itu, dapat dilihat lewat sejumlah pengaduan masyarakat yang ingin menyelesaikan sengketa pers lewat jalur di luar hukum pidana ke Dewan Pers.
Sejak enam tahun terakhir, sudah 1000-an kasus yang diadukan dapat diselesaikan dengan baik melalui mekanisme mediasi off-court di Dewan Pers. Dari berbagai kasus yang di mediasi itu, selain warga biasa, ada pula mantan jenderal, menteri aktif, Wakil Presiden, MUI, kalangan agama, gubernur. Bahkan, Presiden SBY pun menyelesaikan pemberitahaan yang semula dianggap berdampak mencemarkan nama baiknya lewat mekanisme hak jawab di Harian Kompas.
Filosofi dari mediasi atau penggunaan hak jawab publik, media bukan mustahil melakukan kekekliruan, kekurangan cermat di dalam melakukan proses kegiatan jurnalistik di tengah tekanan waktu mengejar tuntutan masyarakat akan berita yang aktual. Sebaliknya, media yang dinilai telah merugikan nama baik dan kehormatan seseorang akibat pemberitaannya, harus pula segera melayani hak jawab atau koreksi publik dengan baik. Dengan kata lain, pihak media tak boleh bersikap merasa paling benar. Sedangkan publik, diharapkan tidak boleh main hakim sendiri atau main jalur hukum. Sebab, keduanya sama buruk akibatnya terhadap kemerdekaan pers.
Dengan kata lain keseimbangan hak publik untuk mengetahui informasi terbaru apa yang terjadi di muka bumi ini melalui sarana media, dengan hak individu atau pihak manapun yang merasa dirugikan akibat pemberitaan itu, mesti dilindungi dan diselesaikan secara seimbang, adil dan sesegera mungkin. Itulah yang selama ini sudah berjalan. Realitas positif ini pun, ternyata didukung pula lewat putusan Kasasi Mahkamah Agung (MA), misalnya dalam kasus Majalah Tempo vs Tommy Winata, tentang berita “Ada Tommy di Tenabang.”
MA membatalkan putusan tingkat pertama dan banding yang menghukum Pemred Tempo Bambang Harymurti. Alasannya, kemerdekaan pers adalah pilar demokrasi. Sedangkan produk jurnalistik, adalah bagian dari upaya memenuhi hak dan kepentingan publik untuk mengetahui. Tapi pertanyaannya, mengapa Risang dan Bersinar, masih juga bernasib buruk dikenakan pasal-pasal pidana yang memenjarakan wartawan itu? Padahal, kasusnya tak berbeda. Pasalnya masih menggunakan pasal yang sama, bersumber dari produk hukum kolonial Belanda bertajuk asli Wetboek Van Straftrecht, yang diterjemahkan menjadi KUHP.
Dengan kata lain, MA memandang prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan yang dianut MK, tidak sepenuhnya bisa diterapkan terhadap karya jurnalistik. Apalagi kalau dihadapkan dengan ciriminal intend. Sebab, di dalam karya jurnalistik senantiasa melekat good faith, itikad baik demi melayani kepentingan umum. Dalam konteks penerapan undang-undang, Itikad baik dan unsur kepentingan umum itulah yang mestinya menjadi faktor pemaaf atas kekhilafan karya jurnalistik. Jadi tidak semata melihat perbuatan dan akibatnya secara rigit.
Putusan MK terhadap JR yang diajukan Risang dan Bersihar tentang penghinaan terhadap individu dan pejabat, ternyata berlainan dengan JR penghinaan terhadap presiden dan wakilnya. Artinya, pentingnya mempertimbangkan unsur itikad baik dan kepentingan umum, seperti yang dianut MA, diabaikan. Itulah sebabnya, Putusan kasasi MA tentang kasus penghinaan yang dituduhkan terhadap Bambang Harymurti disandingkan dengan Risang – Bersihar, bedanya ibarat bumi dan langit dengan putusan pengadilan tingkat pertama dan banding.
Itulah bagian kecil sangkarut hukum kita. Tidak ada pegangan pasti. Termasuk dalam kaitan hukum tentang pers. Begawan Pers, Atmakusumah ketika bersaksi di MK di dalam kasus JR Risang – Bersihar, mengatakan, di negara demokrasi yang menghormati gagasan kemerdekaan pers sebagai pilar keempat demokrasi, sudah tidak ada lagi kasus pemenjaraan wartawan akibat berita yang ditulisnya. Kasus defemasi, selayaknya diselesaikan melalui media di luar jalur peradilan, hak jawab, mengadu ke Dewan Pers, atau melalui gugatan perdata.
Liem Koen Hian, pemimpin redaksi Koran Sin Po, dalam hal hak konstitusi yang disebut MK mungkin benar. Pada Rapat Besar Badan Panitia Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 14 Juli 1945 mengatakan, “Perlindungan terhadap kemerdekaan pers harus dicantumkan di dalam konstitusi, karena droek pers diperlukan untuk menyinari kebobrokran masyakrat dan penguasa.” Tanpa pelanggaran hak konstitusi pers, MK tak mungkin menguji materi UU yang ditenggarai menghambat kemerdekaan pers.
Sayang usul hak konstitusi kemerdekaan pers itu ditolak. Kini, 63 tahun kemudian, kita menuai kasus ketidakpastian proteksi kemerdekaan pers. Gagasan kemerdekaan pers, ibarat berumah di tepi pantai. Jika pasang gelombang datang mengancam, ia bisa punah. Jika badai berlalu, mungkin ia muncul lagi.
Jelas sudah kini. Jawabannya, hak konstitusi pers. Selama kemerdekaan pers tidak dilindungi secara eksplisit di dalam batang tubuh UUD 1945, ia senantiasa rentan jadi mainan politik sesaat. Penyelesaian melalui proses legislatif, termasuk kategori sesaat, sesuai sistem dan kepentingan politik yang berkuasa. Kalau penguasanya otoriter, produk hukum (pers)nya akan represif. Kalau penguasanya lagi purba (pura-pura) demokratis, maka produk hukumnya aspiratif, melindungi kemerdekaan pers.
Itulah sebabnya, Pasal 28 UUD 1945 mesti diamandemen. Usul legislative review juga tak salah untuk jangka pendek. Setidak-tidaknya, mesti ada pasal-pasal kunci yang mengatakan, misalnya, terhadap kasus pers hanya UU Pers yang boleh dipakai. Atau upaya hukum terhadap akibat pemberitaan pers, hanya terhadap kasus-kasus yang bermuatan criminal intend. Dikatakan jangka pendek, kalau hanya sebatas amandemen undang-undang, ia mudah ditebas dan diutak-atik kekuasaan. Itulah sebabnya, perubahannya mesti lewat jalur amandemen konstitusi yang materi muatannya menjamin dengan pasti: tidak ada suatu produk hukum pun dapat dibuat dan boleh berlaku jika bertentangan dengan prinsip kemerdekaan pers.
Jika hak konsitusi pers dijamin, praktisi pers bisa bebas dari mimpi buruk masuk penjara. Liem Koen Hian, mungkin akan tersenyum lebar di alam kubur sana. Juga, tak perlu ada UU apapun tentang pers. Sebab setiap UU manapun yang mencoba membatasi dan bertentangan dengan kemerdekaan pers akan disapu habis oleh kekuatan hak konstitusi.*