Warga Wartawan
17 September 2008 | Administrator
Oleh Lukas Luwarso
Sekretaris Eksekutif Dewan Pers
Di era media interaktif, profesi jurnalisme telah mati. Pembunuh profesi wartawan adalah teknologi internet. Kini, wartawan adalah siapa saja yang dapat mengakses internet, menulis, dan meng-up-load (mengirim) informasi ke media maya. Media tradisional--seperti koran, majalah, termasuk radio dan stasiun televisi yang non-interaktif—boleh saja merasa memiliki eklusivitas mengidentifikasi siapa wartawan atau bukan, namun siapa peduli?
Media massa terus bertransformasi, era media tradisional menjelang usai. Era broadsheet membawa satu koran untuk satu pembaca; broadcast membawa satu acara ke jutaan pemirsa; broadband membawa jutaan media (cetak, siaran, dan cyber) ke satu orang. Kini informasi yang mencari pembaca atau penonton, bukan sebaliknya. Dan informasi diproduksi dan disebarkan tanpa mengenal tenggat waktu, tidak ada dead-line dan tidak ada jeda. Media tradisional musti didampingi dengan media-maya agar tidak terjadi jeda-informasi. Websites dan wartawan warga kini adalah bagian esensial dari jurnalisme.
Pasokan informasi yang tanpa henti itu jelas tidak mungkin lagi cuma disediakan oleh sekelompok orang yang dulu eklusif dikenal sebagai wartawan. Kerja menyebarkan informasi telah secara suka rela diambil alih oleh wargawan (Wartawan-warga). Karena dikerjakan secara beramai-ramai, informasi wargawan seringkali lebih lengkap dan akurat ketimbang laporan satu atau beberapa wartawan.
Itu sebabnya, CNN memiliki program berita “I-Report” (yang juga diadopsi oleh Metro-TV), Yahoo meluncurkan YouWitnessNew, yang “mempekerjakan” ribuan wargawan tanpa harus memberi gaji. Tidak aneh, jika satu portal berita di Kanada, NowPublic, mengklaim mempunyai “reporter” sebanyak 60.000. Selain itu, melalui blog, jutaan individu kini bukan saja dapat mengklaim sebagai wartawan, melainkan juga memiliki media. Blogging kini sinonim dengan reporting.
Blogging kadang lebih unggul dari sekadar reporting (di media tradisional), karena dapat berinteraksi dengan pembaca. Jika satu informasi tidak lengkap, kurang akurat, atau bahkan salah, maka segera dapat di lengkapi, dikoreksi atau dicabut. Persoalan pelayanan hak jawab, yang begitu rumit dalam media cetak atau siaran, tidak berlaku lagi. Pihak yang dirugikan oleh satu informasi di blog dapat menulis komentar (hak jawab) yang lebih panjang, di tempat yang sama, dan dalam waktu hampir bersamaan.
Bukan itu saja, pembaca blog dapat sekaligus menjadi narasumber, reporter, atau redaktur untuk melengkapi dan memperbaiki informasi. Sehingga kelemahan seorang reporter dalam mengemas informasi dapat disempurnakan oleh pembaca yang juga reporter, redaktur dan narasumber. Intinya, dalam media maya dimungkinkan adanya gotong royong dalam mengumpulkan, mengolah, dan menyampaikan informasi.
Dengan demikian, tidak berlebihan jika harus diwartakan: turut bela sungkawa atas matinya profesi wartawan. Profesi ini telah menjadi ketinggalan zaman, gagap, dan uzur. Khususnya, berita kematian ini tertuju pada mereka yang masih menyebut diri “insan pers” yang lebih sering meneriakkan bahwa wartawan adalah “profesi”, namun tidak pernah menerapkan profesionalisme. Bagi wartawan profesional sejati--yang tidak pernah menyatakan wartawan adalah profesi—yang mati adalah cuma penamaan, bungkus, jasad, bukan esensi. Jurnalisme adalah karya, dan karya tidak akan pernah mati.*