Makna Kebebasan Pers dan Citra Polisi

Makna Kebebasan Pers dan Citra Polisi
28 Oktober 2008 | Administrator

Oleh Bekti Nugroho
Anggota Dewan Pers
Di tengah gencarnya Dewan Pers menyosialisasikan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Jumat, 15 Agustus 2008, majelis Mahkamah Konstitusi (MK) membuat “kejutan”. Dalam putusannya, MK menolak permohonan uji materi (judicial review) pasal pidana penjara untuk penghinaan dan pencemaran nama baik (Pasal 310 ayat 1 dan 2, Pasal 311 ayat 1, Pasal 316 dan Pasal 207 KUHP). MK menilai pasal-pasal tersebut tidak bertentangan dengan Konstitusi. Sebab, perlu perlindungan terhadap pejabat publik yang menjalankan tugas. Padahal, dalam keputusan sebelumnya soal pasal penghinaan presiden, MK memutuskan pasal sejenis tidak berkekuatan hukum tetap.

 

Putusan ini adalah jawaban tuntas atas permohonan uji materi wartawan Radar Jogja, Risang Bima Wijaya, dan kolomnis (mantan wartawan) Bersihar Lubis. Risang dihukum enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Sleman dan harus menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan Sleman. Sedang Pengadilan Negeri Depok memvonis Bersihar satu bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan.

 

Risang diperkarakan karena beritanya di harian Radar Jogja tentang dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Soemardi Wonohito, Pemimpin Umum harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Sementara Bersihar dituntut oleh seorang jaksa karena menulis opini di Koran Tempo, 17 Maret 2007, berjudul “Kisah Interogator yang Dungu”. Tulisan ini terkait dengan pelarangan peredaran buku pelajaran SMP dan SMA oleh Kejaksaan Agung karena di dalamnya tidak mencantumkan Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan Gerakan PKI tahun 1965.

Di sisi lain, semakin banyak pula pengaduan yang diterima Dewan Pers. Tahun 2005 tercatat 139 pengaduan, tahun 2006 ada 212, dan tahun 2007 menjadi 324 pengaduan. Tahun 2008 ini, hingga bulan Juli, sudah ada 214 pengaduan, jumlahnya meningkat secara signifikan dibanding periode sama tahun 2007.

Banyaknya pengaduan ini bisa dianggap keberhasilan Dewan Pers dalam menyosialisasikan UU Pers dan KEJ. Namun dapat juga ditafsirkan, kendati sudah hampir 10 tahun UU Pers diberlakukan, ternyata masih banyak –untuk tidak menyebut semakin parah– praktik jurnalistik yang tidak profesional.

Contoh mutakhir, yang ramai menjadi bahan diskusi para aktivis pers di internet, yaitu tulisan berjudul “Noni si Nona Nikmat Menghilangkan Penat di Otakku” yang dimuat harian Lampu Merah edisi Minggu, 29 Juni 2008. Di internet muncul berbagai pendapat yang mempertanyakan bagaimana mungkin tulisan semacam ini bisa dikatakan sebagai karya jurnalistik. Padahal dari segi isi dan gaya penulisan tidak beda dengan karya-karya buku stensilan jaman dulu. Akhirnya, setelah dipanggil Dewan Pers, Lampu Merah menyatakan bersalah karena telah memuat tulisan pornografi dan segera meminta maaf kepada khalayak. Permintaan maaf ini dimuat Lampu Merah edisi 9 Juli 2008.

Contoh lain adalah maraknya penerbitan yang menggunakan nama Koran Pemberantas Korupsi atau Koran Pemantau Korupsi yang disingkat KPK. Sementara kita tahu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) merupakan lembaga penegak hukum untuk pemberantasan korupsi. Penggunaan nama ”KPK” ini dipermasalahkan oleh pimpinan KPK.

Itu sebabnya, Dewan Pers telah memanggil para Pemimpin Redaksi ”KPK”. Mereka dianjurkan tidak menggunakan nama ”KPK”. Sebab nama tersebut dapat dikonotasikan seolah-olah milik KPK yang sebenarnya dan berpotensi disalahgunakan. Pada kesempatan itu beberapa pengelola koran ”KPK” bersedia tidak lagi menggunakan nama ”KPK” untuk korannya.

Sementara media profesional juga masih dirundung masalah. Pada 3 Juli 2008 Koran Tempo divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena dinilai tidak melayani Hak Jawab PT. RAPP. Koran Tempo diharuskan membayar Rp.220 juta dan meminta maaf melalui iklan di sejumlah media serta memuat hak Jawab.

Pers dan Demokratisasi

UU Pers dan KEJ jelas menyebut pers yang benar dituntut tetap profesional ---kendati kini marak terjadi disorientasi sistem nilai. Pengungkapan banyak kasus korupsi akhir-akhir ini, menunjukkan kemerdekan pers telah berada di jalur yang benar. Sebab, kebebasan pers dan wartawan yang bebas menggali berita serta mendapat akses informasi, dapat membantu mengikis korupsi.

Peran penting pers saat ini adalah ikut memberantas KKN, membuka forum komunikasi yang sehat, agar terjadi proses dialektika antara masyarakat dan pemerintah. Proses dialektika inilah yang akan menyebabkan terjadinya interaksi sehat bagi para Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri, Presiden dan Anggota DPR dalam setiap pengambilan keputusan. Sehingga setiap kebijakan atau keputusan yang diambil dijamin akan efektif karena telah melalui proses mekanisme demokrasi yang benar. Bukankah itu esensi demokrasi?

Bila kita lihat ke belakang, sejarah pers tidak bisa dilepaskan dari penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg tahun 1445. Berkat mesin cetak inilah maka teks bisa diproduksi secara masal, cepat, dan murah sampai kemudian munculah koran pertama kali di Eropa pada abad 17 dimana abad politik modern mulai mengemuka. Jadi kelahiran pers sangat erat dengan kehidupan politik modern. Politik modern saat ini adalah bagaimana menjalankan praktek-praktek kehidupan bermasyarakat dan bernegara berdasar asas-asas demokrasi. Inilah esensi gerakan politik modern, gerakan republik (res publica = urusan umum).

Paham ini meyakini kekuasaan bukanlah milik raja. Karena itu yang berdaulat adalah rakyat.
Di sinilah pentingnya informasi. Mengapa? Karena untuk menyelenggarakan urusan umum (politik modern) ini, perlu ada yang memerintah (eksekutif). Namun kekuasaan yang telah diberikan itu tidak absolut, perlu dipertanggungjawabkan dan dievaluasi. Sejauh mana dalam periode tertentu pihak eksekutif telah menjalankan kekuasaan yang dipinjamkan itu secara amanah. Atau justru terjadi perselingkuhan elit penguasa (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Masyarakat perlu selalu mendapat informasi untuk bisa membantu dirinya mengambil keputusan, baik saat Pemilihan Umum atau dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini penting karena cita-cita negara republik menuntut masyarakat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik di tingkat lokal, regional, nasional bahkan juga internasional. Untuk itu masyarakat berhak tahu siapa yang bakal memimpin dan memerintah, partai-partai politik dan berikut kebijakan-kebijakan yang akan maupun yang telah diputuskan. Dari sini peran pers menjadi penting.

Kebebasan Pers dan Citra Polisi

Harapan terhadap peran pers dalam kondisi pelik. Sebab para jurnalis masih dibayang-bayangi ancaman pasal-pasal dalam KUHP tentang pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan. Padahal, semestinya masyarakat sadar, jurnalis bekerja demi kepentingan umum (res publica).

Keberadaan beberapa lembaga, seperti Kejaksaaan Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Kepolisian merupakan berkah dari demokrasi. Karena itu, hendaknya kebijakan dari lembaga tersebut tidak membunuh anak demokrasi bernama “kebebasan pers”. Faktanya, MK menolak permohonan uji materi pasal pencemaran nama baik dan penghinaan pejabat yang diajukan komunitas pers; Kepolisian tetap lebih suka menjerat wartawan dengan KUHP; para jaksa juga dengan senang hati membawa masalah-masalah pers ke pengadilan; dan yang lebih memprihatinkan para hakim juga masih ada yang memvonis bersalah pers dengan hukuman yang berlebihan, kendati ada UU Pers dan Dewan Pers.

Segalanya sudah terjadi: MK telah mengetuk palu putusannya di tengah peringatan kemerdekaan Indonesia ke-63, dan tetap saja ada aparat kepolisian yang lebih bersemangat menangani kasus pengaduan terhadap pers daripada menangani kasus-kasus korupsi yang lebih jelas dampak kerugiannya bagi publik. Biar sejarah pula yang mencatat, apakah mereka termasuk yang akan dikenang sejarah sebagai perwira polisi yang menghargai kebebasan pers.

Andai saja Kepolisain ikut menjaga kebebasan pers, citra polisi pastinya akan naik. Sehingga kita mempunyai Kepolisian yang bersih, berwibawa dan bermartabat, khususnya bersama-sama dalam mengawal agenda besar reformasi: menciptakan pemerintah yang baik.

Yang pasti dari sejak jaman kemerdekaan hingga jaman digital ini, tugas dan peran pers tidak pernah berubah. Para praktisi pers sadar, mereka harus memperdayakan mereka yang tidak berdaya, memperkuat yang lemah, mengontrol penguasa dan menyuarakan kaum yang tidak mampu bersuara. Juga menyampaikan aspirasi masyarakat secara benar dan akurat, agar penguasa mengerti setiap kejadian  dan fakta sosial, sebagai bahan masukan. Semua tugas pers ini bertujuan menciptakan kondisi masyarakat yang adil, aman sejahtera, rukun dan damai, sebagaimana cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Adagium ini tentu saja tidak hanya berlaku untuk nasional atau regional, tapi juga di tingkat lokal.

Para praktisi pers akan terus berupaya mewujudkan pers yang profesional, cerdas dan visioner, yang dapat menjaga integritas dan kredibilitasnya. Pers seperti itulah yang dibutuhkan bangsa ini. Hanya dengan cara inilah pers akan tetap mendapat kepercayaan dari publik. Bisnis pers adalah bisnis kepercayaan. Maka bila ada pers tidak lagi mendapat kepercayaan maka pers itu sebenarnya telah mati dan kehilangan peran sosialnya.

Penting bagi pers untuk terus menjaga kepercayaan publik. Caranya dengan terus memahami dan menjalankan UU Pers dan KEJ. Saya yakin dengan begitu para jurnalis akan tercatat sebagai pahlawan informasi, walau harus menjalani hukuman penjara.*