Pers Publik
01 Desember 2008 | Administrator
Oleh Lukas Luwarso
Sekretaris Eksekutif Dewan Pers
Kemerdekaan pers telah berusia 9 tahun, pada 19 September 1999 –mengambil momentum tanggal pengesahan UU No.40/1999 (UU Pers)-- yang menjadi tonggak jaminan kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers, sebagaimana kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berorganisasi, mutlak keberadaannya dalam demokrasi. Pers memerlukan kemerdekaan agar dapat menjalankan peran publik untuk meningkatkan kualitas masyarakat, memperkuat demokrasi, serta membangun kultur transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan negara.
Sepuluh tahun terakhir, kemerdekaan pers di Indonesia sering dipersoalkan, dinilai terlampau jauh (kebablasan), terkesan tanpa rambu, menolak segala bentuk kontrol hukum dan mengabaikan budaya masyarakat. Bagi sebagian kalangan, kemerdekaan pers saat ini hanya menguntungkan komunitas pers -- yang leluasa mengeksploitasi kebebasan, dan lalai menyuarakan kepentingan publik. Namun apa yang dimaksud dengan kepentingan publik dan bagaimana mengukurnya? Tidak mudah mendefinisikan secara jelas dan tegas apa yang dimaksud dengan kepentingan publik.
Minat publik belum tentu adalah kepentingan publik, sama halnya agenda mayoritas masyarakat, tidak dengan sendirinya adalah kepentingan publik. Isu atau informasi pers yang menjadi minat publik, infotainmen atau berita kriminal misalnya, belum tentu berguna bagi kepentingan publik. Media massa yang diminati konsumen – terbesar pembaca dan sirkulasinya – biasanya justru media hiburan. Publik bersifat heterogen, dan seringkali memiliki kepentingan berbeda, saling bertentangan, bahkan berbenturan.
Salah satu fungsi pers adalah menjaga perimbangan dan saluran bagi "kepentingan publik", dengan selalu memperdebatkan dan mempertarungkan gagasan dan pendapat melalui pers. Itulah sebabnya perdebatan menyangkut isu-isu kepentingan publik harus dijamin, melalui kebebasan berekspresi
dan kebebasan pers. Selama pers bisa bebas dari kontrol kekuasaan dan tekanan maka akan selalu ada peluang untuk menyuarakan kepentingan publik dan memenangkan akal sehat. Kebebasan pers dan kepentingan publik berkorelasi secara mutualistik, tidak bisa dipisahkan dan saling mendukung. Kebebasan pers haruslah mencerminkan kepentingan publik. Begitu pula, kepentingan publik, tidak bisa serta-merta menjadi alasan untuk memberangus kebebasan pers.
Indonesia dalam sejarahnya tidak memiliki tradisi kebebasan pers yang kokoh. Kebebasan pers muncul sesaat dan kemudian tenggelam beriringan dengan perubahan politik, seperti pada era pasca kemerdekaan 1945-1959, era Orde Baru 1966-1974, dan saat ini era reformasi yang kembali memunculkan kebebasan pers pada 1998. Era reformasi sepuluh tahun terakhir telah menghadirkan kebebasan pers, namun kebebasan itu tampaknya belum matang dan kokoh fondasinya. Banyak pihak merongrong dan ingin membatasi kembali kebebasan pers, dengan mengatasnamakan kepentingan publik. Misalnya pemerintah, melalui Menteri Komunikasi dan Informatika, telah menganggarkan revisi UU Pers – yang menjamin kebebasan pers – untuk sekadar menjadi UU yang mengatur kebebasan pers.
Benturan antara "kebebasan pers" dengan "kepentingan publik" pernah muncul dalam sejumlah kasus, misalnya: pendudukan dan perusakan sejumlah kantor redaksi media massa sepanjang tahun 2000-2002; penyerbuan sekelompok masyarakat radikal yang mengatasnamakan agama dan moral masyarakat terhadap majalah Playboy, yang seolah menjadi simbol puncak perseteruan menyangkut isu "pornografi versus kebebasan pers" di masyarakat. Kasus lain adalah protes keras masyarakat terhadap tontonan smackdown – yang disukai sebagian masyarakat – di salah satu televisi swasta menyebabkan siaran itu dihentikan.
Juga kontroversi langkah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dengan mengatasnamakan kepentingan publik, mengadukan sejumlah stasiun televisi ke polisi untuk dipidanakan. Kasus pemidanaan dan kriminalisasi terhadap jurnalis dan media yang diadukan anggota masyarakat dalam kaitan pencemaran dan penghinaan masih terus terjadi. Soal lain yang menarik, dalam konteks Aceh, adanya potensi ancaman terhadap kebebasan pers melalui qanun atau peraturan daerah yang mengatur media di wilayah itu dengan mengatasnamakan kepentingan publik. Jika eksperimen mengatur pers di Aceh ini berhasil, bukan mustahil provinsi dan daerah lain akan mengikuti langkah itu.
Dalam contoh kasus di atas, dengan mudah kepentingan publik diatas-namakan oleh kelompok tertentu untuk dihadapkan secara frontal dengan kebebasan pers. Sehingga terkesan kebebasan pers justru bertentangan dengan kepentingan publik. Persoalan ini menjadi sangat relevan ketika mulai muncul suara-suara dari berbagai pihak, termasuk dari DPR dan pemerintah, yang berniat merevisi UU Pers. Jika mayoritas masyarakat (publik?), mulai mempersoalkan dan tidak mempercayai kebebasan pers, bukan tidak mungkin kemerdekaan pers dicabut kembali. Tugas berat komunitas pers adalah menjaga kepercayaan publik, agar kemerdekaan pers melahirkan pers publik, pers yang berorientasi menyuarakan kepentingan publik.*