Pedoman Hak Jawab Memperlancar Mediasi
16 Desember 2008 | Administrator
Oleh Herutjahjo Soewardojo
(Anggota Pokja Pengaduan Dewan Pers)
Seorang pejabat cukup beken, melalui pengacara terkemuka, mengadu ke Dewan Pers. Menurut pengadu, ia telah dizolimi oleh sebuah koran nasional “papan atas”. Ia menilai, pemberitaan media tentang dirinya tidak akurat dan tidak berimbang.
Sang pejabat menuntut agar koran nasional itu, selain memuat Hak Jawab, juga meminta maaf kepada publik dan dirinya atas ketidakakuratan pemberitaan itu. Pengumuman permintaan maaf harus melalui sejumlah koran nasional dan daerah dengan ukuran satu halaman dan dimuat di halaman pertama surat kabar-surat kabar itu. Pasalnya, berita tentang dirinya juga di halaman pertama.
Itu hanya salah satu contoh dari puluhan pengadu ke Dewan Pers. Tuntutan “sebesar” itu lazim diajukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media. Mereka menilai tuntutan itu wajar bahkan masih terlalu enteng jika dibandingkan dengan kerugian yang telah diderita akibat pemberitaan media yang tidak akurat itu. Bagaimanapun, kata mereka, penzoliman telah terjadi dan karena itu nama baik kudu dipulihkan dengan permintaan maaf yang, menurut para pengadu, relatif setara.
Ketika Dewan Pers mencoba memediasi dengan mempertemukan pengadu (yang diwakili pengacara) dengan pimpinan koran yang teradu, terjadi ketidaksepakatan. Redaktur media mengakui beritanya kurang akurat. Dia bersedia meminta maaf namun menolak dimuat di koran-koran lain sebagaimana tuntutan itu, lebih-lebih dalam ukuran satu halaman. Sementara sang pengacara bersedia “menurunkan” tuntutannya yakni hanya di koran bersangkutan tetapi dalam bentuk pengumuman permintaan maaf alias iklan.
Dewan Pers pun mengingatkan, bahwa permintaan maaf di koran lain tidak lazim, lebih-lebih di banyak koran. Permintaan maaf seharusnya hanya di koran bersangkutan. Itu pun tidak dalam bentuk iklan. Tetapi sang pengacara tetap pada pendiriannya bahkan dia menyatakan tuntutan itu sudah menjadi arahan kliennya. Mediasi pun akhirnya tidak tuntas.
Proporsional
Anggota masyarakat yang bersengketa dengan media dan kemudian membawa kasusnya ke Dewan Pers harus diapresiasi. Paling tidak, para pengadu itu cukup faham sekaligus menyadari akan keberadaan Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menyebutkan salah satu fungsi Dewan Pers adalah: “memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers”. (Pasal 15 Ayat (2) d).
Namun, di antara para pengadu ada yang menuntut berlebihan. Ada kesan, sang pengadu ingin mematok permintaan setinggi mungkin kemudian disertai ancaman, kalau tidak dipenuhi akan membawa kasus itu ke jalur hukum dengan tuntutan jutaan rupiah. Padahal niat pengadu dan (tentu saja teradu) membawa kasus itu ke Dewan Pers mestinya untuk memperoleh penyelesaian damai, cepat dan murah. Untuk itu para pihak sangat dituntut memiliki semangat give-and-take dalam bernegosiasi.
Dalam pada itu, secara adil harus dicatat sejumlah media terkadang juga “pelit” bahkan abai dalam melayani Hak Jawab. Ada penanggung jawab sebuah majalah terpaksa menghadapi meja hijau karena mengabaikan Hak Jawab. Sebelumnya sang pengadu “berbaik hati” membawa kasusnya ke Dewan Pers. Media teradu itu menolak ketika dipanggil oleh Dewan Pers untuk diklarifikasi dan diupayakan mediasi. Dewan Pers mengeluarkan Pernyataan Pernilaian dan Rekomendasi (PPR) yang mengharuskan majalah itu memuat Hak Jawab pengadu disertai permintaan maaf. Ternyata PPR itu pun diabaikan. Sang pengadu membawa kasus itu ke pengadilan. Penanggung jawab media itu divonis untuk membayar denda sejumlah uang terhadap pengadu. Harga yang pantas untuk sebuah ketidakpedulian.
Memang ada pendapat “melayani” Hak Jawab tidak sama dengan “memuat” Hak Jawab. Melayani bisa saja dalam bentuk mendengarkan, menampung atau pun mencatat apa yang menjadi keberatan pengadu tetapi tidak harus memuat keberatan itu. Kalau media merasa benar, mengapa harus memuat Hak Jawab. Lebih-lebih meminta maaf. Media merasa sudah melakukan seluruh prosedur peliputan secara profesional: memverifikasi informasi yang diperoleh, menggunakan narasumber kredibel dan melakukan cek dan cek-ulang. Pers melakukan fungsinya melakukan kontrol sosial dan memberikan peringatan dini.
Pendapat itu cukup kontroversial di antara para praktisi media. Yang jelas, pers profesional tidak berarti pers yang tidak bisa salah, tetapi ketika salah harus legowo untuk meminta maaf. Meskipun standar peliputan sudah dijalankan dengan benar, misalnya, bisa saja ketika menuangkan di media tulisan wartawan bersangkutan kurang rapi --untuk tidak mengatakan sloppy-- sehingga menabrak Kode Etik Jurnalistik.
Maka terlepas salah atau tidak salah, memuat Hak Jawab dengan atau tanpa permintaan maaf menjadi keharusan. Pasalnya, secara etik salah satu fungsi pelayanan Hak Jawab adalah menghargai martabat dan kehormatan orang yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers. Apalagi Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU No. 40/1999 mewajibkan pers melayani Hak Jawab dan hak koreksi disertai ancaman pidana denda Rp. 500 juta sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 Ayat (2) undang-undang itu. Dengan demikian persoalan Hak Jawab bukan hanya masalah etik tetapi juga hukum.
Lalu bagaimana pelaksanaan Hak Jawab? Undang-Undang tidak memberikan penjelasan rinci. Namun Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menyebutkan: “Wartawan Indonesia melayani Hak Jawab dan hak koreksi secara proporsional”. Penafsiran proporsional yang disepakati oleh komunitas pers -- karena KEJ disusun oleh komunitas pers sendiri -- adalah “setara dengan bagian berita yang diperbaiki”.
Meskipun sejumlah pihak menyatakan ketentuan itu sudah cukup jelas namun banyak juga yang mempersoalkan kata “proporsional” itu. Proporsional, katanya, lebih mengacu kepada hak koreksi dan bukan Hak Jawab. Dalam mediasi, Dewan Pers sebenarnya mengupayakan bentuk pelayanan Hak Jawab lebih merupakan kesepakatan antara pengadu dan teradu. Jika pihak pengadu dan teradu telah sepakat, apa pun bentuk Hak Jawab tidak masalah dan dengan demikian menjadi “proporsional” dengan sendirinya.
Yang menjadi masalah ketika kesepakatan itu tidak terjadi, maka mediasi pun tidak tuntas. Ketidaksepakatan bisa menyangkut soal keutuhan, waktu, dan tempat pemuatan Hak Jawab. Apakah Hak Jawab harus dimuat utuh atau hanya substansinya saja? Bagaimana kalau Hak Jawab itu berlembar-lembar sedangkan kesalahan hanya satu atau dua alinea? Apakah Hak Jawab yang dikirim lebih dari dua bulan masih harus dilayani? Apakah pemuatan Hak Jawab harus pada tempat atau halaman media dimana berita itu dipersengketakan sebelumnya?
Kini “kerumitan” tersebut diharapkan bisa teratasi dengan keluarnya Peraturan Dewan Pers No. 9/Peraturan-DP/X/2008 tentang Pedoman Hak Jawab (PHJ) pada 29 Oktober 2008. Pedoman yang dalam perumusannya melibatkan banyak komunitas pers baik cetak, elektronik maupun siber serta para pakar dan pengamat pers itu diharapkan dapat membangun kesamaan sikap antara pengadu dan teradu jika sewaktu-waktu terjadi sengketa antara anggota masyarakat dan pers. Asas proporsional dalam Hak Jawab yang sebelumnya, untuk sebagian masyarakat dan pers, dianggap kurang jelas dan sering menjadi sumber kontroversi telah dirinci dalam PHJ.
Niat baik
Kembali ke contoh pengaduan di atas. Dengan keluarnya PHJ yang rinci itu, mungkin pengadu tersebut tidak bisa lagi kukuh menuntut media teradu memuat Hak Jawabnya di berbagai koran nasional maupun daerah, lebih-lebih pengumuman permintaan maaf sebesar satu halaman bak iklan sekalipun di koran itu sendiri – kecuali teradu tidak keberatan.
Butir 13 PHJ menyebutkan Hak Jawab dengan persetujuan para pihak dapat dilayani dalam berbagai format seperti ralat, wawancara, profil, features, liputan, talkshow, pesan berjalan, komentar media siber atau format lain tetapi bukan iklan (huruf tebal dari saya- pen).
Di lain pihak media juga tidak bisa, dengan berbagai alasan, mengabaikan atau menolak memuat Hak Jawab. Karena melayani Hak Jawab memang suatu keharusan kecuali seperti ditentukan butir 12 PHJ. Pasal itu merinci hal-hal yang menyebabkan pers bisa menolak isi Hak Jawab meskipun keharusan memuat Hak Jawab itu sendiri tetap.
PHJ juga banyak memuat berbagai hal rinci lainnya yang selama ini sering mengganjal dalam relasi antara masyarakat dan pers dalam soal Hak Jawab. Lebih khusus ketika dilangsungkan pertemuan tripartit antara pengadu dan teradu Pers untuk menuntaskan sengketa di antara mereka di Dewan Pers.
Meskipun demikian, dalam “pigura besar-”nya kelancaran mediasi akhirnya tetap terpulang pada niat baik pengadu dan teradu itu sendiri. Kalau para pihak memiliki kehendak baik, mediasi akan cepat tuntas dan relasi antara masyarakat dan pers, yang sempat terganggu akibat sengketa, akan pulih kembali.* Tulisan ini opini pribadi