Edaran MA, Sinar Terang bagi Pers

Edaran MA, Sinar Terang bagi Pers
28 Januari 2009 | Administrator

Oleh Leo Batubara
Wakil Ketua Dewan Pers
Perjuangan Dewan Pers untuk melindungi kemerdekaan pers memasuki tahap menjanjikan.
Pada awal tahun 2009, Mahkamah Agung (MA) memberi harapan. Sebelumnya, dalam menyikapi sengketa masyarakat dengan pers akibat pemberitaan media, pers sering diancam pidana penjara dan atau dituntut denda uang yang amat besar.

 

Pada 30 Desember 2008, Pelaksana Tugas Ketua MA (kini Ketua MA) Dr Harifin A Tumpa, SH MH mengirim surat edaran ke semua ketua pengadilan tinggi dan ketua pengadilan negeri di seluruh Indonesia.

 

Surat edaran MA itu berbunyi, ”Sehubungan banyaknya perkara yang diajukan ke pengadilan yang berhubungan dengan delik pers, maka untuk memperoleh gambaran obyektif tentang ketentuan-ketentuan yang terkait UU Pers, maka hakim dapat meminta keterangan seorang ahli di bidang pers. Karena itu, dalam penanganan/pemeriksaan perkara- perkara yang terkait delik pers, hendaknya majelis mendengar/ meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers karena merekalah yang lebih mengetahui seluk- beluk pers secara teori dan praktik”.

Upaya Dewan Pers

Sejak beroperasi pada 19 April 2000, Dewan Pers independen, berpedoman pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, secara proaktif melakukan sosialisasi ke berbagai kalangan. Sosialisasi itu terkait dengan aneka ketentuan yang bersifat reformis dalam UU Pers.

Pertama, pers profesional mendapat amanat melakukan kontrol sosial agar penyelenggara kekuasaan negara dapat dicegah dari tindakan koruptif.

Kedua, jika pemberitaan hasil fungsi kontrol sosial dinilai tidak tepat, akurat, dan benar, berdasarkan Pasal 5 Ayat 2 UU Pers, yang bersangkutan wajib melayani hak jawab. Bila media itu tak melayani hak jawab secara proporsional, berdasarkan Pasal 18 Ayat 2, media itu dapat dipidana denda maksimal Rp 500 juta.

Jika pemberitaan menghakimi (Pasal 5 Ayat 1—berita menghakimi adalah penghinaan dan pencemaran nama baik—berdasarkan Pasal 18 Ayat 1), media itu dapat dipidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Ketiga, UU Pers tidak mengkriminalkan pers yang melaksanakan tugas jurnalistik. Namun, jika media sengaja memuat berita dan bertujuan memeras atau berintensi kebencian (malice) untuk menjatuhkan seseorang, media itu dinilai memiliki itikad buruk, karena itu dapat diproses berdasarkan KUHP dan atau KUH Perdata.

Keempat, untuk mengetahui berita mana yang menjadi ranah UU Pers dan mana yang menjadi urusan KUHP, berdasarkan Pasal 15 Ayat 2 d, Dewan Pers diberi kewenangan untuk memberi pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang terkait pemberitaan pers.

Dewan Pers dalam sosialisasinya mengingatkan, ketentuan UU itu seharusnya mengikat penegak hukum untuk memedomaninya. Dalam pelaksanaannya, ada penyelenggara negara yang mengacunya, tetapi lebih banyak yang memedomani politik hukum kolonial Belanda yang mengkriminalkan pers.

Djadja Suparman dan Laksamana Sukardi mengadu ke Dewan Pers. Dalam pengaduannya, Gubernur Seskogab Letjen TNI Djadja Suparman mengemukakan, ”Enam surat kabar edisi Desember 2002 memberitakan, saat terjadi pengeboman di Bali (12/10/2002), saya dituduh ada di Denpasar dan terlibat pengeboman. Bagaimana mungkin saya ada di Bali? Saat itu saya tugas negara di Vietnam. Berita itu menghina dan mencemarkan nama baik saya. Saya tidak ingin mengadu ke polisi. Memenjarakan wartawan tidak baik untuk pers. Saya minta Dewan Pers memberi pembelajaran kepada mereka.”

Menteri BUMN Laksamana Sukardi mendatangi Dewan Pers, mengadukan empat surat kabar dan majalah edisi September 2004. Teradu menuduh pengadu kabur dan membawa uang 125 juta dollar AS ke Australia. Dia juga dituduh sebagai mafioso.

Pemberitaan media-media itu menghakimi, menghina, dan mencemarkan nama baik pengadu. Secara sengaja, pengadu tidak menempuh jalur hukum karena memidana penjara wartawan akan melumpuhkan fungsi kontrol pers. Pengadu menghargai sanksi berdasarkan UU Pers, yakni pelurusan berita berupa hak jawab dan permintaan maaf.

Pasal karet

Dalam pertemuan dengan Dewan Pers di Jakarta, (25/1/2005) Presiden Yudhoyono menegaskan, ”Penyelesaian masalah berita pers ditempuh, pertama, dengan hak jawab; kedua, bila masih dispute, diselesaikan ke Dewan Pers; ketiga, bila masih dispute, penyelesaian lewat jalur hukum tidak ditabukan sepanjang fair, terbuka, dan akuntabel.”
Dalam pertemuan itu saya memohon, ”Mengingat Kepala Polri dan Jaksa Agung adalah pembantu Presiden, mohon kiranya kebijakan penyelesaian masalah berita pers itu diteruskan kepada Kepala Polri dan Jaksa Agung.”

Dalam perkembangannya, banyak penyelenggara negara resisten terhadap konsep pers merdeka. Pertama, menyikapi perkara-perkara pers yang ditangani penegak hukum, Dewan Pers jarang dimintai pertimbangan. Sepertinya, penyelesaian masalah berita seperti dijanjikan Presiden tidak sampai ke polisi dan jaksa.

Kedua, pemerintah dan DPR kian cenderung mengkriminalkan pers. UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam dua pasalnya dapat memenjarakan wartawan paling lama enam tahun dan/atau denda maksimal satu miliar rupiah bila informasi elektroniknya memuat penghinaan dan pencemaran nama baik. UU Keterbukaan Informasi Publik dapat memenjarakan wartawan sebagai pengguna informasi publik paling lama satu tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500 juta. Sejumlah pasal karet dalam UU No 44/2008 tentang Pornografi berpotensi memenjarakan wartawan serta media 6-12 bulan dan/ atau denda Rp 250 juta dan Rp 6 miliar.

UU No 10/2008 tentang Pemilu dapat memberedel penerbitan pers jika berita dan wawancara serta pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu tidak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang.

Pemerintah sedang merampungkan RUU KUHP, yang jumlah pasalnya meningkat dari 37 menjadi 61 pasal, yang dapat memenjarakan wartawan dan ancaman penjara dan/atau denda lebih berat dari KUHP. Dengan lima produk hukum itu, tahun 2008 dapat disebut tahun paling mengancam pers.

Ketiga, menyikapi konflik dekriminalisasi pers versus kriminalisasi, MK (15/8/2008) memutuskan, aneka ketentuan yang mengkriminalkan pers, Pasal 310 Ayat 1 dan 2, Pasal 311 Ayat 1, Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik, adalah konstitusional. Dengan putusan itu, MK menegaskan keberpihakannya pada politik hukum kolonial Belanda yang mengkriminalkan pers. Mengapa banyak penegak dan pakar hukum mengacu pada KUHP ketimbang UU Pers dalam menyikapi berita?

UU Pers didesain untuk mengontrol penyelenggara kekuasaan dalam membantu pemerintahan yang baik dan bersih. Adapun KUHP meneruskan politik hukum kolonial Belanda dan berorientasi melindungi penjajah dari keluhan dan kritik rakyat terjajah. Mengingat keluhan dan kritik rakyat terjajah dinilai menghina dan mencemarkan nama baik penguasa, hukumannya adalah penjara. Sulit dimungkiri, banyak pejabat memerlukan KUHP untuk melindungi diri dari kritik pers.

Apa kesimpulannya? Surat edaran MA dapat menjadi sinar terang dalam mengefektifkan fungsi kontrol pers bila Kepala Polri dan Jaksa Agung—mengacu pada kebijakan Presiden Yudhoyono (25/1/2005)—juga mengeluarkan surat edaran kepada jajaran polisi dan jaksa agar memedomani UU Pers.*

 

Harian Kompas, Rabu, 28 Januari 2009