Pers Pencemar
17 Februari 2009 | Administrator
Oleh Lukas Luwarso
Sekretaris Eksekutif Dewan Pers
Sepuluh tahun era kemerdekaan pers telah berjalan, namun kesalahpahaman menyangkut persoalan pers dan kerja kewartawanan masih terus terjadi di kalangan aparat hukum. Insiden terbaru terjadi di Makassar, sengketa antara Kapolda Sulawesi Selatan dan Barat, Sisno Adiwinoto, dengan sejumlah wartawan yang tergabung dalam Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar (KJTKPM). Salah seorang aktivis KJTKPM diperkarakan dan diancam pidana atas tuduhan pencemaran nama baik. Perkara tersebut bermula dari isi ceramah Sisno Adiwinoto, selaku Kapolda Sulselbar, pada Jambore Pers di Makassar, yang antara lain menyinggung bahwa penanganan kasus pers tidak perlu menggunakan ketentuan UU Pers.
Sebelumnya, Dewan Pers menerima pengaduan seseorang yang disidik oleh Kepolisian Resort Pamekasan, Madura, Jawa Timur, hanya karena menyampaikan aspirasi dan pendapat dalam dialog interaktif yang disiarkan oleh satu stasiun radio setempat. Ia menyampaikan aspirasi, dalam acara siaran dengar pendapat, mengenai kebijakan yang diambil oleh Kepala Dinas Perindustrian setempat, yang kemudian dianggap memojokkan pejabat Dinas Perindustrian bersangkutan. Si pejabat yang terpojok kemudian melapor ke kepolisian sebagai tindakan pencemaran nama baik. Pihak kepolisian Pamekasan memroses pengaduan itu sebagai pelanggaran pidana pencemaran nama baik.
Kasus lainnya, menyangkut tulisan Surat Pembaca berisi ketidakpuasan seorang pemilik kios terhadap pengembang yang membangun dan mengelola bangunan. Persoalan ketidakjelasan status kepemilikan itu berujung menjadi perkara pidana.
Sejumlah ilustrasi perkara pidana pencemaran --yang terkait dengan pers-- tersebut bermuara pada satu persoalan: kesigapan kepolisian menangani ”perkara”. Polisi yang sigap tentu sangat diharapkan, namun sayangnya kesigapan itu tidak pas penerapannya. Kepolisian patut sigap menangani pengaduan kasus yang murni kriminal, kasus yang merugikan dan atau membahayakan fisik atau materi seseorang, seperti kasus penodongan, pencurian, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan dan sejenisnya. Namun, untuk kasus pencemaran nama baik yang terkait dengan pers, kesigapan polisi musti dikurangi.
Polisi tidak serta merta menanggapi atau memroses secara hukum kasus pencemaran yang berdasarkan pada pemberitaan atau karya jurnalistik yang disebarkan melalui pers (termasuk tulisan surat pembaca). Karena perasaan ”tercemar” selain subyektif, juga tidak dapat diukur kerugiannya. Lebih aneh lagi, seseorang yang merasa tercemar cukup melapor ke polisi, dan selanjutnya polisi musti bekerja keras untuk membuktikan bahwa pencemaran telah terjadi. Si pelapor tinggal menunggu hasil akhir proses hukumnya. Celakanya, liputan dan laporan pers bakal banyak terkait dengan ”kasus pencemaran” karena begitu banyak kasus dan persoalan yang diliput pers. Lebih celaka lagi ketentuan hukum yang menjadi pegangan polisi adalah KUHP produk kolonial, yang memang produk hukum politis untuk membungkam ekspresi dan pendapat.
Dalam sistem demokrasi, menyampaikan aspirasi dan kontrol sosial adalah hal lumrah. Pers adalah salah satu sarana bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi. Kemerdekaan dan demokrasi terancam jika setiap penyampaian pendapat atau aspirasi direspon dengan hukuman pidana pencemaran. Kesigapan polisi mengusut kasus pencemaran terkait dengan pers masih dapat dimengerti dan ditolerir, jika beritikad menyelesaikan menurut ketentuan Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers.*