Dewan Pers Sebagai Mediator: Perlu Pengukuhan MA?

Dewan Pers Sebagai Mediator: Perlu Pengukuhan MA?
25 Maret 2009 | Administrator

Oleh Herutjahjo Soewardojo
Anggota Kelompok Kerja Pengaduan, Dewan Pers
Pejabat dan anggota masyarakat bila bersengketa dengan media dianjurkan mengadu ke Dewan Pers. Ini sejalan dengan perintah Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers yang menyebutkan salah satu fungsi Dewan Pers adalah: “memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.” (Pasal 15 Ayat (2) d).

 

Sejauh ini pasal tersebut dimaknai sebagai perintah kepada Dewan Pers untuk mengupayakan mediasi di antara pihak-pihak yang bersengketa. Dalam sosialisasinya, Dewan Pers selalu mengingatkan penyelesaian mediasi yang dilakukan Dewan Pers adalah penyelesaian sengketa yang cepat, murah, damai dengan mengedepankan asas musyawarah untuk mufakat. Dalam hubungan ini, sepanjang saya ketahui sejak lebih lima tahun terakhir ini, banyak kasus-kasus sengketa antara masyarakat dan media dapat diselesaikan melalui mediasi tersebut.

 

Kemudian timbul persoalan, ketika terjadi sengketa antara Asian Agri dengan Majalah Tempo. Dewan Pers menghentikan upaya mediasi itu karena pihak Asian Agri menarik diri dari upaya mediasi. Dewan Pers sempat mengadakan dua kali petemuan dalam kasus Asian Agri vs Tempo tetapi belum diperoleh titik temu. Upaya mediasi itu terhenti, setelah tim advokat Asian Agri mencabut penunjukan Dewan Pers sebagai mediator. Asian Agri, dalam suratnya 17 Juni 2008, menilai ada fakta ketidakpahaman Tempo maupun Dewan Pers selaku mediator dalam proses mediasi. Fakta itu dianggap Asian Agri bertentangan dengan norma umum dalam proses mediasi.

Dewan Pers memahami pencabutan penunjukan sebagai mediator tersebut. Namun Dewan Pers menyatakan telah berusaha melakukan mediasi secara baik. Upaya itu dilakukan Dewan Pers, antara lain, dengan membantu merumuskan hak jawab untuk disepakati, ternyata tidak ditanggapi secara serius oleh pihak Tim Advokat Asian Agri Group. (Buletin Etika, Juni 2008).

Anugrah-musibah
Terlepas dari sengkarut itu, saya melihat kasus antara Asian Agri vs Tempo --yang kemudian menjadi titik tolak “Yayasan 28” untuk  mengangkat  ke dalam FGD terkait posisi hukum Dewan Pers selaku mediator dengan Peraturan Mahkamah Agung-- lebih  sebagai “kecelakaan” untuk tidak menyebut sebagai anomali. Kasus itu sudah masuk ke ranah hukum, sementara mediasi yang ditangani oleh Dewan Pers adalah sengketa yang belum berproses hukum.  Pasal 1 ayat (2) Prosedur Pengaduan Ke Dewan Pers (Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/I/2008) menyebutkan “Dewan Pers tidak memeriksa pengaduan yang sudah diajukan ke polisi atau pengadilan.”

Ketika hakim meminta agar kedua belah pihak berdamai, dan tentu saja menggunakan sarana mediator, para pihak yang bersengketa menunjuk Dewan Pers sebagai mediator. Padahal dalam “rubrik hukum”, Dewan Pers tidak tercatat sebagai arbitrer. Arbitrer biasanya orang yang bersertifikasi arbitrer dan bukan lembaga. Lebih menarik lagi, konon, meskipun hakim sempat mempertanyakan posisi Dewan Pers, toh “membiarkan” ketika kedua belah pihak membawa persoalan itu ke Dewan Pers untuk dimediasi. Karena itu, ketika mediasi gagal patut dipertanyakan, apakah kegagalan itu sebagai anugerah atau musibah?

Tetapi yang jelas, Dewan  Pers dalam salah satu keputusannya mengenai Penguatan Peran Dewan Pers menyebutkan “Dewan Pers perlu mengupayakan lahirnya ketetapan hukum dari Mahkamah Agung untuk menjadi lembaga arbitrase, demi memperkuat kedudukan Dewan Pers sebagai lembaga yang terlibat dalam penyelesaian sengketa akibat pemberitaan antara publik dan media pers” (butir 11).  Itu artinya, Dewan Pers membuka diri terhadap kasus-kasus sengketa antara publik dan media yang telah masuk ke jalur hukum.

Meskipun demikian, Dewan Pers telah menegaskan dirinya bukan sebagai lembaga penegak hukum melainkan lembaga penegak etik sebagaimana ditetapkan dalam Sidang Pleno di Denpasar Bali 22 Juni 2007. Karena itu, salah satu keputusan Sidang Pleno itu juga menegaskan Dewan Pers menolak revisi UU Pers jika berisi ketentuan yang “mengubah mekanisme penyelesaian sengketa pers akibat pemberitaan pers, dari mengadu ke Dewan Pers ke langsung melakukan gugatan hukum”. (Leo Batubara “Kinerja Pers Indonesia Pasca Pemberlakukan UU No 40/199 tentang Pers”, Makassar 28 Januari 2009).

Dengan demikian, apakah penguatan peranan Dewan Pers oleh Mahkamah Agung sebagai arbitrer itu --jika benar terjadi-- tidak menggeser sedikit posisi Dewan Pers dari penegak etika menjadi penegak hukum meskipun “hanya” sekadar “lembaga arbitrase”? Apakah hal itu tidak mengurangi makna konsep swa-regulasi yang menjadi acuan Dewan Pers selama ini?

Tentu hal tersebut bisa didiskusikan secara mendalam oleh para ahli hukum dan penggiat kemerdekaan pers. Yang jelas, ada kesan, media tampak nyaman jika penyelesaian sengketa itu melalui mediasi. Sebab, paling tidak, mereka dijauhkan dari ancaman tuntutan yang biasanya cukup “mengerikan”. Apalagi kalau sang pengadu diwakili oleh para penasehat hukum, yang sering mematok dengan tuntutan tinggi. Karena itu, barangkali dari sana lah muncul ketentuan dalam Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers sebagai berikut: “Pengadu sedapat mungkin berhubungan langsung dengan Dewan Pers. Kehadiran kuasa pengadu dapat diterima jika dilengkapi surat kuasa yang sah” (Pasal 4).

Apakah ke depan nanti masih banyak sengketa antara publik dan media dibawa ke Dewan Pers tentu terpulang kepada publik sendiri. Namun, menurut pengamatan saya, semakin banyaknya pengaduan ke Dewan Pers akan ditentukan sejauh mana tingkat kepercayaan publik kepada Dewan Pers.

Sebagai lembaga penegak etika, tingkat kepercayaan itu semakin meningkat bila anggota Dewan Pers, sebagai mediator, dapat bertindak adil, bebas dari kontaminasi kepentingan apa pun. Untuk itu, seperti sudah disebutkan dalam Penguatan Peran Dewan Pers, anggota Dewan Pers memang harus terdiri dari orang-orang yang memiliki integritas pribadi, memiliki sense of objectivity dan sense of fairness serta memiliki pengalaman luas tentang demokrasi, kemerdekaan pers dan mekanisme kerja jurnalistik sehingga dapat menggali segi-segi yang tidak kasat mata sebuah produk pers.

Mengapa hal itu penting dan bukan sekadar sebagai ketentuan belaka? Sebab, proses mediasi dalam kerangka penegakan etika memerlukan kerelaan kedua belah pihak untuk bernegosiasi, saling memberi dan menerima serta bersikap kesatria: berbesar hati mengakui kesalahannya dan bersedia untuk meminta maaf. Pasalnya, problema etika biasanya bukan sekadar persoalan salah dan benar yang bersifat mutlak sehingga tidak bisa diputuskan secara yuridis secara mutlak.

Mediasi pada hakekatnya memfasilitasi agar yang bersalah, khususnya media, bisa memolisikan dirinya sendiri. Wartawan yang profesional akan bekerja dengan standar profesional ketat. Mereka berusaha keras untuk mematuhi Kode Etik Jurnalistik dan ketentuan UU No.40/1999. Namun, kesalahan tetap saja bisa terjadi. Kesalahan itu bersifat manusiawi.

Karena itu, pers profesional bukan berarti pers yang tanpa salah, pers profesional adalah pers yang bersedia mengakui kesalahannya dan bersedia meminta maaf di depan orang yang telah dirugikan akibat pekerjaannya. Untuk itu mediasi hanya mungkin bila dipandu oleh orang-orang yang disegani para pihak karena diyakini akan bersikap adil dan tidak memihak.

Dan bila publik serta media merasa nyaman, tentu tidak perlu membawa kasusnya ke ranah hukum. Bukankah mediasi juga sah dan nyatanya memang dapat menyelesaikan sengketa antara publik dan media tanpa harus melalui jalur hukum dan sang mediator tidak harus dikukuhkan secara hukum?*

Tulisan ini merupakan makalah untuk FGD yang diselenggarakan Yayasan 28 di Jakarta Media Centre, 17 Februari 2009.