KOMUNIKASI PUBLIK DIMASA PANDEMI

KOMUNIKASI PUBLIK DIMASA PANDEMI
15 Juni 2020 | MediaCentre2

Tidak terasa sudah satu setengah tahun Indonesia didera oleh pandemi virus corona. Dalam kurun waktu tersebut, Pemerintah dan pers bahu membahu mengedukasi publik tentang berbagai aspek COVID-19. 

Menurut survei Dewan Pers dan Universitas Multimedia Nusantara “Persepsi Publik terhadap Pemberitaan COVID-19 di Media” yang diselenggarakan pada bulan Mei dan Juni 2021, media massa di Indonesia berhasil menjalankan fungsi komunikasi kesehatan masyarakat dan edukasi publik selama pandemi COVID-19. Secara umum, responden menunjukkan respons positif saat mengevaluasi kinerja pers sebagai komunikator kesehatan publik dan dalam melaporkan COVID-19. 

Salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur kinerja pers dalam peliputan dan pelaporan COVID-19 adalah mengutip sumber-sumber terpercaya seperti otoritas kesehatan, baik di tingkat nasional maupun internasional, sehingga turut berkontribusi bagi upaya melawan penyebaran misinformasi dan disinformasi. Kriteria lain termasuk memisahkan pernyataan politik dan pernyataan ilmiah serta dan menampilkan imaji berupa foto atau visualisasi data dengan akurat terkait COVID-19.

Hasil survei juga menunjukkan, pemberitaan media massa tentang COVID-19 memiliki dampak positif terhadap perubahan perilaku responden, yang mengadopsi gaya hidup yang lebih sehat dan higienis. Responden juga mengadopsi teknologi digital dalam aktivitas sehari-hari untuk mencegah kontak langsung dengan banyak orang. 

Hasil survei ini membesarkan hati para jurnalis, yang tetap melakukan peliputan pada masa pendemi, walaupun membahayakan keselamatan jiwa. Banyak pemimpin redaksi yang terpaksa membatasi mobilitas anak buahnya di lapangan, padahal fakta lapangan merupakan salah satu bagian penting dalam proses pengumpulan berita. Alhasil, sebagian peliputan dilakukan secara daring walaupun tidak optimal karena hampir selalu berlangsung searah dari narasumber kepada wartawan dan tidak ada waktu tanya jawab.

Tidak optimalnya peliputan secara daring ini kian parah dengan riuh rendahnya anggota Kabinet Indonesia Maju yang seolah berlomba memberikan pernyataan kepada pers namun substansinya bertolak belakang. Contohnya pada awal Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa dan Bali mulai 3 Juli 2021, Menko PMK Muhadjir Effendy menyebut Indonesia sudah dalam situasi darurat militer menghadapi pandemi. “Ini daruratnya sudah darurat militer, hanya musuhnya memang bukan militer konvensional tapi ‘pasukan’ tidak terlihat,” katanya. 

Dengan alasan itu, menurut Muhadjir, Presiden Joko Widodo telah menerjunkan TNI dan Polri untuk ikut menangani COVID-19 karena sudah tidak bisa dihadapi dengan penanganan biasa. Tepatkah analogi tersebut? Mengapa bukan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang telah ditunjuk Presiden untuk memimpin PPKM Darurat di Jawa dan Bali, yang mengeluarkan pernyataan tentang status pelaksanaan tersebut? Ternyata, menurut Menko Marves Luhut, TNI dan Polri diterjunkan untuk melakukan testing dan tracing penderita COVID-19 bekerjasama dengan puskesmas-puskesmas. Dalam pelaksanaan PPKM Darurat selanjutnya, pers kemudian tahu bahwa TNI dan Polri juga oleh Presiden diminta memvaksinasi masyarakat umum agar target yang diminta Presiden satu juta orang per hari pada bulan Juli bisa tercapai.

Komunikasi publik lain yang juga membuat pers seperti kecolongan dengan tiba-tiba meledaknya kenaikan pasien COVID-19 pada bulan Juli adalah minimnya informasi tentang jumlah masyarakat umum yang telah divaksinasi per hari. Sampai dengan bulan Juni, data lengkap masyarakat sudah divaksin hanya ada di dashboard Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN). Ketika penulis minta tautannya kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes), disarankan agar melihat di website Kemenkes karena dashboard tersebut tidak terbuka untuk umum. 

Padahal data grafik yang sudah divaksin di dashboard KPCPEN lebih detail daripada yang ada di Kemenkes karena data Kemenkes hanya tiga golongan yang bisa dilihat yaitu tenaga kesehatan, pelayan publik dan kaum lanjut usia. Padahal juga pada bulan Mei, masyarakat umum usia 18-59 tahun disusul pada bulan Juni usia remaja 12-17 tahun, sudah mulai divaksinasi. Alangkah baiknya jika data tersebut sudah bisa mulai diakses pers pada bulan Juni sehingga mengantisipasi edukasi kepada publik tentang kemungkinan drastisnya penderita COVID-19 akibat varian Delta karena jumlah masyarakat umum yang sudah divaksin masih di bawah 25%.

Yang terakhir adalah tentang tidak transparannya data dari pemerintah-pemerintah daerah kepada pers akibat para pimpinannya menutup-nutupi kondisi riil pandemi untuk mendapatkan rapor bagus dari pemerintah pusat. Penulis merasa aneh mengapa Jawa Timur pada awal PPKM Darurat tidak pernah masuk dalam tiga besar provinsi yang tingkat penularan COVID-nya. Padahal di dalam sebuah webinar, epidemiolog Unair Dr. Windhu Purnomo sudah memperingatkan bahwa data di Surabaya dan Jawa Timur “underreported”. Menurut Windhu, data penderita COVID-19 di Surabaya sebenarnya 14 kali lipat dari yang dilaporkan dan di Jawa Timur sebenarnya delapan kali lipat dari yang dilaporkan. 

Di dalam situasi yang penuh ketidakpastian seperti pandemi saat ini, masyarakat amat membutuhkan kepastian informasi. Pemerintah diharapkan  bisa melakukan komunikasi publik yang lebih baik lagi ke depannya. Dengan kejelasan dan kekonsistenan komunikasi publik tersebut, pers akan terbantu menulis atau menayangkan berita yang akurat dan menentramkan publik. Satu setengah tahun pandemi ini cukup sudah untuk masa belajar bagi Pemerintah agar berkomunikasi dengan jelas dengan data yang transparan.***



Download