Pers dan Kualitas Pemilu 2009

Pers dan Kualitas Pemilu 2009
15 Mei 2009 | Administrator

Oleh Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA
Ketua Dewan Pers
Pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif 2009 telah usai. Persaingan antar kandidat akan beralih ke Pemilihan Umum Presiden. Sejauh ini sejumlah isu ramai menjadi santapan pers, yang akan mempengaruhi kualitas penyelenggaraan dan hasil pemilu. Misalnya, keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan anggota legislatif terpilih berdasarkan suara terbanyak; dan kebijakan afirmatif caleg perempuan.

 

Isu lain menyangkut “adu saling jegal” antarcaleg dan polemik tentang kritikan yang disampaikan Megawati, bahwa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) “bermain yoyo.” Yang kemudian dibalas oleh pendukung SBY, bahwa Megawati semasa menjadi presiden “bermain gasingan” terhadap rakyat. Polemik lainnya adalah penilaian bahwa Presiden SBY dinilai sedang berupaya memperalat atau meminta dukungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan melempar isu  ”Asal Bukan Calon Presiden berinisial S.”

 

Pers tentu menyukai sensasi isu semacam itu, namun apakah pemberitaan pers yang semarak tentang isu-isu tersebut dapat meningkatkan kualitas pemilu?

Beberapa bulan terakhir dan ke depan dinamika sosio-politik di Indonesia semakin meningkat dengan berbagai isu, wacana, dan polemik yang dilontarkan para kandidat dan kontestan. Pers memiliki peran penting dalam memilah dan menyebarluaskan isu, wacana, polemik, atau informasi mengenai Pemilu, kinerja peserta pemilu. Melalui peran tersebut pers ikut aktif melakukan pendidikan politik, yaitu membantu masyarakat menentukan pilihan politik mereka. Selain itu, pers juga berperan penting dalam melakukan kontrol atas pelaksanaan pemilu, dengan melaporkan praktik-praktik curang, sejak tahap pendaftaran pemilih hingga penghitungan suara.

Pemilu tidak akan membawa perbaikan jika publik tidak mendapatkan informasi yang benar dan berimbang menyangkut sistem pemilihan serta kualitas calon legeslatif dan calon presiden. Informasi melalui pers terhadap pelaksanaan Pemilu dan kualitas calon, adalah sarana bagi publik untuk melakukan ”fit and proper test” guna menjatuhkan pilihan terhadap calon pemimpinnya. Hal ini bisa dilakukan jika pers  melaporkan berita secara benar dan profesional. Bagaimana peran pers dalam proses pemilu yang telah berlangsung selama ini?

Sejumlah kekhawatiran muncul menyangkut kesiapan  pers untuk berperan ideal untuk menyukseskan Pemilu. Pers dan wartawan dikhawatirkan bakal terjebak menjadi alat perseteruan antar calon kepala daerah yang bersaing, atau sengaja memihak pada calon tertentu bahkan memilih menjadi corong. Dalam sistem demokrasi, persaingan memperebutkan kekuasaan politik dapat dilakukan secara terbuka, dengan menggunakan beragam cara untuk merebut simpati pemilih. Cara termudah dan tercepat untuk menarik simpati pemilih adalah melalui ekspose pers massa.

Proses Pemilu disebutkan menyentuh langsung kehidupan masyarakat, kedekataan para calon dan pendukungnya bersifat nyata --sebagaimana pemilihan presiden atau DPR bukan simbolik semata. Sehingga dapat dipahami jika diprediksi bakal muncul persoalan dan sengketa dalam proses Pemilu. Pers massa dalam hal ini dapat menjadi salah satu faktor peredam atau pemicu sengketa. Dalam fungsinya sebagai sarana sosialisasi dan informasi, pers massa diharapkan ikut menciptakan proses Pemilu yang adil, jujur, dan damai. Pers diharapkan menghasilkan karya jurnalistik yang selalu berpegang pada prinsip jurnalisme yang profesional dan beretika. Namun fungsi ideal pers tersebut seringkali hanya ada dalam teori atau harapan.

Agar bisa berperan optimal, pers musti memberi dukungan terhadap pelaksanaan Pemilu sebagai alat legitimasi yang demokratis untuk memilih pemerintahan dan legislatif baru dukungan rakyat, dengan meningkatkan kepedulian publik terhadap pemilu. Pers musti terlibat secara kritis ikut “menguji” calon-calon legeslatif dan eksekutif yang terbaik, dengan memberikan gambaran yang lengkap, seimbang, dan akurat tentang calon-calon tersebut —dengan tetap bersikap independen. Ada puluhan partai, ribuan caleg, dan kemungkinan beberapa pasang capres-cawapres yang bersaing dalam pemilu, pers wajib memaparkan yang baik dan yang buruk untuk membantu pemilih membuat keputusan. Pers juga musti menyebarkan berbagai informasi terinci yang terkait dengan pelaksanaan pemilu.

Masyarakat harus diberitahu bahwa pemilu bersifat rahasia, tak seorangpun boleh  tahu apa pilihan seseorang. Pers musti memberikan penilaian seimbang dan adil bagi semua peserta pemilu. Jurnalis jangan bertindak seperti peramal cuaca yang mengabarkan spekulasi partai mana atau siapa yang akan menang dalam pemilihan. Cukup laporkan dengan akurat apa yang terjadi atau siapa yang berbuat dan berbicara. Laporkan praktek-praktek money politic atau upaya manipulasi lainnya. Jurnalis musti waspada dengan komentar atau pandangan yang berpotensi mengadu domba, memecah-belah, atau membingungkan masyarakat pemilih. Potensi sengketa hingga benturan kekerasan antara peserta pemilu atau pendukungnya selalu ada, jurnalis musti sensitif untuk tidak gegabah mengangkat isu atau informasi yang berpotensi memicu konflik.

Dewan Pers mensinyalir, pers bakal digunakan sebagai sarana kampanye dan ajang pertarungan pendapat bagi para calon, untuk mempengaruhi dan merebut simpati pemilih. Dewan Pers mengajak agar pers memainkan peran sebagai sarana pendidikan politik yang baik, dengan tetap menjaga independensi dan sikap kritis, tidak terjebak menjadi alat kampanye pihak-pihak yang berkompetisi, apalagi menjadi sarana kampanye negatif. Pers diharapkan memilah informasi dan materi kampanye dengan orientasi membangun proses Pemilu yang aman dan tertib, dengan mengedepankan prinsip jurnalisme damai.

Dewan Pers juga menegaskan untuk menghindari adanya perbenturan kepentingan (conflict of interest) dan pelanggaran prinsip etika jurnalisme, wartawan harus selalu bersikap adil, seimbang, dan independen. Sehingga bagi wartawan yang tercatat mencalonkan diri dalam Pemilu wajib menegaskan posisinya dan menyatakan mengundurkan diri atau non-aktif sebagai wartawan.

Prinsip itu juga berlaku bagi wartawan yang, secara individu maupun kelompok,  menjadi “Tim Sukses” partai politik atau capres yang ikut Pemilu. Dewan Pers juga meminta masyarakat agar aktif memantau kinerja pers dalam peliputan Pemilu. Jika masyarakat melihat terjadinya bias pers, pemberitaan pers yang memihak secara terang-terangan, atau penyalahgunaan profesi wartawan, maka masyarakat jangan ragu untuk mengingatkan pers bersangkutan, atau mengadu ke Dewan Pers.

Dalam upaya mengoptimalkan peran pers, Dewan Pers telah bertemu dengan KPI dan KPU untuk membahasa kerjasama dalam bentuk memorandum of understanding menyangkut ketentuan yang terkait dengan media. Pertemuan pada di sekretariat Dewan Pers, pada 2 Juni 2008, antara lain membahas kontroversi adanya pasal-pasal ancaman pidana dan pembredelan terhadap media pada UU Pemilu. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa KPU perlu membuat Peraturan tentang “Kampanye melalui Media Massa”. Di dalam Peraturan KPU tersebut wajib ditegaskan klausul yang menjelaskan bahwa pengaturan terkait kampanye di media massa cetak dan media massa elektronik disesuaikan dengan UU yang berlaku yaitu UU tentang Penyiaran dan UU tentang Pers.*