Jurnalistik dan Platform Digital

Jurnalistik dan Platform Digital
24 Agustus 2020 | MediaCentre

Disrupsi teknologi mengakselerasi media konvensional untuk berpindah ke platform digital dan bersaing dengan media baru yang memang lahir, tumbuh dan berkembang di sana. Apalagi karena ada kebutuhan akibat pandemi COVID-19 dimana segala sesuatu harus diselenggarakan secara daring. Perusahaan media konvensional mendirikan dan/atau mengakuisisi online media atau bahkan bermetamorfosis menjadi online media. Jurnalis yang diatur oleh regulasi dan Kode Etik Jurnalistikpun mau tidak mau harus menggunakan platform digital seperti twitter, instagram, facebook dan YouTube untuk meningkatkan readership atau viewership dari produk mereka. Sementara itu, pedoman perilaku jurnalistik khusus ranah digital yang ada tidak antisipatif dan kalah cepat dengan munculnya kasus-kasus pelanggaran jurnalis pada platform digital ini.

Pedoman perilaku untuk wartawan di ranah digital yang sudah ada minim jumlahnya. Contohnya, Pedoman Pemberitaan Media Siber dari Dewan Pers (2012) dan Pedoman Perilaku Jurnalis AJI Jakarta (2014)  yang mengatur jurnalis yang aktif di media sosial. Menurut Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Bangun, untuk media konvensional yang memiliki online media atau berpindah sepenuhnya menjadi online media, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang ditetapkan oleh Dewan Pers tetap berlaku. KEJ bisa dipakai sebagai kompas untuk wartawan berselancar di dunia maya. Khusus untuk industri penyiaran, ada Pedoman Perilaku Siaran dan Standar Program Siaran atau P3SPS (2012) dari KPI yang mengawasi secara umum semua konten penyiaran, jurnalistik dan non jurnalistik. Namun demikian, KPI sendiri belum memiliki dasar hukum untuk mengatur over-the-top atau penyiaran yang diunggah atau bersiaran langsung pada platform digital.

Kasus yang cukup fenomenal yaitu ketika 33 media massa siber memberitakan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memerintahkan Presiden dan Menkominfo untuk meminta maaf kepada masyarakat padahal PTUN tidak memutuskan seperti itu. Sebelumnya, Dewan Pers menerima pengaduan masyarakat tentang pemberitaaan sejumlah media siber (online) terkait keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bernomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT tertanggal 3 Juni 2020. Sebagaimana telah diketahui bersama, PTUN memutuskan tindakan Presiden dan Menkominfo memperlambat atau memutus akses internet di Papua ketika terjadi kerusuhan di provinsi tersebut tahun 2019 adalah melanggar hukum. Presiden dan Menkominfo diputuskan harus membayar biaya perkara Rp 475.000.

Dalam rilisnya, Dewan Pers menyatakan telah menerima ke-33 media siber tersebut untuk klarifikasi pada tanggal 10 dan 11 Juni 2020. “Dalam Forum Klarifikasi ini, masing-masing media menjelaskan upaya mereka untuk melakukan verifikasi. Misalnya dengan mengakses dokumen petitum penggugat di website PTUN tanpa menyadari bahwa petitum tersebut telah diperbaharui oleh penggugat serta berbeda dengan amar putusan PTUN.

           

Secara umum, masing-masing media mengakui kesalahan yang terjadi dalam proses pemberitaan tersebut, yakni penggunaan informasi yang tidak akurat, tanpa proses konfirmasi yang memadai terhadap sumber kunci sehingga melahirkan pemberitaan yang cenderung menghakimi. Masing-masing media menyesali kesalahan ini. Beberapa media bahkan telah meminta maaf atas kesalahan tersebut dalam koreksi berita yang dipublikasikan tidak lama setelah kesalahan pemberitaan terjadi.”

 

Menurut Dewan Pers, kasus kesalahan dalam pemberitaan Putusan PTUN ini merupakan pelajaran berharga bagi segenap insan pers Indonesia. Bahwa akurasi data, konfirmasi sumber kunci dan uji kebenaran informasi adalah prinsip fundamental yang harus senantiasa mendasari kerja-kerja jurnalistik, khususnya terkait dengan kepentingan publik dan nama baik orang per orang. Dewan Pers menghimbau agar dalam berbagai situasi, kerja-kerja jurnalistik selalu melakukan verifikasi yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk menjaga nama baik pers profesional dan untuk menghindarkan media dari tuduhan terlibat dalam skenario politik tertentu, perlu dikoreksi kecenderungan menyajikan berita dengan judul dan isi yang kurang-lebih seragam pada media yang berbeda. Dewan Pers mengingatkan, meskipun media siber bekerja berdasarkan pertimbangan kecepatan penyampaian informasi, ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik tidak boleh diabaikan, terutama sekali untuk menjaga akurasi berita dan menghindari kemungkinan adanya pihak-pihak yang ingin memanfaatkan pemberitaan media untuk tujuan tertentu

Seperti dikutip dari akun facebooknya,  Ketua MAFINDO Septiaji Eko Nugroho mengeritik artikel di detikcom yang berjudul “Pemkot: Jokowi Siang Ini ke Bekasi, Dalam Rangka Pembukaan Mal.” Menurut Septiaji, artikel ini menimbulkan kehebohan, khususnya di media sosial, karena kurva penambahan kasus COVID-19 masih tinggi mengapa mal nekad buka dan tidak tanggung-tanggung, Presiden RI pula yang meresmikannya. Detikcom pun akhirnya mengunggah rekaman wawancara per telepon dengan Kasubag Humas Pemkot Bekasi. Menurut Septiaji, kesalahan detikcom mengeluarkan artikel sebelum mendapatkan konfirmasi dari beberapa pihak dan secara faktual isi artikel tersebut dibantah oleh pihak Istana, bahwa kedatangan Presiden tanggal 26 Mei 2020 adalah untuk mengecek persiapan protokol new normal, bagi daerah yang selesai PSBB. “Praktek angkat dulu berita ini, nanti klarifikasi menyusul di artikel selanjutnya, kadang masih menjadi praktek digital di negeri ini. Mereka kadang memaknai cover both sides, dengan artikel pertama biar satu sumber dulu, nanti artikel kedua dan selanjutnya dari sumber lain. Seolah prinsip cover both sides itu sudah dipenuhi. Padahal sama sekali tidak, karena pola masyarakat mengunyah informasi tidak linear seperti itu,”ujar Septiaji. Menanggapi kritik Septiaji ini, Ketua Kelompok Kerja Hukum/Anggota Dewan Pers Agung Dharmajaya dan timnya sedang  merevisi Pedoman Pemberitaan Media Siber bersama-sama dengan kesepuluh konsituten Dewan Pers.

Kasus lain yang menarik adalah saat konsultan politik/ jurnalis senior Hersubeno Arief mewawancarai Said Didu di kanal YouTube milik Said Didu. Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan lantas melaporkan wawancara tersebut ke polisi karena ucapan Said diduga mencemarkan nama baik Luhut. Dalam pemeriksaan polisi, Hersubeno dipanggil sebagai saksi. Selama ini, YouTube memang telah menjalin kerjasama dengan berbagai perusahaan media konvensional untuk membuka kanal di platform mereka secara business to business. Namun bagaimana jika pemilik kanal atau pengunggah video adalah seorang individu seperti Said Didu dan wawancaranya melibatkan seorang jurnalis senior seperti Hersubeno? Siapkah Dewan Pers mengantisipasi kasus-kasus seperti ini?

Sebaliknya, kasus jurnalis online yang telah dimediasi oleh Dewan Pers namun tetap berujung pada vonis hukuman penjara menimpa Pemimpin Redaksi Banjarhits Diananta Putra Sumedi. Menurut artikel Tempo.co,  Diananta divonis bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Kotabaru, Banjarmasin dalam sidang yang digelar Senin, 10 Agustus 2020. Terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 3 bulan 15 hari oleh hakim. “Saya tentu sangat kecewa dengan vonis hakim. Ini adalah lonceng kematian bagi kemerdekaan pers,” demikian komentar Diananta seperti dikutip Tempo.co dari video yang diunggah di akun facebook Koalisi untuk Masyarakat Adat dan Kebebasan Pers, Senin, 10 Agustus 2020. Putusan hakim ini lebih ringan dari tuntutan jaksa, yaitu 6 tahun penjara. Namun Diananta tetap keberatan dengan putusan hakim ini dan masih punya waktu 7 hari untuk memutuskan naik banding atau tidak. Menurut Diananta, sengketanya dengan Sukirman dari Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan Indonesia atas artikel banjarhits.id pada 9 November 2019 yang Diananta tulis tentang sengketa tanah di Kalimantan berjudul Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polsel Kalsel, telah dimediasi dan selesai di Dewan Pers. Diananta mengakui ia telah melanggar Kode Etik Jurnalistik. Dewan Pers mewajibkan Banjarhits memuat hak jawab dan meminta maaf. Berita juga sudah dicabut.

Berdasarkan kasus-kasus jurnalis di platform digital di atas, Dewan Pers, perusahaan media dan organisasi profesi wartawan harus antisipatif dengan pedoman perilaku jurnalis dan pedoman pemberitaan media siber yang terkini. Suka tak suka, jurnalis suatu saat akan sepenuhnya berkarya di platform digital dan bahkan sebagian pekerjaannya dilakukan oleh artificial intelligence. Dalam talk show Media Lab bertema Jurnalistik dan Platform Digital pada 24 Juli 2020, Dewan Pers bersama konstituennya membahas isu-isu jurnalistik daring dan di media sosial. Saya menjadi moderator diskusi antara Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut dan CEO Medcom.id Kania Sutisnawinata.

               Menurut Wens Manggut, Pedoman Pemberitaan Media Siber pada tahun 2012 memang dibentuk sebelum munculnya fenomena hoax dan disinformasi yang menimbulkan kompleksitas dan kontroversi di media siber, sehingga belum antisipatif terhadap fenomena tersebut. Agus Sudibyo yang turut memfasilitasi lahirnya Pedoman Media Siber juga mengingatkan bahwa pedoman tersebut seharusnya ditinjau kembali dua tahun setelah diterbitkan pada tahun 2012. Kata Agus, Sebenarnya Dewan Pers itu tergantung kepada konstituen. Jadi Pedoman Pemberitaan Media Siber pada tahun 2012 itu bukan Dewan Pers sendiri yang buat. Dewan Pers memfasilitasi AJI, IJTI, PWI, PRRSNI, ATVSI, ATVLI. Sekarang ada lagi AMSI, SMSI, PFI. Konstituen merumuskan bareng, kalau sudah sepakat kemudian Dewan Pers akan mengesahkannya sebagai Peraturan Dewan Pers. Jadi ini area yang sangat bisa diperbaiki. Menurut saya justru harus diperbaiki, harus dibahas ulang. Belum tentu diperbaiki banyak tapi ya tidak apa-apa dibahas, nanti bagian mana yang sudah kurang relevan atau ada perkembangan baru yang perlu diakomodasi, itu tidak masalah. Sejauh prinsip-prinsip dasar yang membuat publik respek kepada media yaitu verifikasi itu semestinya tidak diubah-ubah.

 

     Salah satu prinsip dasar jurnalistik yaitu verifikasi harus dipegang teguh oleh wartawan saat memanfaatkan media sosial untuk mencari ide atau sumber berita. Kata Abdul Manan,” Bahwa ada orang berkomentar tertentu di media sosial, itu ada fakta. Tetapi apakah itu adalah kebenaran? Itu yang biasanya menjadi masalah di sini. Karena pernah ada wartawan yang mengutip padahal kenyataannya, orang itu tidak pernah mengatakan hal seperti itu, entah karena akunnya diretas atau ada problem yang lain. Akhirnya wartawan salah mengutip informasi karena akunnya bukan dari komentar orang yang bersangkutan. Karena itu verifikasi harus dilakukan oleh wartawan ketika dia membaca status sumber berita. Boleh saja menulis misalnya status medsos, tetapi dia harus memverifikasi pertama adalah apakah itu akun dari orang yang bersangkutan? Bukan akun palsu. Bagaimana mengenali akun palsu itu bagian dari pelajaran fact checking. Yang kedua, apakah benar dia mengatakan seperti itu di media sosial? Itu standar verifikasi yang seharusnya dilakukan oleh wartawan. Bukan sembarangan mengutip tanpa misalnya bertanya terlebih dahulu. Kecuali akun yang sudah sangat verified. Akun Presiden yang sudah diverifikasi oleh Twitter, saya kira tidak kebutuhan untuk itu.”

Bagaimana wartawan menjaga perilakunya saat menggunakan akun media sosial? Apakah ada pemisahan antara ruang pribadi wartawan dengan profesinya di perusahaan media? Kata Kania Sutisnawinata,” Sebenarnya saya ingin mengutip revisi panduan yang dikeluarkan oleh The New York Times tahun 2017, yang antara lain menyoroti ruang pribadi wartawan di medsos. Kalau boleh saya kutip bagaimana The New York Times menerjemahkan ruang pribadi wartawan di medsos. Jadi mereka mengatakan bahwa we consider our social media activity by a journalist to come under this policy. Artinya semua kegiatan yang dilakukan di media sosial yang dilakukan oleh wartawan mereka itu masuk dalam aturan perusahaan. While you may think that your Facebook page, Twitter feed, Instagram, Snapchat or other social media accounts are private zones, separate from your role at The Times, in fact everything we post or “like” online is to some degree public. And everything we do in public is likely to be associated with The Times. Jadi artinya perilaku wartawan-wartawan walaupun itu di akun pribadi sekalipun akan merefleksikan atau diasosiasikan dengan perusahaan dimana mereka bekerja.” Kania menambahkan, terkait dengan peraturan perusahaan tentang media sosial, Medcom.id mengatur agar karyawannya selalu menjaga nama baik (brand) perusahaan, tidak memperbolehkan wartawannya mendukung (melakukan endorsement terhadap) sebuah produk, tidak memperbolehkan jurnalisnya untuk mengekspresikan pandangan politik atau isu kontroversial dan atau berbicara buruk tentang sesuatu atau seseorang.

Abdul Manan mengingatkan rentannya posisi wartawan ketika berkarya di media sosial dibandingkan dengan perusahaan pers. Kata Manan, “Ketika menggunakan platform YouTube sekarang ini bisa berpotensi menjadi masalah kalau ada yang mempersoalkan. Terutama mempersoalkan pasal pidana. Meskipun dia wartawan, kalau misalnya dia digugat orang, dia tidak akan mendapatkan perlindungan yang sama dibandingkan ketika dia menulis di mainstream media. Karena ketika dia menulis informasi di media arus utama, kalau dia sesuai kode etik, dia bisa berlindung dengan menggunakan perisai Undang-Undang Pers. Tetapi begitu dilakukan di YouTube, dia tidak punya privilege untuk minta perlindungan dari Undang-Undang Pers karena dia tidak memenuhi standar untuk disebut pers setidaknya sampai sekarang. Kecuali misalnya nanti Dewan Pers punya pertimbangan lain untuk memasukkan platform YouTube sebagai pers.

Namun demikian, banyak hal positif dari platform digital yang bisa dimanfaatkan oleh jurnalis. Menurut Wens, jurnalis mainstream media dan sumber berita di platform digital bisa mengembangkan kolaborasi yang saling menguntungkan. Wens menyebutkan sastrawan yang rajin menulis di media sosialnya, bisa dikutip oleh jurnalis media daring dan tautannya dibagikan juga oleh media tersebut. Demikian pula dengan seniman yang manggung di luar negeri dan siaran langsung di media sosialnya juga layak diulas oleh wartawan di online media. Wens juga mendorong wartawannya untuk aktif di media sosial, yang bisa berfungsi untuk merekam persepsi publik.

Sisi positif platform digital lain, kata Abdul Manan, adalah jurnalisme data. “Data journalism ini menurut saya mungkin kultur yang tidak akan berkembang dengan baik kalau tidak ada digital. Misalnya  sumbangan digital dalam kasus Panama Papers sangat luar biasa. Saya tidak bisa membayangkan bahwa teman-teman di CIJ melakukan analisis data, mengompilasi, memfilter data berdasarkan firma hukum dengan menggunakan cara-cara tradisional. Data dalam jumlah jutaan, dalam pdf, dalam bentuk jpg itu kalau tidak diproses oleh mesin mungkin butuh waktu bertahun-tahun, tetapi dengan teknologi digital membuat proses itu jadi jauh lebih cepat, dan dapat diakses dengan lebih mudah. Tools yang dipakai oleh data journalism semua berbasis digital, tidak ada yang manual.

            Kesimpulannya, Dewan Pers dan asosiasi profesi wartawan serta asosiasi perusahaan media harus segera duduk bersama merevisi Pedoman Pemberitaan Media Siber karena wartawan yang berkiprah di ranah digital tidak terelakkan tersandung kasus-kasus pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. Perjanjian kerjasama Dewan Pers selama ini dengan Polri dan Kejaksaan Agung bisa menyelamatkan wartawan dari jerat hukum melalui proses mediasi di Dewan Pers. Alangkah baiknya bila produk jurnalistik yang cacat etika itu bisa seluruhnya diselesaikan di Dewan Pers, daripada berlanjut ke ranah para penegak hukum.



Download