Peran Jurnalis Kesehatan/IPTEK dalam Pandemi Corona

Peran Jurnalis Kesehatan/IPTEK dalam Pandemi Corona
12 Juli 2020 | MediaCentre

Publik membutuhkan informasi pandemi Corona dari media yang kredibel. Terlebih lagi karena Pemerintah mulai menerapkan kelaziman baru (new normal) agar kegiatan ekonomi kembali menggeliat. Tugas jurnalis kesehatan/ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) menjadi penting karena menjadi garda terdepan dalam melaporkan dinamika di lapangan, mengolah jurnal ilmiah dan wawancara pakar ke dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh orang awam. Lalu, apa kriteria jurnalis kesehatan/iptek dan bagaimana perannya dalam konteks Indonesia?

 

            Dewan Pers mengulas topik ini bersama Wakil Kepala Lembaga Eijkman Profesor Hera Sudoyo Supolo, dosen jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanegara Moehammad Gafar Yoedtadi, wartawati Kompas Atika Walujo Moedjiono dan jurnalis independen Andini Effendi bersama saya sebagai talk show host program Media Lab pada tanggal 5 Juni 2020.

 

            Dosen Untar Gafar menggarisbawahi tiga basis jurnalisme di dalam era pandemi Corona ini,“Yang pertama adalah jurnalisme kesehatan yang berbasis keilmuan dan bukti ilmiah. Jurnalis harus menggunakan jurnal ilmiah yang sudah peer review. Artinya, jurnal yang telah distandarisasi atau diberi komentar oleh kalangan kedokteran atau kalangan medis yang menjadi bidang profesi peneliti tersebut.” Jika sebuah jurnal ilmiah belum peer review dan diangkat media seolah sudah menjadi sebuah kesimpulan, bisa menimbulkan kepanikan. Gafar menjelaskan,”Saat sebuah media asing mengungkap bahwa COVID-19 itu airborne namun hanya di ruang ICU, bukan di udara bebas dan informasi tersebut diambil portal berita di Indonesia dengan judul besar “WHO mempertimbangkan COVID-19 menyebar melalui udara”, itu langsung membuat panik di grup-grup WhatsApp. Padahal kalau kita baca secara teliti itu hanya di ruang ICU atau kewaspadaannya hanya untuk para staf medis, bukan masyarakat luas. Dan itupun belum sebuah kesimpulan yang akhir.” 

Mantan wakil pemimpin redaksi Indosiar Gafar menyebutkan basis jurnalisme pandemi yang kedua adalah jurnalisme bencana karena pandemi COVID-19 ini adalah bencana non-alam. “Seorang jurnalis yang meliput pandemi COVID-19 harus mempertimbangkan kaidah-kaidah jurnalisme bencana. Antara lain misalnya tidak mengeksploitasi pemberitaan, tidak mengeksploitasi horor, tidak mengeksploitasi ketakutan. Kemudian melakukan mitigasi dengan lebih baik mengenai pandemi itu.”

 

Basis jurnalisme yang ketiga menurut Gafar adalah jurnalisme empati. Dalam hal ini, seorang wartawan menghindari eksploitasi penderitaan dan mengedepankan empati terhadap para korban atau pasien COVID-19. Kasus wartawan mengeksploitasi pasien COVID-19 ini terjadi pada pasien 01, 02 dan 03 di Indonesia dimana informasi pribadi mereka seperti nama, status hubungan mereka adalah ibu dan kedua anak perempuannya, serta alamat rumah mereka diketahui oleh khalayak ramai karena diangkat media.

Menurut wartawati Kompas Atika Walujani Moedjiono, pandemi menimbulkan penghargaan yang lebih kuat pada jurnalisme sains dan kesehatan. Media digunakan lembaga internasional, organisasi nirlaba dan organisasi pemerintah untuk menyebarkan informasi serta sebagai upaya menyatukan pemikiran di seluruh kalangan pada tataran lokal, regional, nasional ataupun global. Itu sebagai salah satu strategi untuk mengatasi masalah kesehatan. Dalam pekerjaannya, wartawan dan tulisannya diharapkan mampu meningkatkan interaksi dan komunikasi di seluruh rangkaian pemangku kepentingan layanan kesehatan, menjembatani kesenjangan antara sistem layanan kesehatan dan pembuat kebijakan, menyoroti isu-isu terkait hak asasi manusia, gender, dan kesehatan, juga menjaga hubungan yang efektif antara aktor pembangunan di tingkat nasional dan internasional,” ujar wartawati lulusan IPB ini.

Atika menekankan komunikasi kesehatan yang efektif dan tepat menjadi ujung tombak promosi kesehatan untuk meningkatkan literasi kesehatan masyarakat. Dalam hal ini, wartawan kesehatan bertugas untuk mengumpulkan dan menggali fakta (lapangan, wawancara, referensi), karena banyak info, harus memverifikasi, menganalisis untuk mendapatkan intinya dan kebenarannya, kemudian melaporkan dalam bentuk tulisan yang memberikan pandangan yang bermakna, seimbang, dan objektif. Terus kemudian juga akurat, jelas dan mudah dipahami masyarakat awam. Konten liputan itu bisa masalah klinis. Jadi berbagai penyakit, kanker, diabetes, yang umum, jantung, dsb. Kemudian masalah kesehatan masyarakat, gizi, kematian ibu dan anak, pemberantasan penyakit menular, pencegahan penyakit tidak menular, dsb. Kemudian layanan kesehatan serta kebijakan pemerintah,” kata Atika.

Jurnalis lulusan Universitas Maastricht ini menggarisbawahi bahwa liputan dapat mempengaruhi kesadaran masyarakat dan pengetahuan kesehatan, profesional kesehatan dalam pemberian layanan, dan pemerintah terkait kebijakan. Karena itu wartawan harus memikirkan apakah berita yang ditulis itu memberikan masyrakat informasi yang dibutuhkan. Wartawan kesehatan bertanggung jawab untuk menyampaikan informasi kesehatan dan berita secara obyektif kepada masyarakat sehingga bisa membantu mereka dalam membuat keputusan mengenai kesehatan mereka. Jadi soal pola hidup, pola makan, upaya mencari pertolongan kesehatan. Dalam pekerjaannya wartawan harus bebas dari bias dan konflik kepentingan. Kemudian jika mengerjakan tulisan, perlu bersikap kritis tentang bagaimana suatu kebijakan itu bisa berdampak pada berbagai kelompok masyarakat yang berbeda. Misalnya dalam status ekonomi, pendidikan, kesehatan, kepercayaan, budaya, dan lain-lain,” ujar Atika.

Khusus isu COVID-19, Atika menjelaskan jurnalis kesehatan/iptek bisa memberikan pemahaman tentang virus SARS COV-2 dan mutasinya, berbagai bentuk gejala, terapi, obat, vaksin, hal-hal yang terkait eliminasi penyakit, perbandingan pandemi Corona dengan yang lain.”Jurnalis memberikan informasi terkait cara penanganan pandemi dan mengeritisi kebijakan Pemerintah yang tidak sesuai dengan kaidah penanganan COVID-19, misalnya soal pelaksanaan tracing, tes Polymerase Chain Reaction (PCR) dimana Indonesia jauh ketinggalan dari negara-negara lain, serta pengumpulan dan pengungkapan data yang dinilai belum sesuai dengan situasi lapangan. Jauh sebelum pengungkapan kasus klaster Depok, Kompas sudah mendorong dilakukannya tes PCR untuk COVID-19 dan pengungkapan kasus ketika sudah terdengar kematian-kematian dengan gejala mirip gejala COVID-19. Misalnya kasus Cianjur, terus yang Semarang, itu yang sampai sekarang kita tidak tahu sebenarnya COVID-19 atau flu babi?” tanya Atika. Isu-isu COVID-19 lainnya, menurut Atika, tentang pentingnya jaga jarak dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serta penerapannya di lapangan yang ternyata tidak disiplin. Demikian juga isu pelonggaran PSBB sebelum kurva penambahan kasus baru COVID-19 melandai. Jurnalis kesehatan/iptek juga bisa menjadi referensi masyarakat untuk meluruskan informasi terkait hoax dan memantau perkembangan pengetahuan dan penelitian COVID-19 seperti tentang virusnya, mutasinya, vaksin, obat, pemutusan rantai penularan, dan lain-lain.

 

Mantan jurnalis Metro TV Andini Effendi menyebutkan pentingnya jurnalis kesehatan/iptek memiliki latar belakang kedokteran dan kemampuan story-telling yang baik. Andini mencontohkan koresponden medis CNN dokter Sanjay Gupta dan seorang dokter yang menulis artikel di majalah kesehatan AS. “Dokter Sanjay mengetes sendiri. Dia lakukan swabbed test dan blood test, untuk menunjukkan ini lho sebenarnya yang terjadi kalau kita dites darah, di swabbed test itu maksudnya begini. Audience kita bukan bodoh tetapi awam sehingga harus ada yang bisa bertutur kepada kita. Itu yang kita kurang sebenarnya sekarang. Termasuk sebenarnya kalau boleh jujur, di media cetakpun belum ada yang bisa bertutur seperti itu. Seperti misalnya kita baca majalah kesehatan AS, mengapa di negara bagian New York penderita COVID-19 lebih besar dibandingkan yang lain? Yang bicara juga seorang dokter tetapi dari cara berceritanya, kita jadi faham karena oh di New York itu tempat tinggalnya bertumpuk-tumpuk dan  populasi orang tua di sana sekian dan mereka punya kecenderungan beresiko tinggi karena dietnya orang Amerika itu begini. Saya sebagai orang awam jadi tahu ternyata 70% dari kekebalan tubuh kita berdasarkan sistem pencernaan. Saya sebagai jurnalis jadi ingin menceritakan kembali kepada orang lain,” kata jurnalis penerima Asian Television Award ini.

 

Bagaimana dengan pencapaian target dari Presiden Joko Widodo agar semua lab partner Pemerintah bisa menghasilkan 10.000 uji tes PCR per hari? Wakil Kepala Lembaga Eijkman Profesor Herawati Sudoyo Supolo mengatakan target tersebut bisa tercapai karena saat ini dilakukan oleh mesin automatic retractor dan sistem deteksi tertutup otomatis serta semakin banyak laboratorium yang melakukan pengujian sampel. Pada awalnya, tes PCR dilakukan secara manual dan hanya sedikit laboratorium yang menguji, sehingga jumlah hasil per hari sedikit. Berdasarkan data  Lembaga Eijkman per tanggal  27 Mei 2020, jumlah semua jenis sampel adalah 12.265. Dari total sampel tersebut, yang berasal dari Naso dan Oropharyngeal Swab hanya 10.114. Dari jumlah tersebut, 15% positif COVID-19 dan selebihnya negatif.

Prof. Hera menjabarkan tahap-tahap penemuan vaksin oleh para peneliti Lembaga Eijkman. Tahap pertama bulan Maret sampai dengan April 2020 melakukan isolasi dan amplifikasi Gen Spike. Tahap kedua bulan Mei 2020 melakukan kloning Gen ke Vektor. Tahap ketiga bulan Juni sampai dengan Oktober 2020 menghasilkan antigen (kandidat vaksin). Tahap keempat bulan November 2020 sampai dengan Januari 2021 melakukan uji klinis terhadap hewan dan akhirnya manusia. Tahap terakhir, pada bulan Februari 2021 vaksin diharapkan sudah bisa diproduksi secara masal. Pada awal Juni saat talk show Media Lab berlangsung, Lembaga Eijkman berada pada tahapan bulan Mei yaitu cloning gen ke vektor-vektor. Kata Prof. Hera,”Vektor itu yang nantinya akan memperbanyak faktor tersebut. Gen yang mana? Gen S yang kita tuju, karena dia itu yang docking ke sel manusia sekarang kita tahu tapi juga kita lakukan yang lain-lain. Juni-Oktober tujuan kita untuk mendapatkan kandidat vaksin. Jadi mudah-mudahan, kalau tidak ada aral melintang, Oktober kita mungkin punya seed vaksin tersebut. Selebihnya, itu adalah urusan mitra.”

Sebagai bagian dari proses menemukan vaksin, Indonesia telah memberikan whole genome sequence kepada sebuah lembaga internasional GISAID. Kata Prof. Hera,”Pada tanggal 4 Mei 2020, untuk pertama kalinya Lembaga Eijkman meng-upload 3 whole genome sequence ke suatu badan bernama GISAID, Global Initiative on Sharing All Influenza Data. Sampai saat ini (5 Juni 2020), 9 genome Indonesia sudah tersedia di bank tersebut: 7 dari Lembaga Eijkman, 2 dari IPD Unair. Sampai Kamis tanggal 28 Mei lalu, pangkalan data GISAID sudah menampung 34.000 data virus dari 81 negara. Kita bersyukur bahwa dari 81 negara itu, Indonesia masuk di dalamnya. Saat ini peneliti kami sedang menyelesaikan 20 lagi, sehingga bisa upload total menjadi 27 dalam minggu-minggu mendatang.”

Prof. Hera menjelaskan fungsi proses sequencing yang dikerjakan oleh para peneliti. Menurutnya, ini bukan suatu pekerjaan yang mudah. “Banyak sekali karakterisasi virus karena pertama, kita belum mengenal sama sekali virusnya. Apakah dia spesifik Indonesia atau tidak? Apakah sama dengan virus global? Kedua, kita memonitor evolusi virus. Apakah virus dalam perjalanan hidupnya bermutasi? Ketiga, menentukan seberapa cepat virus beradaptasi. Virus beradaptasi jika pasien itu resistant terhadap virus tersebut. Keempat, melacak rute transmisi virus. Kelima, melakukan identifikasi target untuk terapi vaksin dan yang terakhir, memprediksi ancaman pandemi berikutnya.”

Prof. Hera menegaskan bahwa deteksi virus, contact tracing dan vaksinasi sangat diperlukan dalam menghadapi kehidupan normal baru. Katanya, “Ada 6 usulan atau pedoman dari WHO kalau kita ingin betul-betul bebas dari virus tersebut. Pertama, angka penularan terkendali (RO <1). Kedua, sistem kesehatan memadai, mampu identifikasi, isolasi, pengujian pelacakan dan karantina. Ketiga, wabah harus bisa ditekan di tempat dengan kerentanan tinggi seperti pemukiman padat dan panti wreda. Keempat, langkah-langkah pencegahan di lingkungan kerja. Kelima, mengendalikan kasus pembawa ke suatu wilayah. Keenam, meminta pendapat komunitas pakar.” Menurut Prof. Hera, Lembaga Eijkman berperan dalam poin kedua, yaitu mampu identifikasi, isolasi, pengujian pelacakan.

Menjalani kelaziman baru (new normal) dimana kurva yang positif COVID-19 di Indonesia malah semakin naik, masyarakat Indonesia bergantung pada jalinan komunikasi yang baik antara jurnalis kesehatan/iptek, para ilmuwan medis dan Pemerintah. Peran jurnalis kesehatan/iptek yang berpedoman pada Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers sangat signifikan untuk menyebarluaskan informasi yang telah diuji oleh peneliti dan didukung oleh peer review. Berdasarkan informasi kredibel inilah, para pimpinan nasional dan daerah mengambil keputusan untuk menarik ulur antara kesehatan publik dan bergulirnya roda perekonomian.



Download