Reportase Saat Pandemi Covid-19

Reportase Saat Pandemi Covid-19
15 Juni 2020 | MediaCentre

Banyak tantangan baru yang dihadapi jurnalis sebagai sumber informasi kredibel dalam meliput pandemi Corona. 

Tantangan tersebut misalnya menjaga independensi dengan narasumber tunggal, dalam hal ini Pemerintah, saat ada pembatasan fisik dan semua menggunakan video conference. Tantangan lain seperti melihat langsung apa yang terjadi di lapangan karena jurnalis bertaruh nyawa saat berada di dalam kerumunan, meliput di rumah-rumah sakit rujukan Covid-19 dan tempat pemakaman khusus penderita Corona. Yang terakhir, jurnalis tidak punya cukup referensi jurnal ilmiah maupun daftar pakar yang berkompeten tentang virus corona.

            Untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut, Dewan Pers menyelenggarakan web seminar (webinar) Media Lab tentang reportase di masa pandemi Covid-19 pada tanggal 8 Mei 2020. Dengan dipandu moderator Head of News Medcom.id Indra Maulana, empat jurnalis perempuan dan seorang ilmuwan perempuan berbagi pengalaman tentang reportase saat pandemi. Mereka adalah News Director CNN Indonesia Desi Anwar, Redaktur Senior Kompas Ninuk Pambudy, Editor-In-Chief Femina Petty Fatimah. Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis dan Wakil Kepala Lembaga Eijkman Herawati Supolo Sudoyo.

Dalam meliput pandemi Corona, jurnalis tetap  harus menjaga independensi terhadap Pemerintah. Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis mengutip Element of Journalism yang ditulis oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, bahwa jurnalisme itu adalah menyampaikan informasi kepada publik sedemikian rupa sehingga publik dapat mengambil keputusan yang berakibat baik bagi kehidupannya. “Nah, karena itu, kalau di situasi normal, menjalankan kode etik jurnalistik yang sifatnya universal itu, dan ini menjadi seratus kali atau bahkan seribu kali lagi lebih penting. Justru, di era pandemic dimana setiap peliputan kita itu efeknya langsung kepada kemanusiaan dan nyawa manusia itu sendiri,” kata Uni Lubis. Ia menekankan bahwa jurnalis harus berpihak kepada publik. “Seringkali selama pandemi ini kita mendengarkan jargon “We are all in this together”. Friendly reminder buat media adalah kita tidak in this together dengan politisi, scientist atau industri kesehatan. Tetapi media dengan jurnalisnya itu in this together bersama publik, bersama warga. Tapi kembali ke awal tadi, bahwa kita harus menyelamatkan nyawa manusia,”ujar Uni.

News Director CNN Desi Anwar berpendapat bahwa saat ini media perlu kritis kepada Pemerintah karena Covid-19 memperlihatkan ketidaksiapan sistem kesehatan Indonesia menghadapi pandemi. “Fokusnya itu bagaimana membuat masyarakat Indonesia itu lebih sehat. Bagaimana kita memastikan bahwa kalau ada pandemi lagi, rumah sakit itu cukup, tenaga kesehatannya itu cukup, obat-obatannya itu cukup, equipment-nya itu cukup. Ini sekarang sudah mulai kelihatan bahwa kita tidak bisa mengatasi. Karena banyak kekurangan-kekurangan. Karena ini ke depannya pandemic pasti ada lagi. Jadi kita setelah ini, kita harus push. Tidak bisa business as usual. Harus ada perubahan dalam tatanan perekonomian dan society yang kita bangun. Saya rasa media dalam hal ini harus kritis, tidak bisa hanya latah ya dalam mengambil kutipan-kutipan saja dari pemerintah, tapi harus juga memberikan solusi,” kata Desi.

Editor-in-Chief Femina Petty Fatimah  mengutip hasil survei online Prana Dinamika Sejahtera (Femina, Gadis, Ayah Bunda, Parenting Indonesia) tentang “Corona dan Kehidupan Saya” yang diikuti 1.300 responden. 99% dari responden adalah perempuan; 63% berusia 25-39 tahun dan 31% berusia 15-24 tahun; 42% bekerja, 34% ibu rumah tangga, 26% pelajar dan mahasiswa. Rata-rata responden memiliki anak yang berusia balita dengan  pengeluaran minimum Rp. 3.5 juta per bulan. Hasil survei menunjukkan bahwa responden membutuhkan informasi terkait dengan pandemi, namun Petty menekankan Pemerintah perlu berhati-hati dalam mengomunikasikan tindakan pencegahan Covid-19 kepada publik. “Kita bisa lihat di sini bahwa, ini perempuan ya, basednya perempuan. Ternyata informasi yang dibutuhkan itu benar-benar basic necessity yang mereka butuhkan untuk menjalankan kehidupan. Mereka jelas cemas, mereka ragu, mereka takut. Maka yang pertama adalah tindakan pencegahan pada diri, keluarga dan lingkungan, 88%. Itu cukup masuk akal karena biasanya karakter perempuan itu dia merasa bertanggung jawab pada sekelilingnya. Lalu kedua, adalah tindakan pencegahan dari pemerintah. Jadi mereka tetap dengar pemerintah bicara apa. Mungkin kalau ada teman-teman dari government di sini. Saya cuma mau bilang di sini sebagai wakil dari suara perempuan, hati-hati dengan semua informasi, kata-kata, apapun yang disampaikan. Karena mereka itu akan menyerap seperti sponge. Begitu salah, ya salah semua,” ujar Petty.

Tugas jurnalis adalah melihat dan melaporkan kondisi di lapangan kepada publik. Namun pembatasan fisik demi keselamatan jiwa serta rasa takut menjadi kendala. Akhirnya, para pemimpin redaksi merelakan jurnalisnya meliput dengan dibekali masker, hand sanitizer dan vitamin C serta sesekali melakukan counseling untuk kesehatan mental diri sendiri dan anak buah mereka. Mantan Pemimpin Redaksi Kompas Nunik Pambudy berpegang pada ajaran mantan wartawan harian tersebut Romo Sindhunata,”Wartawan itu adalah pekerjaan kaki, yang artinya ya dia harus jalan. Mencari berita itu di lapangan. Baru kemudian mencari sumber-sumber sekunder. Tapi sumber primernya dia itu adalah lapangan. Hal seperti ini masih tetap kita coba pegang. Pertama-tama memang semua orang takut. Saya juga ditentang oleh teman-teman. Kami biasa berdiskusi, mempersoalkan apa iya wartawan tetap mau ke lapangan. Saya tidak bisa melarang teman-teman yang masih mau ke lapangan. Sepanjang itu tidak membahayakan keselamatannya, misalnya, nekad pergi ke Sulianti Saroso tanpa perlindungan. Jadi misalnya ada menteri mengundang press conference, mengundang acara sidak. Saya bilang, jangan datang kalau sidak itu. Kita terus terang takut ya, ada sidak di tempat yang kerumunan. Kita bilang nggak, kalau itu nggak usah. Kita ambil aja rilisnya, press conferencenya. Kita bisa cek ulang lagi, tapi dengan menjaga jarak. Kan bisa dihubungi satu per satu tanpa harus berada di kerumunan,”ujar Ninuk.

Sebaliknya, Uni Lubis sebagai Pemimpin Redaksi IDN Times memutuskan melanggar aturannya sendiri untuk turun ke lapangan. “Karena saya tidak tahan untuk tidak meliput ketika angka pemakaman di DKI melonjak 40%. Di Tegal Alur, di TPU Tegal Alur dan di Pondok Rangon ya. Menurut saya memang ada bagian dimana seeing is believing. Saya juga tidak punya kontaknya penggali kubur atau orang di sana. Jadi saya mengambil risiko dengan protokol kesehatan untuk datang ke lapangan. Saya meliput ke Tegal Alur. Saya bilang, sudah saya saja yang liput. Karena kalau ada terjadi apa-apa dengan tim saya, saya tanggung jawab. Kalau terjadi apa-apa dengan saya, saya yang tanggung jawab. Terus saya ke sana dengan pakai sarung tangan, pakai masker, pakai jas hujan karena tidak punya hazmat. Saya di sana 30 menit, saya menyaksikan 7 pemakaman. Jadi memang saya bisa melihat langsung kewalahannya para petugas penggali kubur yang bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 12 malam. Sebab ada yang datang jam 12 malam, harus segera dikubur. Tapi dari situ saya bisa mendapatkan kontak dari orang-orang yang di lapangan termasuk ambulans dan membagi ke redaksi, dan selanjutnya redaksi tinggal follow up untuk update via telepon,”kata Uni.

Tantangan lain bagi jurnalis dalam meliput pandemi ini adalah mendapatkan referensi tentang Corona dan akses kepada para ilmuwan. Wakil Kepada Lembaga Eijkman Profesor Herawati Sudoyo Supolo mengakui bahwa sebelum pandemi, para peneliti enggan berbagi informasi dengan media karena takut salah dikutip. Namun saat ini situasi terbalik, sehingga Prof. Hera mengingatkan agar jurnalis mencari narasumber yang memang pakar pada bidangnya dan bahwa informasi berasal dari lembaga yang memang dikenal bekerja dalam bidang itu. “Karena sekarang ini pertanyaannya adalah kapan sih kita bebas dari work from home ini? (Covid-19) itu sesuatu yang baru yang semua beradaptasi. Demikian juga kita sekarang. Saya kira itu sebenarnya bagaimana peran dari para peneliti itu memberikan data yang terkini kepada teman-teman dari media. Dan sekarang saya kira teman-teman ilmuwan pun sudah tidak canggung lagi dan tidak takut untuk memberikan pernyataan-pernyataan itu. Karena dasarnya adalah dasar ilmiah.”

Wartawan juga perlu mengecek ulang apakah mereka secara akurat memahami informasi dan istilah yang disampaikan para ilmuwan. Contohnya, memahami istilah strain dan genom dalam proses pembuatan vaksin untuk Covid-19 di Indonesia. Pada awalnya, ada virus bernama Corona dan salah satu anggotanya menyebabkan SARS. Beberapa tahun kemudian, SARS ini bermutasi yang kemudian dikenal dengan strain SARS COV-2. SARS COV-2 adalah nama virusnya sedangkan Covid-19 adalah nama penyakitnya. Di dalam strain SARS COV-2, ada beberapa genom.

Wakil Kepala Lembaga Eijkman Prof. Hera menyebutkan dari Indonesia sudah ada 3 genom yang telah diserahkan kepada bank virus milik WHO. “Misalnya bahwa gnome Indonesia yang tadi itu bukan berarti dia unik Indonesia, sampai sekarang belum. Karena analisis baru 3, terus kemudian juga bahwa dia itu adalah merupakan kelompok. Jadi SARS COVID, virusnya sendiri sudah ada di bank virus, ada 16.000 sudah. Kita baru memberikan 3 untuk targetnya nantinya 100. Nah, kalau 100, itu mungkinlah bisa memberikan representasi dari Indonesia tadi dan disebut kelompok. Ada 3 kelompok dan Indonesia itu masuk di kelompok yang ke-4 yang namanya others. Berarti kan belum diketahui sebenarnya, dan di dalam others itu 2.000 dari negara-negara lain. Kelihatan di situ bahwa kita pun belum tahu, “ kata Prof. Hera menjelaskan.

Wartawan juga harus terus belajar karena selalu ada yang baru dalam ilmu pengetahuan, apalagi isu Covid-19 ini belum difahami sepenuhnya oleh para ilmuwan. Sebaliknya, ilmuwan harus punya strategi dalam memberikan informasi kepada publik dapat memberikan gambaran yang benar dan tidak menimbulkan kepanikan.



Download