Jurnalistik dan Virus Corona

Jurnalistik dan Virus Corona
10 April 2020 | MediaCentre

Fenomena epidemi Covid 19 atau virus corona mengubah manusia yang merupakan mahluk sosial menjadi anti sosial. Dalam realita sehari-hari, kita harus menjaga jarak fisik, idealnya dua meter, supaya tidak menularkan atau ketularan virus corona. Kita juga harus menghindari kerumunan karena virus ini berkembang secara eksponensial setiap harinya dan menyebar melalui manusia sebagai carriernya.

Seorang anak tidak bisa menengok orang tuanya. Seorang istri tidak bisa melihat wajah suami yang sudah meninggal untuk terakhir kalinya sebelum dimakamkan. Seseorang tidak bisa melayat sahabatnya yang meninggal dunia, meskipun penyebab kematiannya bukan virus corona. Seorang kakak tidak bisa masuk ke ruang ICU menjenguk adiknya yang baru saja menjalani operasi. Seorang murid bersekolah memakai aplikasi jarak jauh. Umat beragama beribadah di rumah atau menghadiri sermon secara virtual.  Kita juga harus memakai masker seperti yang biasa dokter atau suster pakai di rumah-rumah sakit dan menghindari berjabat tangan atau cium pipi kanan kiri atau cium tangan. Dua orang  kerabat yang sudah lama tidak bertemu tidak bisa menatap wajah karena tertutup oleh masker dan tidak bisa bersentuhan fisik untuk melampiaskan rasa rindunya.

Meskipun begitu, virus ini juga memaksa manusia mengingatkan akan kesetiakawanan sosialnya. Kita memberikan masker kepada orang yang tidak kita kenal karena ia batuk-batuk dan bersin. Masyakat  Indonesia menyumbang APD senilai puluhan milyar rupiah untuk suster dan dokter di rumah-rumah sakit nasional hingga puskesmas di pelosok Indonesia. Restoran di Amerika mengantarkan makanan bergizi untuk dokter dan suster. Warung-warung di Jakarta menyediakan makanan gratis untuk pekerja sektor informal.

Desainer kenamaan Anne Avantie meminta para penjahitnya membuat setelan hazmat. Holding perusahaan barang mewah LVMH meminta pabrik parfumnya memproduksi 12 ton hand sanitizer dan kurang dari 72 jam mendistribusikannya ke rumah-rumah sakit di Paris. Laboratorium komersial menjadi partner kemanusiaan dengan bekerja keras mengetes ribuan hingga puluhan ribu spesimen PCR setiap harinya. Dan seterusnya.

Semua anomali berikut ini juga terjadi gara-gara covid 19. Masjidil Haram di Mekah lengang dan kiblat umat Islam Ka’bah tidak dikelilingi satu manusiapun karena Pemerintah Arab Saudi menyetop ibadah umroh dan belum ada kepastian tentang ibadah haji. Demikian pula Paus Fransiskus  yang memimpin rangkaian Misa Pekan Suci dan Paskah pada April 2020, yang akan digelar tanpa kehadiran umat. Event besar olahraga seperti Olimpiade dan Paralimpiade 2020 di Tokyo diundur menjadi 23 Juli hingga 8 Agustus 2021.

Majelis Ulama Indonesia berfatwa agar umat Islam mengganti Salat Jumat di mesjid menjadi Salat Zhuhur di kediaman masing-masing. Pemerintah Indonesiapun menghimbau supaya penduduk Jakarta tidak mudik, padahal ini tradisi yang sangat dinanti setiap akhir Ramadan agar bisa berlebaran dengan keluarga. Seperti kita ketahui, Jakarta adalah epicenter virus corona di Indonesia karena memiliki jumlah kematian terbesar, sehingga perpindahan manusia dalam jumlah besar akan menyebarkan virus corona ke seluruh penjuru Indonesia.

Namun demikian, kabar baiknya adalah virus ini memaksa manusia menginjak rem dan memberikan kesempatan kepada alam untuk merestorasi dirinya. Lapisan ozon terluar dari bumi kita berangsur-angsur kembali normal. Polusi menurun drastis sejak manusia mengurangi pemakaian kendaraan bermotor dan pabrik-pabrik mengurangi kapasitas produksinya. Langit yang biasanya abu-abu karena polusi udara kembali menjadi biru dan udara kotor yang biasanya kita hirup kembali bersih. Manusiapun kembali bersahabat dengan alam dengan berjemur di bawah sinar matahari setiap pagi untuk menstimuli daya tahan tubuhnya.

 

Dampak terhadap liputan

Bagaimana dampak virus corona terhadap jurnalis dan jurnalistik? Untuk pertama kalinya, jurnalis bisa terancam nyawanya saat bekerja oleh sosok yang tidak kasat mata. Seperti lazimnya peliputan peperangan, di dalam perang melawan covid-19, jurnalis juga bisa dipersepsikan tidak mau bekerjasama dengan Pemerintah sebagai satu-satunya sumber informasi. Padahal di dalam kondisi ketidakpastian seperti sekarang ini, jurnalis menjalankan peran yang sama mulianya dengan petugas medis, petani, karyawan apotik dan para pedagang bahan pangan. Semua orang berpaling ke media yang kredibel karena butuh informasi yang akurat tentang virus corona dan bagaimana bisa tetap sehat dan selamat melalui pandemi ini.

Banyak aspek yang tak terpikirkan sebelumnya ketika fokus peliputan sang jurnalis adalah sebuah pandemi. Pertama, bagaimana  menjaga independensi saat sumber informasi satu-satunya adalah Pemerintah? Kedua, bagaimana jurnalis meliput tanpa tatap muka dan blusukan? Ketiga, dengan kerumitan penyakit ini dan sedikit referensi tentangnya, bagaimana kita melakukan reportase untuk mengungkap kebenaran tentang covid-19? Sebagai gambaran, dalam 10 tahun terakhir baru ada tiga jurnal ilmiah tentang covid-19 dan hingga kini, para ilmuwan peneliti belum juga menemukan vaksin untuk melawannya.

Dalam peliputan virus corona di Hungaria, Thailand dan Filipina, jurnalis diancam hukuman penjara jika melaporkan informasi secara kritis. Di negara demokratis seperti India, Mahkamah Agung mengatur jurnalis agar memberitakan semua yang Pemerintah sampaikan tentang virus corona. Jurnalis di Indonesia beruntung karena memiliki kebebasan pers, namun pendekatan bahwa media harus berkolaborasi dalam memerangi pandemi ini bisa mengaburkan garis batas independensi jurnalistik. Terlepas dari keterbatasan cara peliputan, reportase investigasi sangat diperlukan untuk mengungkap kebenaran informasi searah.

Liputan yang mendalam juga diharapkan bisa mengupas tuntas kinerja serta akuntabilitas Pemerintah dalam mengeksekusi kebijakannya melawan pandemi ini. Jurnalis harus menjaga kekritisannya terhadap Pemerintah karena kesehatan dan keselamatan publik sangat bergantung kepada kinerja rumah-rumah sakit rujukan dan laboratorium yang ditunjuk oleh Pemerintah. Wartawan juga perlu memverifikasi realisasi penyelenggaraan dan penggunaan alat rapid test serta pelaporannya untuk uji petik jumlah penderita corona di Indonesia, sehingga memiliki gambaran proyeksi fasilitas kesehatan dan jumlah tenaga medis yang perlu disediakan oleh Pemerintah. Jurnalis juga perlu mengawasi transparansi pendistribusian dana jaringan pengamanan sosial serta dana stimulasi ekonomi untuk industri di Indonesia.

Wartawan yang memiliki jaringan yang luas dan kedekatan dengan narasumbernya akan lebih mudah melakukan peliputan tanpa tatap muka dan blusukan. Teknologi bisa membantu untuk tatap muka secara online dan memverifikasi dokumen yang terkait dengan covid-19 atau memainkan rekaman wawancara dengan narasumber lain untuk mendapatkan peliputan dua sisi. Jurnalis juga bisa memanfaatkan aplikasi penyebaran covid-19 yang dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah untuk mendapatkan data. Sumber online yang bisa dicek juga adalah data perusahaan BUMN dan swasta, asosiasi serta lembaga pemerintah yang terkait dengan kebijakan Pemerintah, fasilitas publik dan kesehatan masyarakat.

Apakah seorang jurnalis harus memiliki spesialisasi di bidang kesehatan untuk memahami studi dan riset yang dipublikasi oleh para dokter, ilmuwan dan peneliti saat mereka berhasil merawat dan menyembuhkan pasien corona? Tidak. Seorang wartawan bisa memiliki rekan di bidang medis yang bisa membantunya memahami jurnal maupun riset terbaru tentang virus corona tadi. Jurnalis yang memang terlatih menjadi seorang generalis memiliki kemampuan untuk belajar cepat dan menyerap informasi terkait hal-hal yang baru. Jaringan pertemanan dan kedekatan dengan narasumber juga membantu wartawan mendapatkan data riset atau unpublished journals sehingga bisa menjadi sebuah scoop dalam peliputan virus corona ini. Disinilah intelektualitas seorang jurnalis diuji untuk menyaring apakah informasi dari jurnal itu bersifat universal dan kontekstual dengan kondisi dan situasi di Indonesia.

 

Sesuai Kode Etik Jurnalistik

Perjalanan kemanusiaan kita melalui pandemi corona ini masih panjang dan memerlukan praktik jurnalistik yang sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers. Ikatan Alumni Departemen Matematika Universitas Indonesia membuat model berdasarkan tiga skenario untuk memproyeksikan kapan pandemi covid-19 ini akan berakhir. Model ini dibuat oleh Barry Mikhael Calvin. Rahmat Al Kafi, Yoshua Yonatan Hamonangan, dan Imanuel M. Rustijono. Data yang digunakan untuk simulasi adalah data kasus kumulatif dari tanggal 2 sampai dengan 29 Maret 2020 yang dipublikasikan oleh situs kawalcovid19.id. Model ini berpatokan pada model SIRU dengan menghitung angka yang positif corona (infected cases) maupun yang tidak terlaporkan (unreported cases).

Skenario 1 berlaku apabila per 1 April 2020 tidak ada kebijakan maupun tindakan tegas dalam mengurangi interaksi antarmanusia. Menurut skenario ini, puncak pandemi akan terjadi pada 4 Juni 2020 dengan 11.318 kasus baru dan akumulasi kasus positif hingga ratusan ribu. Pandemi diperkirakan mereda pada akhir Agustus sampai awal September 2020.

Skenario 2 berlaku apabila per 1 April 2020 sudah ada kebijakan pembatasan sosial namun masyarakat tidak disiplin dan tidak ada sanksi untuk pelanggarannya. Dalam skenario 2 ini diperkirakan puncak pandemi akan terjadi pada 2 Mei 2020 dengan 1.490 kasus baru dan akumulasi kasus positif mencapai 60.000 kasus serta pandemi diproyeksikan mereda pada akhir Juni sampai awal Juli 2020.

Skenario 3 terjadi apabila per 1 April sudah berlaku kebijakan pembatasan sosial dan masyarakat disiplin dalam menjaga jarak fisik. Dengan skenario ini, puncak pandemi diproyeksikan terjadi pada 16 April 2020 dengan 546 kasus baru dan akumulasi kasus positf mencapai 17.000 kasus. Pandemi diperkirakan mereda pada akhir Mei sampai awal Juni 2020.

Akhirnya, fungsi media yang memberikan edukasi kepada publik belum cukup melalui ruang redaksi. Media juga membuat kampanye tentang pencegahan penularan virus corona dengan berdiam diri di rumah saja, melakukan jarak fisik dan memakai masker, mengenali gejala sakit akibat virus corona yang harus diwaspadai dan topik relevan lainnya. Televisi  dan radio menyumbangkan jam penayangan untuk iklan-iklan layanan masyarakat ini. Media cetak dan media siber memberikan halamannya untuk memasang kampanye edukatif ini. Selain itu, jurnalis juga merupakan makhluk sosial sehingga media tempat ia bernaung sah-sah saja terlibat dalam berbagai kegiatan kemanusiaan untuk menolong tenaga medis maupun korban virus corona. Dewan Pers dalam hal ini membuat peraturan untuk perusahaan media tentang penggalangan dana media untuk bencana kemanusiaan. ***



Download