Simalakama Digitalisasi untuk Media Jurnalisitik

Simalakama Digitalisasi untuk Media Jurnalisitik
10 Juni 2019 | MediaCentre

Hal inilah yang sedang dihadapi industri media nasional terkait dengan keberadaan media baru seperti mesin pencari, agregator berita dan media sosial. Frenemy! Kata ini belakangan sering digunakan untuk menjelaskan ambivalensi posisi media baru itu di hadapan media lama -- katakanlah media jurnalistik. Kawan (friend) sekaligus lawan (enemy). Nikos Smyrnaios (2015) memiliki padanan istilah yang lain: coopetition. Bahwa yang terjadi antara media lama dan media baru adalah kerja-sama (cooperation) sekaligus persaingan (competition). 

Disebut “kawan” karena mesin-pencari, agregator berita dan media sosial telah memberikan banyak kemudahan pro-duksi dan distribusi berita. Hari ini, menjadi wartawan menjadi lebih mudah. Informasi, data, perspektif begitu melimpah. Produksi berita juga sangat terbantu oleh berbagai aplikasi dan fitur yang disediakan google dan lain-lain. Proses distribusi berita juga dihadapkan pada banyak opsi. Wartawan dapat mengunggah berita di akun facebook pribadi. Kunjungan ke portal berita sebagian besar diperantarai mesin pencari atau agregator berita. Stasiun televisi dapat mempromosikan siarannya di kanal youtube. Jelas sekali dalam konteks ini media baru adalah “kawan” bagi media lama. 
Namun, media baru juga menjadi “lawan” karena mereka sesungguhnya juga perusahaan media yang hidup dari proses komodifikasi informasi. Media baru bertarung secara langsung dengan media lama untuk memperebutkan perhatian khalayak dan kue iklan. Bukan sekedar lawan, mereka  adalah “lawan dalam selimut”. Mereka memanfaatkan pasokan berita dari media jurnalistik yang sering terjadi secara cuma-cuma atau tanpa imbal-balik sepadan. Besaran dan kapitalisasi media baru bertumbuh dengan pesat, sementara media lama yang mereka manfaatkan pasokan beritanya justru terus mengalami penyusutan. 

 


Menjadi Follower Media Sosial?
   Salah satu adagium yang muncul dalam digitalisasi adalah “setiap orang adalah sumber sekaligus pewarta pada dirinya sendiri”. Jika demikian adanya, lalu apa arti profesi jurnalis? Apa makna jurnalisme sebagai “isme” ketika orang dapat leluasa menyebarkan tulisan yang apriori, sepihak dan menghakimi? Apa makna jurnalisme jika tulisan semacam itu juga diperlakukan sama dengan tulisan yang memenuhi kaedah jurnalistik yang baku? Tom Nichols dalam buku The Death of Expertise (2017) menjelaskan fenomena runtuhnya standar-standar penilaian ilmiah. Euphoria media sosial ditandai dengan ketidakmampuan kolektif untuk membedakan antara yang informatif dan yang spekulatif, antara yang proporsional dan yang berlebihan, antara yang mengandung kebohongan dan yang layak dipertimbangkan. 
Runtuhnya standar-standar penilaian ilmiah ini menimbulkan dilema bagi pengelola media jurnalistik. Apakah mereka mesti mengikuti model penyajian informasi yang instan, patah-patah, sepihak, ekspresif dan serba cepat khas media sosial? Apakah media jurnalistik mesti menjadi follower media sosial? David Levy, Direktur The Reuters Institute for the Study of Journalism Universitas Oxford pernah mengingatkan jika media jurnalistik mengikuti model penyajian informasi yang demikian itu, mereka sebenarnya sedang terjerumus dalam habitat kompetitor yang jauh lebih kuat: Facebook, Twitter, Youtube. Dalam arena pertarungan informasi yang instan, patah-patah, sepihak dan serba cepat itu, merekalah juaranya. Untuk bertahan hidup, semestinya media jurnalistik menyajikan sesuatu yang berbeda dan lebih baik.  
Namun yang berkembang belakangan justru sebaliknya. Banyak media jurnalistik mengikuti trend penyajian informasi yang instan, patah-patah, ekspresif ala media sosial. Pertimbangan mereka masuk akal juga. Masyarakat telah sedemikian rupa terhegemoni oleh media sosial. Penyesuaian diri terhadap model komunikasi khas media sosial merupakan keniscayaan untuk meraih perhatian khalayak dan mempertahankan traffic.

 


Inisiatif Kolaborasi

Dilema digitalisasi juga terlihat saat pengelola media jurnalistik menghadapi inisiatif kolaborasi yang ditawarkan raksasa digital seperti Google dan Facebook.  Juni 2015, Google meluncurkan proyek News Lab untuk mengasah kemam-puan jurnalis dalam memanfaatkan aplikasi atau fitur google guna menunjang proses pencarian, verifika-si dan analisis data. Untuk merespon Facebook Instant Articles, Google meluncurkan Accelerated Mobile Pages (AMP) Februari 2016. Sebuah proyek  open source  untuk mengatasi  hambatan teknis dalam menyajikan berita yang aktratif dan cepat dalam format mobile. Google menunjukkan niat untuk berbagi. Google membutuhkan pasokan berita dari media jurnalistik dan ingin berbagi teknologi dan potensi ekonomi dengan mereka.  
Ketika digitalisasi telah menjadi keniscayaan, tentu saja inisiatif itu menarik minat pengelola media jurnalistik. Inisiatif kolaborasi itu membuka peluang dan kemungkinan baru. Dihadapkan pada masa depan yang tidak pasti, pengelola media jurnalistik terdo-rong untuk membuka diri terhadap hal-hal baru. Yang perlu dipahami adalah bahwa News Lab, AMP, juga Digital News Initiative sesungguhnya adalah “proyek rayuan” kepada pengelola media jurnalistik yang sedang marah terhadap Google (nicey-nicey project). 

Latar belakangnya adalah sejumlah gugatan hukum terhadap Google di Eropa karena Google dianggap memanfaatkan konten jurnalistik secara sepihak dan tanpa imbal-balik untuk media yang memproduksi konten tersebut. 
Raju Narisetti, CEO of Gizmodo Media Group menilai “proyek rayuan” itu sebagai kerjasama yang timpang. Google mendapat nama baik dan legitimasi untuk memanfaatkan berita dari media jurnalistik. Sudah pasti media jurnalistik mendapatkan transfer teknologi. Namun, apakah teknologi itu dapat diolah untuk menghasilkan keuntungan ekonomi? Tetap menjadi tanda-tanya. 

Kesenjangan melatarbelakangi proyek kolaborasi itu. Google datang dengan inisiatif kolaborasi ketika telah memiliki model bisnis yang jelas, kekua-tan finansial dan teknologi yang tak tertandingi. Google paham benar bagaimana kolaborasi itu dapat menghasilkan keuntungan politis dan ekonomis. Kerjasama ditawarkan karena mereka mem-butuhkan pasokan informasi yang lebih melimpah, pengguna yang lebih banyak, data pengguna in-ternet (user behavior data) yang lebih besar untuk menopang pe-ngembangan produk kecerdasan-buatan, machine-learning dan iklan digital tertarget.

 

Sementara pada diri pe-
ngelola media jurnalistik yang 
ada adalah semangat coba-coba. Setelah berhasil mengaplikasikan AMP untuk optimalisasi berita misalnya, mereka masih meraba-raba bagaimana langkah selanjutnya menuju proses monetisasi.  Me-nurut Sasha Koren, editor The Guardian U.S. Mobile Innovation Lab, pengelola media jurnalistik umumnya tidak tahu secara persis bagaimana AMP bekerja. Di mata mereka, mesin-pencari dan algoritma ibaratnya adalah kotak-hitam. Bahkan ketika telah dalam geng-gaman, kotak-hitam itu tetap menyimpan misteri. Hanya Google, Facebook dan sejenisnya yang memiliki kode-kode untuk memahami kotak-hitam itu. 
Inisiatif kolaborasi seperti News Lab, AMP, Digital News Initiative juga Facebook Instant Articles pada gilirannya tetap memberikan beban berat pada media jurnalistik. Mereka tidak mengetahui secara persis bagaimana kolaborasi itu dapat menopang hidup mereka yang semakin kepayahan. Lebih dari itu, tidak ada jalan mundur lagi bagi pengelola media jurnalistik. Seperti ditegaskan Koren, mereka semakin jauh dan dalam terikat pada mode kerja dan kemitraan yang disediakan Google, Facebook dan lain-lain. Perusahaan raksasa digital ini telah sedemikian rupa mengondisikan masyarakat untuk mengonsumsi dan mencerna informasi dengan menggunakan perangkat, aplikasi dan fitur yang telah mereka sediakan. 
Pada akhirnya media jurnalistik  menjadi sangat terdikte oleh Google dan Facebook dalam urusan menghasilkan, mengemas dan menyebarkan berita. Sementara untuk urusan bertahan hidup, mereka notabene mesti mencari jalan sendiri, bahkan bertarung secara langsung melawan raksasa digital itu. Mengutip Grant Whitmore dari The New York Daily News, kebaikan-kebaikan Google, Facebook dan lain-lain tidak sepenuhnya altruistik. Semakin banyak mereka membantu, semakin dalam kita tergantung pada mereka. “The more they help, the more we rely on them” (Lucia Moses, “frenemy-friend-google-won-publishers,” https://digiday.com, 21 Maret 2017).  
Berbagai pihak menyatakan epidemi hoaks dewasa ini mesti dikendalikan dengan menggalakkan jurnalisme yang bermartabat. Namun, bagaimana mengupayakan jurnalisme yang bermartabat jika untuk bertahan hidup saja, media jurnalistik pada umumnya sudah sangat kerepotan? Perlu langkah-langkah afir-matif untuk menopang daya-hidup media jurnalistik di tengah lanskap media yang berubah dramatis seperti dijelaskan di atas. Hari Pers Nasional yang jatuh hari ini, adalah saat yang tepat untuk bersama-sama memikirkannya. 

 

 Agus Sudibyo  adalah anggota Dewan Pers, 
Head of New Media Research Center ATVI Jakarta.  Artikel ini dimuat di  Harian Kompas, 
12 Februari 2019



Download